alt/text gambar

Selasa, 31 Oktober 2023

Topik Pilihan:

KUTIPAN DAN KATA BIJAK FILSAFAT

Yang dibutuhkan dalam demokrasi bukanlah kerumunan yang berteriak sama. Sebaliknya, demokrasi membutuhkan orang yang berani berpikir dan mengeluarkan suara yang berbeda dan bahkan menentang kerumunan. Seklusi dari politik lewat menulis dan membaca sampai saat ini masih merupakan jalan untuk memelihara kewarasan dan menghindar dari histeria massa dalam politik. Catatan Pinggir menawarkan jalan itu. Penulisnya tampak tidak goyah oleh teriakan riuh rendah berita-berita di tengahnya; dia berdiri di atas batu karang yang tenang dan kokoh: kebebasan berpikirnya. "Kini perlawanan terhadap Negara + Modal hanya akan seperti tusukan pisau yang majal,” begitu keyakinannya, ”... Maka satu-satunya cara melawan mungkin dengan menulis, mencerca, atau menertawakan. Selebihnya ilusi. (F Budi Hardiman, Pengantar dalam Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 9


***

Dua Makna Demokrasi: Memahami Filsafat Politik Kontemporer Jacques Ranciere

"Penafsiran GM terhadap pemikiran filsafat Ranciere tentang demokrasi, cukup tepat," tulis Sri Indiyastutik. "GM menuliskan bahwa demokrasi terdiri dari dua makna dan dua gerak," lanjut Sri, "yaitu demokrasi sebagai bentuk lembaga dan prosedur, serta demokrasi sebagai laku. Dalam istilah Ranciere, demokrasi sebagai bentuk lembaga dan prosedur adalah police (la police). Sedangkan demokrasi sebagai laku adalah politik (la politique). Yang pertama berkaitan dengan menata atau membagi-bagi oleh para oligark, sedangkan yang kedua berkaitan dengan laku orang-orang tak dihitung yang menguji kesetaraan dengan mengganggu atau mempertanyakan tatanan dominan." (Sri Indiyastutik, "Harapan di Tengah Kelesuan Gerakan Sosial", dalam Ayu Utami [ed], Membaca Goenawan Mohamad, Jakarta: Penerbit KPG, 2022 h. 354).

***

"Pemerintah, bahkan dalam keadaan terbaiknya," kata Thomas Paine, "hanyalah kejahatan yang diperlukan; dalam keadaan terburuknya, yang tidak dapat ditoleransi." Thomas Paine adalah seorang revolusioner dan intelektual Inggris.

"Kadang-kadang orang tidak ingin mendengar kebenaran karena mereka tidak ingin ilusi mereka hancur." -- Nietzsche

"Orang merdeka itu membela ide yang benar, dari siapa pun. Sedang budak itu membela tuannya, apa pun idenya." --Ibnu Khaldun, seorang sejarawan muslim dari Tunisia. Sering disebut sebagai bapak pendiri ilmu historiografi, sosiologi, dan dihormati.


"Kemampuan kita untuk bernalar, itu yang memungkinkan kita untuk, bahkan, keluar dari feodalisme, keluar dari local wisdom yang tidak semua local wisdom itu wise." --Rocky Gerung


"There is no truth. There is only perception." –Gustave Flaubert, penulis Prancis (1821–1880)


"Politik adalah satu-satunya profesi di mana Anda dapat mencuri, berbohong, menipu, tapi masih tetap dihormati; politics is the only profession where you can steal, lie, cheat, and still be respected." --Mark Twain


"Jika kamu selalu berusaha untuk menjadi normal, kamu tidak akan pernah tahu betapa luar biasanya dirimu," kata Maya Angelou, penulis Amerika. Menjadi normal artinya menyerahkan diri pada pendapat umum. Padahal, bisa jadi tren umum itu tak sesuai potensi dirimu atau bakatmu. Misalnya, karena melukis dianggap bukan pekerjaan layak, seorang anak yang memiliki bakat di seni melukis, terpaksa menjadi normal dengan menjadi aparat karena desakan keluarga.
Kata-kata Angelou bernuansa eksistensialis. Eksistensialisme: intinya, menjadi "otentik". Tak mengekor saja. Dia memiliki pendapat sendiri. Tak membeo saja. Tak merupakan salinan orang lain. Ia berpikir bebas dan mandiri. Ia berbuat baik karena hal itu memang baik, bukan karena alasan yang dipengaruhi dari luar (budaya, trend, pendapat massa, dsb). Seorang eksistensialis terlepas dari inotentisitas. Kehidupannya tak dijalankan oleh orang atau instansi lain. (K. Bertens, Etika, h. 89-92)


"Politik itu komunikasi. Bunuh diri dalam politik adalah tidak berkomunikasi. Maka banyaklah berkomunikasi: menelepon, menyapa, bersilaturahmi, dsb."


"Kami yang belajar filsafat tidak asing dengan kontroversi di dalam filsafat. Sejarah filsafat isinya bukan kerukunan, tapi pertikaian, perdebatan, perbantahan, ketidakcocokan." --F. Budi Hardiman


"Manusia terlahir dalam kondisi tidak tahu, bukan bodoh. Mereka dibuat menjadi bodoh oleh sistem pendidikan.” --Bertrand Russell


"Tidak ada di dunia ini yang seratus persen baik, atau seratus persen buruk. Hanya dikarenakan ada yang kalah dalam dunia pemikiran saja, maka dibuat sesuatu itu menjadi seratus persen baik atau seratus persen buruk. Kita sebagai kritikuslah yang bisa memberikan pandangan yang lebih realistis." --F. Budi Hardiman


"When injustice become law, resistence become duty; ketika ketidakadilan menjadi hukum, maka perlawanan menjadi kewajiban." --Bertolt Brecht


"Agama memberikan bonum maximum (kebaikan tertinggi untuk para penganutnya), sedangkan kekuasaan politik negara adalah minus malum atau the lesser evil (sesuatu yang belum tentu baik, tetapi tak dapat dihindari agar kehidupan bersama dalam suatu masyarakat terhindar dari kekacauan akibat perang semua melawan semua), atau bellum omnium contra omnes sebagaimana diajarkan oleh filosof Thomas Hobbes." Ignas Kleden (dalam Agama dan Negara – Beranda Negeri)


Plato, filsuf Yunani (427-347 SM), menuntut agar para calon pemimpin negara tak boleh berkeluarga. Mengapa demikian? Karena menurut Plato, perhatian pada keluarga-lah yang merupakan sumber korupsi. Tak hanya itu, Plato juga berpendapat bahwa pemimpin negara sebaiknya tak boleh mempunyai hak milik pribadi. Karena, hak untuk mempunyai harta milik pribadi itulah yang merangsang nafsu menumpuk kekayaan, sehingga dapat membuat penguasa menjadi abai terhadap kepentingan negara atau kepentingan orang banyak. (Lihat Franz Magnis-Suseno, "Machiavelli: Guru Benar atau Guru Konyol?", dalam Tim Maula (ed), Jika Rakyat Berkuasa: Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, h. 49)

 

"Sapere Aude!; Beranilah berpikir sendiri!" (Semboyan Pencerahan Barat, dalam F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h.111) 

"Summum Iuis Sumka Iniuria, kata para ahli hukum sejak berabad-abad. Jikalau orang ingin menerapkan hukum secara ekstrem, justru dia praktis melakukan ketidakadilan yang paling ekstrem juga." --YB. Mangunwijaya, Gerundelan Orang Republik, h.71

Tidak ada tirani yang lebih besar daripada yang dilakukan di bawah perlindungan hukum dan atas nama keadilan." Montesquieu, filsuf Prancis

==========

KOMUNIKASI INTERSUBJEKTIF

"Eliminasi perbedaan bisa menjurus pada totalitarianisme, sementara absolutisasi perbedaan dapat menjurus pada anarkisme. Perbedaan harus ditangani melalui komunikasi intersubjektif yang bersifat praktis. Karena itu, membangun solidaritas pada zaman ini adalah dengan cara mengembangbiakkan proses-proses komunikatif multinilai dalam masyarakat." (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, h.126) 

===============

Menurut Gadamer, cara yang tepat dalam menafsirkan teks atau objek sosio-kultural adalah keterbukaan terhadap masa kini dan masa depan, maka tugas penafsiran tak kunjung selesai, dan bersifat kreatif. (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, h.64) 

Tugas filsafat di tengah ilmu-ilmu, adalah mengembalikan kecanggihan-kecanggihan konseptual yang berlebihan, kepada pangkalnya yang sederhana namun fundamental. Filsafat bertugas mempersoalkan realitas, realitas yang telah dipaksakan dengan satu model tertentu dari teori-teori yang diciptakan oleh ilmu pengetahuan, model yang telah menyempitkan, mengeringkan, melenyapkan nuansa-nuansa, melumpuhkan, dan menyumbat "nafas" yang membahayakan umat manusia (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, h.20) 

"Fungsi filsafat dalam kehidupan adalah kritik." --Martin Suryajaya 

Apa itu manusia pemberontak? Seorang pria yang mengatakan tidak.--Albert Camus

"Di hadapan manusia, alam merupakan suatu objek. Terhadap alam lebih tepat bila dikatakan bahwa kita melakukan penjelasan (Erklaren) daripada pemahaman (Verstehen). Penjelasan tentang alam merupakan upaya untuk menemukan hukum sebab-akibat yang bekerja dalam proses-proses alamiah itu. Penjelasan kausal ini merupakan usaha penafsiran sejauh dilakukan oleh ilmu pengetahuan tentang alam. Akan tetapi, alam juga dapat dipahami secara berbeda dari pemahaman ilmu-ilmu alam, karena alam tidak hanya mengandung sebab-akibat. Alam memiliki makna manusiawi sejauh menafsirkannya dalam hubungannya dengan dirinya. Dengan kata lain, selain memiliki makna kosmologis sebagaimana dipahami ilmu-ilmu alam, alam juga memiliki makna antropologis." (F. Budi Hardiman dalam bukunya, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003, h. 39). Istilah Erklaren dan Verstehen ini dimajukan oleh filsuf Jerman, Wilhelm Dilthey (1833-1911). Dua istilah itu untuk membedakan dua macam ilmu pengetahuan. Naturwissenschaften (ilmu-ilmu alam) mendekati objeknya dengan metode Erklaren, yaitu menjelaskan suatu kejadian menurut penyebabnya (hukum sebab-akibat), sedangkan geisteswissenschaften mendekati produk-produk budaya dengan metode Verstehen, yaitu menemukan dan memahami makna di dalamnya yang hanya dapat dilakukan dengan menempatkannya dalam konteks. (F. Budi Hardiman dalam bukunya, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003, h. 39). Contoh konteks dalam metode Verstehen misalnya, membunuh, memberontak, adil, dan lain sebagainya. Apakah membunuh itu salah? Tentu tak bisa dijawab "ya" atau "tidak" secara tepat seperti dalam ilmu alam. Ia bisa dijawab dengan metode Verstehen, atau sesuai konteks. Dalam perspektif tertentu, membunuh tanpa alasan yang jelas bisa dinilai salah. Tapi dalam perspektif lain, Islam misalnya, membunuh itu benar jika dilakukan dalam konteks qisas. 


@@@@@@@@-----


"Selama pseudo-komunikasi masih mewarnai praktik sosio-politik dalam masyarakat kita, apalagi jika dibenarkan dengan alasan 'ciri budaya' yang kita warisi, kiranya juga akan sulit menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa demokratis dalam diskursus internasional, sebab demokrasi hanyalah retorika atau kosmetik dan tidak menjadi substansi dunia-kehidupan sehari-hari. Dalam wawasan teori rasionalisasi, kita dapat mempelajari bahwa apa yang disebut sebagai 'integritas nasional' yang begitu dijaga teguh oleh negara kita, tidak identik dengan 'integrasi sistem', melainkan terlebih memuat 'integrasi sosial' atau solidaritas sosial yang hanya dapat dihasilkan lewat komunikasi sejati. Kalau integrasi sistem menjadi begitu dominan, malah terbuka kemungkinan terjadinya 'erosi solidaritas' dari dalam yang tak kurang daripada membusuknya organisme sosial." --F. Budi Hardiman, "Mengatasi Paradoks Modernitas: Habermas dan Rasionalitas Masyarakat, dalam Tim Redaksi Driyarkara (peny), Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, h.159.

#######=====

NIETZSCHE DAN ESTETIKA

"Nietzsche menutup diri dari kemampuan kritis rasio dan menobatkan daya apresiasi estetis-arkhias sebagai sesuatu yang melampaui dinding-dinding 'benar' dan 'salah'."--F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 160-161

"Sebuah teks dengan bunyi yang sama ternyata bisa melahirkan tafsir yang berbeda ketika didekati dengan metodologi dan paradigma pemikiran yang berbeda." --Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996, h. 212) 

"Jangan tanyakan apa makna sebuah kata, tapi lihat dan amati, dalam konteks apa sebuah kata digunakan." --Ludwig Wittgenstein. Tapi dalam studi hermeneutika, orang yang mengatakan juga mesti dipahami. Maka, dalam kajian hermeneutika, untuk memahami pemikiran seseorang, kita juga harus mengenal riwayat hidupnya. Agar bisa dipahami konteks historis, psikologis, maupun sosiologis mengapa pemikiran seperti itu muncul. 

Sopan santun itu bahasa tubuh. Pikiran tak memerlukan sopan santun. Pikiran yang disopan-santunkan dalam politik adalah kemunafikan. --Rocky Gerung

Dari bahasa, kita bisa membongkar struktur psikologi atau struktur ketidaksadaran orang. --BILIK INSIDER, YouTube

"Pemahaman yang hanya sebatas definisi selalu dibuntuti proses reduksi dan pendangkalan." -- Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996, h. 73)

"Dalam memikirkan, membahasakan, dan mengekspresikan pikiran tentang Tuhan dan obyek yang abstrak, manusia tidak bisa tidak mesti menggunakan ungkapan yang familiar dengan dunia inderawi, dengan bahasa kiasan dan simbol-simbol sekuler, hanya kemudian diberi muatan yang melewati realitas inderawi. Dengan kata lain, bahasa agama secara historis-antropologis adalah bahasa manusia, tapi secara teologis di dalamnya memuat kalam ilahi yang bersifat transhistoris atau metahistoris." --Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996, h. 82)

"Eksistensialisme ingin orang menjadi diri sendiri, bukan meniru atau mengikuti apa kata orang." --(https://youtu.be/h2vkR5BrjKM?si=tBBveoiK9enMd4vs) menit ke 4, menit 45

"Kalau dipandang sekilas, hidup ini seperti tragedi. Tapi ketika kita sudah memahaminya, kita akan tahu bahwa sesungguhnya hidup ini adalah komedi." --https://youtu.be/T6oMFWFSk7Y?si=qQawfAArL7PPzLhu

"Selama manusia berpikir, selama itu filsafat masih hidup, bahkan dilahirkan kembali." --F. Budi Hardiman

I'TIBAR, HAL YANG PENTING DARI SEJARAH
"Sejarah memiliki makna hanya ketika dipertemukan dengan keprihatinan masa kini untuk membangun harapan di masa depan," kata Gadamer. Hal ini sejalan dengan metode yang diperkenalkan oleh Al Quran bahwa kebenaran (truth) diraih dari masa lalu berdasarkan tradisi kenabian, lalu diinterpretasikan dan diaktualisasikan sekarang dan di sini (dunia), tapi tetap commited dan diarahkan ke masa depan (teleologis). Penafsiran kebenaran sejarah yang dialokasikan hanya pada masa lalu adalah kebenaran yang steril, yang mengkhianati spirit sejarah itu sendiri. Karena itu, dalam perspektif Al Quran, yang paling penting dari sejarah adalah nilai i'tibarnya, bukan narasi kronologi peristiwanya (Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996, h. 155)

PRASANGKA DALAM PROSES MEMAHAMI
Setiap pemahaman selalu melibatkan proses penafsiran dan setiap penafsiran mesti terikat dengan kapasitas pribadi beserta prasangka yang telah ada sebelumnya. Karena setiap orang lahir dan hidup dalam situasi tertentu yang dipagari oleh sistem nilai dan prasangka tertentu. Prasangka di sini ialah nilai-nilai dan sistem kepercayaan yang diterima secara turun-temurun tanpa melalui sikap kritis. Prasangka yang paling kuat datang dari tradisi dan agama (Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996, h. 154, 156, 158, 159). Bisakah seseorang membaca dan memahami teks terbebaskan dari prasangka? Pasti tidak. Kata Schleiermarcher, "Nothing is understood that is not construed; tak ada suatu pemahaman tanpa melibatkan suatu penafsiran."--Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, h. 162. Contoh. Ketika saya menyebutkan kata "proyek", apa yang ada dalam benak Anda? Ya, pasti biasa dihubungkan dengan kegiatan pekerjaan konstruksi yang dilaksanakan oleh CV, PT, dsb; dunia yang akrab dengan kecurangan dan tipu-menipu; menggunakan dana negara melalui tender, dan hal-hal serupa lainnya. Padahal, kata "proyek" bukan hanya berarti itu. Ia bisa berarti "rancangan" ke depan. Saya bisa saja memaksudkan kata "proyek" dalam sebuah pidato adalah "rancangan". Tapi oleh orang kebanyakan, yang selalu terpengaruh oleh prasangka sebelumnya, mengartikan proyek adalah seperti pengertian yang umum diketahui. Dalam KBBI diartikan: "rencana pekerjaan dengan sasaran khusus (pengairan, pembangkit tenaga listrik, dan sebagainya) dan dengan saat penyelesaian yang tegas." Tapi kata itu berasal dari bahasa Inggris: "project" yang artinya "rancangan". Artinya, kata itu secara umum adalah "rancangan ke depan". Dan dari situlah muncul kata "proyeksi". Dalam KBBI, "proyeksi" diartikan: perkiraan tentang keadaan masa yang akan datang dengan menggunakan data yang ada (sekarang). 

Mencipta, Penafsiran atas Penafsiran, dan Apa Itu Kreatif? 
"Man is an interpreter being" (manusia adalah makhluk penafsir). Didorong oleh rasa kagum dan ketidaktahuan terhadap objek-objek di sekitarnya, manusia mengamati dan menafsirkan jagad raya ini. Warisan tertulis tentang penafsiran sistematis manusia terhadap alam raya ini kita terima dari Yunani Kuno. Secara ontologis, sesungguhnya tak ada yang baru di jagad raya ini. "Nothing new under the sky". Yang baru adalah pengalaman dan pengetahuan manusia mengenai diri dan lingkungannya. Sesuatu yang baru, muncul sebagai produk berpikir dan berkarya secara sintetis yang dilakukan oleh manusia. Artinya, dalam proses dialektika yang tak berkesudahan. 
Berpikir sintetis berarti menggabungkan, memodifikasi, dan mencipta dari bahan  yang telah ada. Mencipta berarti memodifikasi dan mengembangkan dari hal-hal yang simpel menjadi lebih beragam dan kompleks. Dengan kata lain, orang yang kreatif dan produktif adalah orang yang pandai memahami, menafsirkan, dan merekonstruksi sebuah pemikiran yang ada untuk dikembangkan lebih jauh lagi (Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996, h. 175-177)

Mirip Gadamer, jelas Komaruddin Hidayat dalam bukunya Memahami Bahasa Agama (1996:195), Fazlur Rahman menggunakan metode double movements dalam mengkaji sejarah, yaitu melakukan perjalanan intelektual ke masa lalu untuk menelusuri dan memasuki bilik-bilik peristiwa historis dan kemudian kembali ke masa kini dengan fakta dan pemaknaan yang mengacu ke masa depan. Dulu dan esok dipertemukan oleh pemaknaan hari ini oleh subyek pelaku dan penafsir sejarah itu sendiri. Secara hermeneutik, cara Gadamer bisa diterapkan oleh anak-anak HMI dalam mengkaji NDP. Artinya, dari sudut pandang hermeneutik, latar belakang pendidikan pengarang NDP, lingkungan kerja, konteks historis, sosiologis, dan psikologis penulis harus juga dipahami dengan baik. Dan, dalam memahami NDP, harus dipertimbangkan juga pesan tiga guru pencuriga dalam tradisi hermeneutik. Tiga guru pencuriga itu ialah: Marx, Nietzsche, dan Freud. 

============
"Meminjam istilah Gadamer, lingkungan bahasa dan budaya tempat seseorang dilahirkan akan menanamkan prasangka-prasangka yang dengannya seseorang akan menafsirkan pandangan dunianya." Seseorang yang terlahir pada keluarga atau masyarakat muslim Indonesia, misalnya, pasti akan tumbuh di bawah pengaruh sistem nilai dan kepercayaan lingkungannya yang terserap melalui komunikasi sistem bahasa yang melingkupinya. Jadi, peristiwa kelahiran anak, sesungguhnya bukan sekedar kelahiran biologis, tapi juga kelahiran anak kandung suatu budaya, agama, dan etnis tertentu. Itulah sebabnya emosi dan pemihakan etnis dan agama sering disebut sebagai ikatan primordial, karena keduanya hadir lebih dahulu sebelum kita dan bahkan keduanya telah mengasuh dan membesarkan kita. Dengan begitu, benarkah kita memeluk agama sebagai pilihan kita secara sadar? Tidak mudah memberikan jawaban, mengingat situasi kita begitu lahir dan besar telah berada dalam lingkaran budaya yang sudah penuh dengan prasangka (given values) yang sulit dielakkan. Berbagai prasangka adakalanya diperkuat ketika seseorang tumbuh dewasa. Misalnya, seseorang yang terlahir dalam lingkungan budaya Islam, maka sentimen keislamannya semakin menguat ketika rasa solidaritas keluarga dan sosial berdasarkan identitas agama ikut hadir di dalamnya. Belum lagi kalau kepentingan ekonomi dan dukungan intelektual keagamaannya semakin berkembang, maka visi keberagaman seseorang, tanpa disadari, akan memunculkan nuansa ideologis. Namun, secara kritis kita bisa juga melihat sebaliknya, yaitu bahasa dan komunitas keagamaan telah berubah menjadi kurungan yang memenjarakan seseorang sehingga kebebasan dan otentisitas pribadinya tercerabut. Artinya, ia tak menjadi otentik lagi, tapi telah didikte oleh lingkungannya (Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996, h. 207) 

AL QURAN DAN JARINGAN INTERTEKS
Banyak karya-karya keilmuan yang sarat dengan analisa Qur'anik. Buku-buku karangan Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat, dan Zakiah Daradjat, adalah beberapa contoh. Jika ditelusuri semangat dan nilai dasar yang dikandungnya kesemuanya bersumber pada Al Quran, tapi ditafsirkan dan diposisikan dalam wacana disiplin keilmuan tertentu. Di sini Al Qur'an berada dalam jaringan interteks, teks yang satu menafsirkan dan melengkapi informasi teks yang lain yang pada urutannya melahirkan teks yang baru lagi, dan begitu seterusnya. Kalau saja kita amati "nasib" dan "peran" ayat-ayat Al Qur'an, maka ayat yang sama bisa tampil dan berperan dalam konteks dan jaringan tekstualitas yang berbeda-beda. Ayat yang sama ketika hadir dalam benak Dr. Imaduddin Abdul Rahim, misalnya, akan berbeda arah dan muatan wacananya ketika ayat itu berdialog dengan K.H. Zainuddin M.Z. Demikianlah, perbedaan tingkat kecerdasan, konteks sosial-politik, dan tingkat ketakwaan secara signifikan akan mempengaruhi suasana dialog seseorang dengan Al Qur'an. Jadi, sesungguhnya ketika seseorang membaca dan menafsirkan Al Qur'an dalam benaknya sudah memiliki muatan sekian banyak buku dan pendapat para ahli yang ikut serta ambil bagian dan mengarahkan jalan pikirannya. Pendeknya, Al Qur'an selalu hadir bersama dan di tengah jalinan interteks, sehingga dengan demikian wawasan Al Qur'an selalu melebar dari zaman ke zaman, baik dikarenakan oleh kemajuan ilmu pengetahuan maupun oleh pesatnya kerja terjemahan berbagai karya ilmiah ke dalam berbagai bahasa dunia (Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996, h.203-204) 

GERAK MELINGKAR DARI PEMAHAMAN

Pemahaman yang kita capai pada masa kini, di masa depan pada gilirannya akan menjadi pra-paham baru pada taraf yang lebih tinggi karena ada proses pengayaan kognitif dalam spiral pemahaman itu. Spiral pemahaman itu tampak jelas dalam proses tanya jawab. Kalau kita bertanya, pertanyaan kita itu dimungkinkan oleh jawaban-jawaban yang kita miliki atas pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih sederhana. Jadi, ada dialektika pemahaman antara tanya dan jawab yang menghasilkan pengetahuan yang lebih kaya lagi (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, h.47)

KRISIS DAN KRITIS
"Istilah krisis berkaitan dengan kritik, sebab suatu situasi disadari sebagai krisis melalui kritik dan suatu kesadaran menjadi kritis kalau berkeprihatinan terhadap krisis." (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 152) 


INDIVIDUALISME BARAT
"Keyakinan yang menandai para perintis modernisasi Barat adalah bahwa kebebasan itu dapat diraih lewat penggunaan rasio sampai tak terbatas, kalau perlu dengan menerjang batas-batas yang ditetapkan berdasarkan iman kepercayaan agama. Karena itu, modernitas yang ditandai oleh rasionalisme Barat itu adalah bentuk kehidupan sekaligus bentuk kesadaran. Sebagai bentuk kehidupan, berkembanglah sistem ekonomi kapitalis dan sistem politik liberal. Sebagai bentuk kesadaran, modernitas ditandai oleh individualisme, kritik, dan kebebasan." (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h.153) 

"Habermas tetap mempertahankan bahwa patologi modernitas tidak dapat diatasi dengan meninggalkan modernitas, melainkan dengan pencerahan terus-menerus dalam paradigma tindakan komunikatif atau intersubjektivitas. Modernisasi di hadapan Habermas adalah sebuah proyek yang belum selesai dan sekarang harus dilanjutkan dengan kritik terus-menerus terhadap segala manifestasi rasio yang berpusat pada subjek dengan tindakan komunikatif." (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 163)

 
HABERMAS: KOMUNIKASI, KRITIK, KONSENSUS, DAN DISENSUS
"Praksis kehidupan bermasyarakat adalah komunikasi. Dan praksis ini dalam modernitas sudah berkembang menjadi argumentasi, baik dalam bentuk diskursus maupun kritik. Setiap bentuk komunikasi memiliki intensi untuk mencapai konsensus yang tidak dipaksakan. Meski demikian, Habermas memberi kemungkinan untuk 'disensus'. Jadi, sementara diskursus adalah bentuk argumentasi yang mungkin untuk mencapai konsensus, kritik muncul kalau konsensus tak mungkin dicapai ataupun terganggu." (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 163)

RASIONALITAS KOGNITIF-INSTRUMENTAL
Rasionalitas instrumentaI ialah mencontoh sikap ilmu-ilmu alam dalam menghadapi objeknya. Lawan dari 'rasionalitas instrumental' adalah 'rasionalitas komunikatif'. Rasionalitas instrumental ini dalam paradigma metode-metode ilmu-ilmu alam. Sedangkan rasionalitas komunikatif diinginkan oleh Habermas dalam paradigma metode untuk ilmu-ilmu sosial (lebih jelas, lihat F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 167)

MITOS DAN LOGOS
"Mitos dan Logos adalah dua saudara kandung yang sebenarnya memiliki musuh bersama, yaitu Khaos atau kekacaubalauan. Manusia tidak tahan hidup dalam sebuah dunia yang tidak mampu memberikan jawaban atas 'mengapa'-nya kehidupan dan realitas, dan  Mitos adalah kakak kandung Logos yang menyelamatkan manusia dari Khaos. Logos yang datang kemudian tampil lebih maju, menawarkan sebuah Kosmos yang lebih leluasa untuk didiami dan menimbulkan tilikan yang  dapat lebih dimengerti dan diterima. Pertarungan keduanya, dan juga metamorfosis mereka, tergelar dalam satu arena dan satu cerita yang sama: sejarah rasionalisasi." (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 172-173

Sesudah diskursus modernisme/pasca-modernisme, kita mungkin tidak mendapatkan sebuah kesimpulan final, mungkin juga tidak bertambah bijaksana. Namun, barangkali saja kita akan semakin berhati-hati terhadap bahaya-bahaya 'intellectual hybris' (keangkuhan intelektual) dan bertambah rendah hati terhadap segala upaya intelektual kita yang rupanya senantiasa dalam kegentingan dan kerentanan untuk terpeleset ke dalam palung nihilisme, relativisme, obskurantisme, dan irasionalisme, atau terjerat ke dalam jaring-jaring totalitarianisme, teror, homogenisasi, normalisasi, dan seterusnya. Intelektualitas bukannya untuk dihapus dari peradaban umat manusia, melainkan untuk menghadapi dan menyadari sebuah bahaya yang kadang juga dilahirkannya sendiri. Menarik pernyataan Foucault: "... Yang saya persoalkan bukanlah bahwa segalanya buruk, melainkan bahwa segala sesuatu itu berbahaya, yang tidak persis sama dengan buruk. Jika segalanya berbahaya, kita selalu memiliki sesuatu untuk dikerjakan." (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 191-192) 

Dari konsep dekonstruksi Derrida, ditarik implikasi kultural bahwa kebudayaan tak kurang dari jalinan teks-teks yang bisa ditafsirkan sampai tak terhingga, sebab tak ada "teks asli". (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 196) 


"Dunia post-modern adalah montase dan kolase dari macam-macam unsur waktu (dulu, kini, nanti), macam-macam unsur tempat (sini dan sana), dan aneka unsur pengetahuan (fiksi, fakta, imaji, fantasi, riset). Singkatnya: dunia adi majemuk!" (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 196) 

SISI NEGATIF POST-MODERNISME? 

Dewasa ini orang semakin sensitif terhadap tendensi-tendensi totaliter dalam universalisme palsu yang dipaksakan secara sepihak. Meski demikian, kita juga perlu waspada terhadap "strategi ke-lain-an" yang dilancarkan oleh post-modernisme karena justru akan melegitimasi sikap-sikap antidialog yang sudah ada dalam masyarakat kita sendiri, bahkan dapat melegitimasi suatu getthoisasi, egoisme narsistik, dan anarkisme. Tekanan eksesif post-modernisme terhadap "kebenaran-kebenaran lokal" juga dapat memadamkan gairah untuk keluar dari kepicikan-kepicikan sektarian dan primordialistik serta dapat menghentikan refleksivitas tradisi. (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 200) 

Relativisme itu beranggapan bahwa tak ada Kebenaran. Yang ada adalah kebenaran-kebenaran. (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 200) 


Polemik modernisme/post-modernisme akhir-akhir ini dalam dunia intelektual adalah produk situasi krisis kultural dalam masyarakat dewasa ini, akibat kejenuhan semakin banyak orang terhadap cacat-cacat modernisasi, seperti sentralisme, birokratisme, imperialisme, dan dominasi. (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 193) 


DEMOKRASI DALAM KONSEP HABERMAS DAN DERRIDA

Demokrasi mengandaikan mungkinnya suatu "pemahaman timbal-balik" dan "konsensus yang tidak dipaksakan", sekurang-kurangnya mengenai norma-norma yang bisa diuniversalkan bersama sebagaimana disarankan Habermas dalam Teori Tindakan Komunikatifnya. Meski demikian, kita juga belajar dari dekonstruksi Derrida suatu kenyataan bahwa suatu "pemahaman timbal-balik" kerap merupakan "kesalahpahaman timbal-balik" atau suatu "kekerasan tersembunyi" (pseudokomunikasi atau trace yang diabsolutkan) yang harus dibongkar. "Kebenaran" palsu dalam arti itulah yang mau direlatifkan lewat dekonstruksi. Hal itu juga diandaikan kalau mau ber-demokrasi. (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 200-201) 


TAK ADA PEMAHAMAN YANG NETRAL
Karena pengetahuan kita terjadi melalui oposisi subjek-objek, pemahaman kita tidak bisa tidak diperantarai. Pengantara pemahaman kita adalah lingkungan sosio-kultural dan sejarah. Oleh karena itu, tak ada pemahaman yang netral dan ahistoris. Pemahaman senantiasa diperantarai oleh konteks sejarah dan sosial tertentu sebagai cakrawala. (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 48) 

PRA-PAHAM HEIDEGGER
Sumbangan Rudolf Bultmann (seorang teolog modern) terhadap hermeneutika ialah penerapan gagasan Martin Heidegger tentang pra-paham pada teologi. Untuk memahami sebuah teks, kita harus memiliki pra-paham tentang teks dimaksud. Hanya jika persoalan yang kita pertanyakan sungguh-sungguh merupakan persoalan kita, teks itu mulai "bicara" kepada kita. Suatu kepentingan tertentu dalam menafsirkan teks justru menyebabkan teks itu berbicara bagi kita, maka pra-paham bukannya membatasi kemungkinan kita memahami teks, melainkan justru membuat penafsiran kita menjadi produktif. Pra-paham justru memungkinkan kita untuk terbuka terhadap hal-hal baru yang tak terduga. (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 43) 

"Dalam 'hukum', seseorang bersalah adalah ketika ia melanggar hak orang lain. Sedangkan dalam 'etika', orang bersalah meski hanya berpikir untuk melakukannya." --Immanuel Kant


"'Setiap analisis selalu membutuhkan penyederhanaan dan abstraksi." --Ulil Abshar Abdalla
"Setiap orang (paslon presiden, misalnya), tidak bisa direduksi ke dalam satu-dua label." Ulil Abshar Abdalla
"Kenyataan tak pernah berbicara sendiri. Kenyataan ada karena diwujudkan oleh bahasa dan selamanya berada dalam bahasa. Ia muncul sebagai tafsir. Ia bukan fakta. Fakta tak pernah ada, kata Nietzsche. Hanya 'tafsir' yang ada." --GM, Caping 13, h.45

"Satu hal yang tak mengikuti aturan mayoritas adalah: hati nurani," tulis Goenawan Mohamad, mengutip novel To Kill a Mockingbird karya Harper Lee, dalam buku Catatan Pinggir 13, h. 57.

"Ethik tanpa politik itu kosong, politik tanpa ethik itu buta." --GM, "Tangis" dalam Catatan Pinggir

"Tugas sedih politik," kata Reinhold Niehbur, seorang teolog Protestan asal Amerika Serikat, "adalah menegakkan keadilan di dunia yang berdosa." Niehbur benar. Politik itu memang bertujuan mendistribusikan keadilan. Karena itulah politik memerlukan kapasitas otak yang besar. Dasar pertama menjadi politisi adalah: kecukupan akal, bukan kecukupan suara, atau kecukupan modal.

"Bagi Dawam, seorang intelektual publik tidak cuma cerdas, tapi juga punya empati kepada mereka yang disingkirkan." --GM, Caping 13, h.314

"Saya ingat Althusser: ideologi adalah proses sosial yang menyeru individu dan mengubahnya jadi subyek--satu proses 'interpelasi'. Tapi ideologi juga instrumen pengendalian kesadaran dan mobilisasi massal--alat yang membuat kehidupan yang rumit jadi terlalu sederhana diuraikan. Subyek yang ditumbuhkannya tak melihat bahwa kehidupan ('realitas') terdiri atas tanda-tanda yang ditafsirkan. Dan tafsir adalah proses kebenaran yang tak selesai. Mengklaim tafsir sudah usai sama dengan membangun kesadaran palsu. Agama punya kemungkinan seperti itu, ketika iman berubah jadi ideologi. Saya lihat Dawam termasuk yang berusaha mencegahnya. Ia ditempa zaman ideologi, ia sadar akan kekuatan ide-ide di dalamnya, tapi ia tahu ide datang dari wilayah simbolik yang harus ditafsir terus." --GM, Caping 13, h. 316

"Tafsir adalah proses kebenaran yang tak selesai." --GM, Caping 13, h. 316

"Habermas mengkritik ide Rousseau tentang volonte generale (kehendak umum). Dalam teori demokrasi klasik itu, produk hukum lebih penting daripada proses legislasi hukum. Jika DPR menghasilkan undang-undang yang disepakati bersama, tak peduli lewat cara mana, undang-undang itu dianggap legitim karena menampilkan volonte generale itu. Teori demokrasi deliberatif memperbaiki teori klasik itu. 'Demokrasi deliberatif,' demikian Rainer Forst, 'berarti bahwa bukan jumlah kehendak perseorangan dan juga bukan kehendak umum yang menjadi sumber legitimasi, melainkan proses pembentukan keputusan politis yang selalu terbuka terhadap revisi secara deliberatif dan diskursif-argumentatif'." (F. Budi Hardiman, "Demokrasi Deliberatif: Model untuk Indonesia Pasca-Soeharto?", dalam Majalah Basis, Nomor 11-12, Tahun ke-53, November-Desember 2004, h. 18).

"Legitimasi terletak bukan pada fakta bahwa mayoritas telah diraih, melainkan pada fakta bahwa cara-cara meraihnya fair dan adil. Hanya produk hukum yang diraih secara fair, menurut Habermas, yang memiliki alasan yang kuat untuk dipatuhi oleh warganegara." (F. Budi Hardiman, "Demokrasi Deliberatif: Model untuk Indonesia Pasca-Soeharto?", dalam Majalah Basis, Nomor 11-12, Tahun ke-53, November-Desember 2004, h. 18).

”Pendidikan kita tidak mengajarkan orang untuk berpikir, tetapi untuk tunduk pada kekuasaan.” --Ignas Kleden

Pendidikan kita masih mendidik seseorang untuk taat pada kekuasaan, bukan untuk taat pada akal sehatnya. --Ignas Kleden

"Nature and nature's laws lay hid in the night. God said, Let Newton be! and all was light; alam dan hukum alam tersembunyi di dalam malam. Tuhan berkata, biarkan Newton ada! dan semuanya menjadi terang." --Alexander Pope

"Tafsir dan politik, terutama dalam kehidupan agama-agama, memang bertaut. Kekuasaan butuh teks untuk menghalalkan dan mempertahankan dirinya." —GM, "Penistaan" dalam Caping 13, h.100


"Teks tak pernah berdiri sendiri. Bersamanya, melekat tafsir.... Ayat-ayat Quran yang diterima Muhammad SAW dan diutarakan kepada umatnya adalah pesan Tuhan dan sekaligus tafsir atas pesan itu—interpretasi yang diekspresikan dalam bahasa Arab di zamannya. Tafsir, dalam kata-kata Abu Zayd, adalah sisi lain dari teks. Persoalannya: bagaimana cara menentukan bahwa sebuah tafsir menyatu pas dengan teks itu sendiri? Dan siapa yang menentukan sebuah tafsir tepat, atau sebaliknya menyeleweng, bahkan jadi penistaan?" —GM, "Penistaan" dalam Caping 13, h.101


"Kebenaran tafsir tak ditentukan sepihak. Sebuah tafsir benar atau salah tak berdasarkan maksud sang penggubah teks. Apalagi sang penggubah (juga dengan "P") tak bisa ditanya lagi. Tapi juga bukan sang pembaca yang menentukan jawab. Apa yang disebut sebagai intentio lectoris, 'maksud sang pembaca' dalam menafsirkan, akan menghadapi lapis-lapis makna yang tak terhingga. Maka pergulatan tentang tafsir dan dalam tafsir tak pernah selesai, apalagi dalam mencoba mengerti apa yang kita baca sebagai sabda Tuhan yang maha-gaib. Akhirnya, secara terbuka atau pura-pura, pergulatan itu diselesaikan dengan kekuasaan—lewat benturan politik. Sabda, tafsir, dan politik: ketiganya berkelindan." —GM, "Penistaan" dalam Caping 13, h.101-102


"Agama," kata Ignas Kleden, "memberikan bonum maximum (kebaikan tertinggi untuk para penganutnya), sedangkan kekuasaan politik negara adalah minus malum atau 'the lesser evil' (sesuatu yang belum tentu baik, tapi tak dapat dihindari agar kehidupan bersama dalam suatu masyarakat terhindar dari kekacauan akibat perang semua melawan semua), atau bellum omnium contra omnes sebagaimana diajarkan oleh filsuf Thomas Hobbes." Jadi, meminjam istilah Fahri Hamzah, negara itu sebenarnya adalah "sebuah kejahatan". Tapi ia terpaksa dibentuk atau dihadirkan demi menghindari kekacauan akibat perang semua melawan semua. 

IDEOLOGI

"Ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa, sehingga orang menganggapnya sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena memberikan legitimasi kepada suatu keadaan yang sebenarnya tidak memiliki legitimasi. Kritik ideologi adalah salah satu sumbangan terpenting teori Marx terhadap analisis struktur kekuasaan dalam masyarakat." —Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx. 

"Tidak, fakta-fakta itulah yang justru tidak ada, hanya interpretasi," kata Nietzsche, sebagaimana ditulis GM dalam Caping 13, h. 113. Nietzsche mengingatkan tak mungkin lagi ada satu interpretasi. Tuhan, wasit yang tunggal, telah dimatikan manusia. Dengan kata lain, tulis GM, bila Tuhan bukan penentu tunggal lagi, kita justru bisa tak menggantungkan diri kepada Kebenaran--dalam arti kebenaran yang selesai secara kognitif. Romeo & Juliet hanya tafsir, mungkin dusta, tapi tak sia-sia. Kita akan terus "memburu arti", memberinya makna (GM, Caping 13, h.113-114)

"Tidak ada yang lebih manis dan lebih baik daripada kesepian. Jangan terikat pada siapa pun, semua hubungan dengan manusia adalah penjara!!"--Arthur schopenhauer, filsuf Jerman

"Terkadang kamu perlu menyendiri. Bukan untuk kesepian, tapi untuk menikmati waktu luang menjadi diri sendiri." --Anonim

"Menjadi diri sendiri di dunia yang terus-menerus berusaha menjadikanmu sesuatu yang lain adalah pencapaian terbesar." --Ralph Waldo Emerson

Kesepian, bila diterima, merupakan anugerah yang akan menuntun kita untuk menemukan tujuan hidup." --Paulo Coelho

"Orang dengan perilaku pemberontak anarkis libertarian seperti Jim morrison tidak bisa berada di militer. Militer seperti di penjara." --Anonim

"Perubahan tidak hanya terjadi ketika orang menolak. Penolakan tidak selalu melahirkan sesuatu yang baru. Penerimaan juga tidak bisa hanya diartikan sebagai langkah pengukuhan status quo. Penolakan terhadap sebagian hal yang dianggap ‘buruk’, ditambah penerimaan sebagian hal yang dianggap ‘baik’, juga tidak menyelesaikan soal. Sikap ‘praktis-pragmatis’ semacam ini melangkahi persoalan dasar—bahwa apa yang dianggap ‘buruk’ dan ‘baik’ itulah justru yang harus dipersoalkan secara lebih mendalam. Namun pemikiran skeptis memang tak jarang menjengkelkan orang, karena ia jauh dari kepentingan praktis.... Dengan berpikir ulang, mencari perspektif, dengan mempertanyakan kembali pemikiran-pemikiran yang ada, diharapkan kesadaran yang baru dapat ditumbuhkan dan visi kehidupan dapat disegarkan." --Th. Sumartana


"Masyarakat dan negara terbentuk melalui komunikasi, maka menurut Habermas, kita harus melihat komunikasi sebagai faktor integratif masyarakat kompleks. Komunikasi atau—lebih tepatnya—rasio komunikatif yang bekerja dalam setiap aktor sosial merupakan organizing principle dalam masyarakat kompleks." —F. Budi Hardiman, "Demokrasi Deliberatif: Model untuk Indonesia Pasca Soeharto?", dalam Majalah Basis, No. 11-12, Tahun ke-53, November-Desember 2004, h.17.


--------------------

Dua macam rasionalitas dalam filsafat Habermas:
1. Rasionalitas sasaran (rasionalitas ini dibagi dua lagi: a. tindakan instrumental [tindakan yang mau mencapai sebuah sasaran terhadap alam, melalui pekerjaan]; b. tindakan strategis: sasaran terhadap sikap orang lain/menguasai manusia)
2. Rasionalitas komunikatif (hanya mungkin dalam hubungan bebas sederajat antara dua subjek)
(Franz Magnis-Suseno, "75 Tahun Jurgen Habermas", dalam Majalah Basis, No. 11-12, Tahun ke-53, November-Desember 2004, h.6)

---------------


"Sapere Aude!" (Beranilah Berpikir Sendiri!). Itulah slogan Aufklarung. Aufklarung berasal dari bahasa Jerman, yang artinya "pencerahan". Menurut Kant, sebagaimana dijelaskan oleh Sindhunata, Aufklarung adalah pembebasan manusia untuk tidak lagi taat secara buta kepada otoritas apa pun, dan itu terjadi lewat pernyataan diri manusia secara rasional. Dengan kata lain, Aufklarung tak lain adalah kebebasan manusia untuk menggunakan akalnya dalam setiap bidang kehidupan publik (Sindhunata, "Berfilsafat di Tengah Zaman Merebak Teror", dalam Majalah Basis, No. 11-12, Tahun ke-53, November-Desember 2004, h.58). Filsuf Jerman, Immanuel Kant, mengajak orang-orang untuk semakin berani dan bebas menggunakan akalnya. Menurut Kant, bila manusia masih belum yakin dengan kemampuan akalnya untuk menciptakan kemajuan dan kebahagiaan di dunia, maka artinya manusia tersebut belum dewasa (https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5954369/istilah-aufklarung-pengertian-latar-belakang-dan-pengaruhnya). Kebebasan pribadi, penggunaan rasio dalam kehidupan publik, itulah hakikat Aufklarung (Sindhunata, Ibid).


"Masyarakat dan negara terbentuk melalui komunikasi, maka menurut Habermas, kita harus melihat komunikasi sebagai faktor integratif masyarakat kompleks. Komunikasi atau—lebih tepatnya—rasio komunikatif yang bekerja dalam setiap aktor sosial merupakan 'organizing principle' dalam masyarakat kompleks." —F. Budi Hardiman, "Demokrasi Deliberatif: Model untuk Indonesia Pasca Soeharto?", dalam Majalah Basis, No. 11-12, Tahun ke-53, November-Desember 2004, h.17.


"One of the greatest problems of our time is that many are schooled but few are educated; salah satu masalah terbesar di zaman kita adalah banyak orang yang bersekolah tapi hanya sedikit yang berpendidikan." --Thomas More


"Menjadi diri sendiri di dunia yang terus-menerus berusaha menjadikanmu sesuatu yang lain adalah sebuah pencapaian terbesar," kata penulis dan filsuf AS, Ralph Waldo Emerson.


"Idealisme tanpa pijakan realitas menjadikan orang pemimpi dan sekaligus pembohong. Sedang realisme tanpa nilai-nilai ideal akan menjadikan orang hidup tanpa martabat." --Th. Sumartana


Perubahan tidak hanya terjadi ketika orang menolak. Penolakan tidak selalu melahirkan sesuatu yang baru. Penerimaan juga tidak bisa hanya diartikan sebagai langkah pengukuhan status quo. Penolakan terhadap sebagian hal yang dianggap 'buruk', ditambah penerimaan sebagian hal yang dianggap 'baik', juga tidak menyelesaikan soal. Sikap 'praktis-pragmatis' semacam ini melangkahi persoalan dasar--bahwa apa yang dianggap 'buruk' dan 'baik' itulah justru yang harus dipersoalkan secara lebih mendalam. Namun pemikiran skeptis memang tak jarang menjenguk orang, karena ia jauh dari kepentingan praktis. --Th. Sumartana


Kekuasaan itu, tulis Jacob Sumardjo, dipercayai sebagai tugas suci. Mengapa? Karena yang dibutuhkan manusia atas sebuah pemerintahan adalah tegaknya kebenaran, keadilan, dilenyapkannya kejahatan, dan dijaminnya suatu perdamaian. Jadi, inti suatu kekuasaan adalah kebenaran. Karena itu, harus dipahami, politik--salah satu tujuannya--adalah untuk mencapai kekuasaan. Tapi kekuasaan itu digunakan dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan, terwujudnya kesejahteraan, ketentraman, keamanan hidup. Dalam bahasa agama: melakukan tugas "amar ma'ruf nahi munkar". Kekuasaan itu dapat berbahaya, kata Jacob, kalau telah dicampur dengan kepentingan-kepentingan pribadi para penerima mandat kekuasaan. Kekuasaan dapat berbahaya kalau moralitas pemegang kekuasaan sudah mulai melenceng. Setiap kekuasaan itu mengandung suatu amanat. (lihat Jacob Sumardjo, "Renungan Kekuasaan", dalam Tim Maula (ed), Jika Rakyat Berkuasa: Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, h.70-71). 


Dalam kitab-kitab "babad", biasanya dikisahkan merosotnya moralitas raja menjelang akhir kekuasaan dinastinya. Raja Kertajaya bahkan membunuhi para pendeta sebelum istananya direbut oleh barisan Ken Arok yang telah berhasil memperistri Kendedes (lihat Jacob Sumardjo, "Renungan Kekuasaan", dalam Tim Maula (ed), Jika Rakyat Berkuasa: Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, h.71). 

"Kehidupan sehari-hari kita tak pernah lepas dari bahasa, khususnya dalam percakapan kita, maka kita senantiasa melakukan penafsiran terus-menerus. Dengan kata lain, hermeneutik merupakan gejala khas manusia." F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 38).


"Hermeneuein dapat dipahami sebagai semacam peralihan dari sesuatu yang relatif abstrak dan gelap, yaitu pikiran-pikiran, ke dalam bentuk ungkapan-ungkapan yang jelas, yaitu dalam bentuk bahasa. Pemadatan pikiran dalam bahasa sudah merupakan penafsiran." F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 37.


"Hermeneutik bisa juga diartikan 'menerjemahkan', atau usaha mengalihkan diri dari bahasa asing yang maknanya gelap bagi kita ke dalam bahasa kita sendiri yang maknanya jelas." --F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h.37

Nietzsche hanya mengakui satu kebenaran: tidak ada kebenaran. Segalanya hanyalah perspektif dan interpretasi (lihat St. Sunardi, h. 183)

***

"Filsafat yaitu tidak lebih dari usaha menjawab pertanyaan terakhir. Tidak secara dangkal dan dogmatis seperti yang biasa dilakukan dalam keseharian, tetapi secara kritis." (Bertrand Russell) Ket: Pernyataan ini menyoroti bahwa filsafat adalah upaya mendalam untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang kehidupan, eksistensi, dan dunia. Namun, jawaban ini tidak diberikan secara sederhana atau berdasarkan kebiasaan sehari-hari yang sering dipenuhi asumsi dan kepastian palsu. Filsafat menuntut pendekatan kritis—mempertanyakan asumsi, menggali lebih dalam, dan tidak menerima sesuatu begitu saja tanpa dasar yang kuat. Ini adalah cara berpikir yang tidak puas dengan jawaban instan, tetapi mencari pemahaman yang benar-benar kokoh. Filsafat, dengan kata lain, adalah seni mempertanyakan yang serius dan sadar.

***






0 komentar:

Posting Komentar