Oleh: NANI EFENDI
"Jangan berkerumun! Jadilah otentik." Itulah "slogan" eksistensialisme, kata F. Budi Hardiman. Dan tulisan ini memang saya rujuk dari kuliah F. Budi Hardiman yang disampaikannya melalui kanal YouTube. Dengan bahasa yang mudah dipahami, Budi Hardiman menjelaskan tentang filsafat eksistensialisme-nya Soren Kierkegaard, seorang filsuf asal Denmark. Budi Hardiman adalah dosen di STF Driyarkara Jakarta (1992-2018), dan sekarang menjadi Guru Besar Filsafat pada Universitas Pelita Harapan.
Apa itu eksistensialisme?
Eksistensialisme adalah sebuah aliran filsafat Barat di akhir abad ke-19. Aliran ini sangat alergi terhadap massa atau kerumunan (kawanan). Karena yang dicari oleh eksistensialisme adalah "aku otentik; authentic self"; atau diri sejati. Sedangkan kerumunan, bagi eksistensialisme, adalah suatu entitas yang sangat berbahaya untuk mengenal diri. Kesendirian itu membuat orang menemukan dirinya. Karena dalam kesendirian terjadi pergumulan eksistensial untuk mengenal diri. Dalam eksistensialisme, individu-lah yang merupakan realitas, bukan kelompok. Ini sepertinya ada kecocokan dengan ajaran Islam tentang pertanggungjawaban secara individu-individu di Hari Akhir. Dan bandingkan juga dengan kajian tasawwuf tentang "mengenal diri".
Jadi, eksistensialisme itu mengajarkan:
jadilah dirimu sendiri. Artinya, kita harus mengambil jarak terhadap apa kata
orang. Soren Kierkegaard adalah Bapak Eksistensialisme. Ia bukan berasal dari
negara yang dominan dalam filsafat Barat, yaitu Jerman dan Prancis. Tapi ia
berasal dari Denmark. Aliran ini kemudian berkembang di abad ke-20 melalui
tokoh-tokoh seperti Sartre dan Camus. Untuk memahami eksistensialisme, penting
untuk membaca biografi tokoh eksistensialis yang bersangkutan. Karena akan
sangat membantu untuk memahami pemikirannya. Karena eksistensialisme terkait
dengan pengalaman subjektif dari tokohnya.
Filsuf-filsuf eksistensialisme
itu berfilsafat melalui pergumulan hidupnya sendiri. Nietzsche, Buddha,
misalnya, pemikiran mereka adalah pergumulan hidupnya. Sidharta Gautama, kata
Budi Hardiman, mempunyai motif eksistensialis. Nah, apa yang disebut dengan existence
atau to exist adalah berkaitan dengan faktisitas atau kenyataan yang
terberi (given) begitu saja: maka kenyataan itu unik, singular, konkret,
dan tak tergantikan. Berikut ini ada tiga arti modern dari bereksistensi.
Pertama, tidak membiarkan
diri larut dalam pola-pola abstrak dan mekanis, melainkan membuat
pilihan-pilihan baru secara subjektif. Inilah yang disebut "aku
otentik". Kedua, bereksistensi adalah menjadi aktor bukan
spektator dari kehidupan ini. Yaitu dengan mengambil keputusan. Kierkegaard
pernah mengalami dalam hidupnya dia pernah menjadi pengamat kehidupan: hanya
mengomentari ini dan itu. Ingin menjadi ini dan itu, tapi tidak pernah
berpartisipasi di dalamnya. Tidak bergumul dengan hidup itu sendiri.
Dia melukiskan dalam hidup ini ada dua macam orang, yang dilukiskan dengan kusir kuda. Ada kusir (orang) yang secara aktif mengendalikan kudanya. Jika kudanya menyimpang, ia akan tarik tali kekangnya supaya lurus kembali. Ia ambil keputusan. Tapi juga ada kusir kuda atau tipe orang yang "mengalir saja", "ikuti saja" bagaimana kuda itu jalan. Ini tipe orang yang mengikuti filsafat Taoisme: bergerak saja bersama kehidupan. Nanti kehidupan akan membimbingmu. Hidup itu menggelinding saja. Dan juga ada orang-orang religius yang berpandangan semacam itu: serahkan saja pada Tuhan. Hidup itu dijalani saja. Nah, itu tidak disetujui oleh orang-orang seperti Kierkegaard. Orang bereksistensi adalah seperti seorang kusir kuda yang aktif: mengambil keputusan. Tentunya keputusan yang rasional. Yang bisa dipertanggungjawabkan. Yang otentik. Yang berasal dari kebebasannya.
Pengertian ketiga, adalah
mengambil jarak terhadap kerumunan. Kerumunan adalah sesuatu yang berbahaya untuk
kebebasan eksistensial. Karena kerumunan mengasingkan individu dari
perasaan-perasaannya, dari pemikirannya, bahkan juga dari keinginannya. Orang
yang terbiasa didikte oleh kelompok, tidak sadar siapa dirinyadirinya, tidak
sadar keinginannya sendiri. Jadi, kerumunan adalah entitas yang berbahaya:
memperbodoh, membuat orang takut ambil keputusan, membuat orang tidak dewasa
dan tidak matang. Maka jauhi kerumunan, jadilah otentik. Publik adalah sesuatu
yang buruk bagi Kierkegaard. Bereksistensi berarti mengambil keputusan yang
otentik dari kebebasan sendiri.
Tahap (tipe) eksistensial manusia
1. Tahap estetis
Kata "estetis" berasal
dari bahasa Yunani, yang berarti "menginderai". Orang tahap atau tipe
ini diwarnai oleh persepsi inderawinya. Orang tahap ini hidup dengan
dorongan-dorongan untuk mengejar kenikmatan. Beyond good and evil: sesuatu yang
nikmat, melampaui moral. Jangan dianggap bahwa orang yang mencari kenikmatan di
dalam hidupnya adalah bukan kehidupan yang eksistensial. Itu adalah kehidupan
yang eksistensial, jelas F. Budi Hardiman. Karena itu merupakan sebuah
keputusan. Ada ketakutan terbesar dari orang tipe ini, yaitu kebosanan dan
ketidaknyamanan. Tipe ini contohnya adalah seperti orang yang hidup dengan
dugem, poya-poya, menjalin hubungan dengan banyak perempuan (kalau ia
laki-laki), kalau ia perempuan ia suka berbelanja, misalnya. Contoh yang
dipakai oleh Kierkegaard adalah Don Juan, tokoh fiksi penakluk wanita di
Spanyol. Hidup bersenang-senang dengan banyak wanita, tapi berakhir dengan
kebosanan.
Kebosanan itu akan menantang orang dari tahap estetis ini untuk melakukan lompatan eksistensial ke tahap berikut. Tapi tidak semua orang melakukan lompatan itu. Ada yang tetap pada tahap estetis. Kebosanan adalah kesempatan terbaik untuk merenung secara eksistensial: hidup ini apa? Dan orang yang seperti ini bisa menangkap bahwa ini adalah suatu tawaran untuk melompat. Maka ia akan melompat ke tahap berikut: tahap etis.
2. Tahap etis
Orang pada tahap etis adalah orang yang menyesuaikan diri dengan standar-standar moral universal, seperti keadilan, kesetaraan, solidaritas. F. Budi Hardiman menggambarkan misalnya orang yang pada awalnya adalah seorang playboy (hidup dari pesta ke pesta), tapi kemudian dia menjadi aktivis kemanusiaan, penegakkan HAM. Intinya ia menyesuaikan dengan standar-standar moral universal: baik dan buruk menjadi pertimbangan moralnya. Tapi menurut Kierkegaard, tidak mengenal dosa. Yang dia kenal baru guilt (kesalahan). Hidupnya rasional, tapi tidak spiritual. Contoh orang dalam tahap ini menurut Kierkegaard adalah Socrates. Socrates tunduk pada konstitusi Athena karena semata-mata itu adalah nilai-nilai universal. Ia meneguk racun dan mati. Ini bukan tahap yang buruk, kata Hardiman. Tapi ini pembedaan yang sangat penting bagi orang beriman menurut Kierkegaard. Beriman tidak sama dengan bermoral. Karena beriman lebih dari bermoral.
3. Tahap religius
Di tahap ini orang melakukan
"leap of faith", dengan membuat komitmen personal kepada Allah.
Lompatan itu non rasional. Disebut pertobatan. Allah dihayati sebagai paradoks
absolut. Contoh yang diberikan Kierkegaard adalah Abraham (Ibrahim). Ketika ia
memperoleh anak di usia tua, Allah memerintahkan dia untuk membunuh anaknya
itu. Ibrahim patuh. Nah, ini paradoks. Mengapa? Karena Tuhan yang menjanjikan
Ibrahim sebagai bapak bangsa, meminta anak itu untuk dikorbankan. Itu paradoks.
Tapi Ibrahim taat. Taat meskipun tidak tahu akhirnya akan seperti apa. Beriman
berkaitan dengan paradoks itu. Beriman dengan ketaatan meskipun tidak tahu ujungnya
akan seperti apa. Itulah iman. Iman membuat orang bertahan. Meskipun tampak
tidak ada harapan. Meskipun juga tidak tahu akan menjadi apa seseorang. Itulah
iman.
Kebenaran menurut Kierkegaard, kebenaran
adalah masalah subjektif yang batiniah. Bukan sesuatu yang dicari atau diuji di
luar kepala sebagai objektivitas atau fakta. Yang penting bagi Kierkegaard,
kata Hardiman, hubungan dengan kebenaran, bukan hakikat kebenaran. Anda hidup
benar jika Anda memiliki hubungan dengan kebenaran. Bukan karena Anda
memikirkan kebenaran atau mencoba merumuskan kebenaran. Tapi karena Anda punya
relasi dengan kebenaran. Iman, bagi Kierkegaard, adalah kebenaran subjektif
itu. Ia tidak bisa diobservasi. Iman justru kehilangan gairah jika diobservasi.
Gairah iman ada pada subjektivitas. Kebenaran subjektif menyangkut eksistensiku
yang tidak dapat dipertukarkan dengan orang lain. Itu penghayatanku dan bukan
penghayatan orang lain. Gairah muncul kalau iman itu subjektif.
Kierkegaard dalam pandangan
Habermas dan Camus
Jurgen Habermas menilai, pemikiran Kierkegaard separuh filsafat dan separuh teologi. Di dalam filsafatnya, Kierkegaard membiarkan nalar berjuang dengan kekuatannya sendiri. Itu dalam tahap estetis dan etis. Menurut Habermas, Kierkegaard membiarkan akal mencari kebenaran. Tapi dia yakin kebenaran yang ditemukan oleh akal paling bersifat estetis dan etis. Lalu akhirnya, akal itu sendiri akan menemui batas-batasnya dan menyerah pada iman. Maka dari itu, Kierkegaard yakin kalau kita membiarkan akal itu bergerak dengan kebebasannya, akal akan menemukan bahwa hidup ini sebenarnya akan menghadapi palung tanpa dasar. Dan akan putus asa, sickness unto death, lalu akhirnya akal akan lompat ke iman. Itu keyakinan dari Kierkegaard.
Menurut Albert Camus, lain lagi. Menurut Camus, leap of faith
dari Kierkegaard ini adalah "bunuh diri metafisik". Menjadi seorang
eksistensialis sejati, jangan lompat ke iman, melainkan bertahan di dalam
absurditas. Memang hidup ini absurd, kata Albert Camus. Menurut Kierkegaard,
"Manusia adalah sebuah sintesis antara ketakterbatasan dan keterbatasan,
kefanaan dan keabadian, kebebasan dan keniscayaan. Singkatnya: sebuah
sintesis."
Kritik F. Budi Hardiman terhadap
eksistensialisme
Kata Hardiman, benar bahwa keputusan
eksistensial perlu secara subjektif dalam hidup kita. Misalnya, memecat
karyawan atau tidak, mengakhiri atau menjalin hubungan dengan orang lain atau
tidak, itu membutuhkan keputusan eksistensial. Memilih jalan hidup adalah juga
membutuhkan keputusan eksistensial. Hal itu bisa tidak tanpa menghiraukan
dampak sosial. Contohnya pelaku bom bunuh diri (suicide bomber). Secara
eksistensial, menurut F. Budi Hardiman, subjektivitas pelaku bom bunuh adalah
keputusan eksistensial, yakni digolongkan ke tahap religius sebagaimana
dijelaskan di atas.
Artinya, kata Hardiman, orang
bisa terlalu yakin dengan keputusan eksistensialnya yang bersifat subjektif,
dengan pengalaman subjektifnya, bahkan pengalaman itu sangat spiritual. Tapi,
yang tak setujui Hardiman adalah dampak sosial dari keputusan eksistensial
pelaku bom bunuh diri. Itu kritik F. Budi Hardiman terhadap pemikiran
eksistensialismenya Kierkegaard. Jadi, menurut Budi Hardiman, Kierkegaard dan
para eksistensialis lainnya terlalu fokus pada dimensi subjektif dan
individualistis manusia. Ia ada dalam bahaya menjadi orang yang
mengeksistensialiskan segala sesuatu. Dan bisa juga ditarik ke
eksistensialisasi kekerasan.
NANI EFENDI, Alumnus
HMI
Referensi:
F. Budi Hardiman, Jangan Berkerumun,
Jadilah Autentik: Kierkegaard dan Eksistensialisme, dalam https://youtu.be/h2vkR5BrjKM?si=fOLK21uSb4736POi
0 komentar:
Posting Komentar