alt/text gambar

Selasa, 24 Oktober 2023

Topik Pilihan: , , ,

MEMAHAMI POSITIVISME: KRITIK TERHADAP MASYARAKAT PEMUJA PENGETAHUAN ILMIAH


 Oleh: NANI EFENDI

Dulu saya adalah orang yang mengagungkan kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah bagi saya dulu adalah satu-satunya kebenaran. Jika tak ilmiah, saya tak percaya. Tapi setelah banyak belajar dan banyak membaca, saya akhirnya tercerahkan. Bahwa saya dulu itu, tanpa saya sadari, merupakan penganut paham positivisme. Tulisan saya ini juga bertujuan untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat saat ini, terutama para mahasiswa maupun kaum akademisnya. Lebih-lebih mahasiswa di perguruan tinggi yang bermutu rendah.

Berkenalan dengan positivisme

Pikiran saya benar-benar tercerahkan setelah membaca buku F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Fransisco Budi Hardiman merupakan alumnus STF Driyarkara yang sekarang menjadi Guru Besar Filsafat pada Universitas Pelita Harapan, Jakarta. Lewat buku Hardiman, saya memahami apa itu positivisme. Sekarang saya memahami bahwa kebenaran ilmiah yang diagungkan oleh banyak orang adalah kebenaran menurut salah satu aliran saja dalam filsafat, yakni rasionalisme dan empirisme. Dan yang lebih ekstrem lagi ialah aliran filsafat positivisme. Aliran positivisme ini mencoba untuk menerapkan metode ilmu alam (yang bersifat objektif) kepada seluruh bidang kehidupan manusia. Nah, kehidupan masyarakat hari ini didominasi oleh paham positivisme.

Paham positivisme berupaya menjawab seluruh problem kehidupan (terutama untuk ilmu-ilmu sosial) dengan menggunakan metode ilmu-ilmu alam. Pengetahuan yang didapat tidak melalui metode ilmu alam dianggap tidak sahih. Bahasa sederhananya: dianggap tidak benar. Jadi, menurut paham positivisme, pengetahuan yang benar itu ialah pengetahuan yang objektif saja yang didapat dengan menggunakan metodologi ilmu-ilmu alam. Dalam bidang ilmu alam, positivisme itu sangat pas. Dan itu terbukti dengan kemajuan teknologi saat ini. Tapi, ia menjadi masalah ketika metodologi ilmu alam dipaksakan kepada ilmu-ilmu sosial.

Positivisme berusaha menerapkan metode ilmu alam ke dalam seluruh wilayah kehidupan.[1] Sebenarnya, positivisme dan empirisme sama-sama memberi tekanan kepada pengalaman. Tetapi, positivisme, berbeda dengan empirisme, membatasi diri pada pengalaman objektif saja, sedangkan empirisme menerima juga pengalaman subjektif atau batiniah.[2]

Positivisme itu sebenarnya merupakan salah satu dari sekian banyak aliran filsafat Barat. Ia menandai krisis pengetahuan Barat. Aliran ini berkembang sejak abad ke-19 dengan perintisnya Auguste Comte. Gagasan Comte tentang ilmu-ilmu positif mencapai puncaknya dalam sosiologi.[3] Positivisme menempatkan metodologi ilmu alam pada ruang yang dulunya menjadi wilayah refleksi epistemologi, yaitu pengetahuan manusia tentang kenyataan.[4]

Pencerahan selanjutnya tentang paham positivisme saya dapat dari Komaruddin Hidayat. Komaruddin Hidayat adalah seorang cendekiawan muslim yang meraih doktor dalam bidang "filsafat Barat" di Ankara, Turki. Dalam bukunya, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996, h. 48), Komaruddin Hidayat menulis tentang kritik Ludwig Wittgenstein, terkait bahasa dalam paham positivisme. Dijelaskan bahwa, kompleksitas pengalaman hidup manusia dan imajinasinya tak mungkin dapat dituangkan semua dalam bahasa deskriptif dan kemudian dianalisis dengan logika positivisme. Kompleksitas kehidupan memiliki rasionalitas yang jauh lebih kaya serta penuh nuansa dari realitas yang dikonstruksi oleh filsafat rasionalisme dan positivistik. Ludwig Wittgenstein adalah salah satu filsuf Barat kontemporer yang mengkritik positivisme. Ia pada awalnya adalah pengikut setia paham rasionalisme-positivisme.

Wittgenstein pada mulanya sealiran dengan Betrand Russel dan kelompok Mazhab Wina (Lingkaran Wina; Vienna Circle) yang sangat konsisten dengan logika empirisme-positivisme dalam bangunan epistemologinya. Menurut mereka, rumusan sebuah kebenaran dianggap sah jika bisa bertahan ketika diuji atau diverifikasi dengan logika positivisme yang dideduksi dari pengalaman faktual-empiris. Proposisi tentang Tuhan dan akhirat dianggap tak valid karena tidak empiris. Jadi, aliran ini mengagungkan hal yang nyata (pasti; positif). Kebenaran yang sesungguhnya menurut aliran positivistisme adalah yang nyata (positif). Untuk bidang ilmu alam, metodologi positivistik sangat tepat. Metodologi empirisme-positivisme sangat berjasa dalam riset dan pengembangan ilmu pengetahuan.[5] Tapi paham positivistik menjadi problem ketika diterapkan ke dalam seluruh aspek kehidupan. Karena tak semua bisa didekati dengan metode positivisme. Salah satu contohnya adalah ilmu-ilmu sosial.

Paham positivisme dalam realitas masyarakat Indonesia dewasa ini

Secara umum, dibedakan dua macam ilmu pengetahuan: ilmu alam dan ilmu sosial. Kedua ilmu itu objeknya berbeda. Objek ilmu-ilmu alam di antaranya adalah fisika, kimia, biologi, dan sejenisnya. Sedangkan ilmu sosial mengamati berbagai macam gejala kemanusiaan dan kebudayaan. Masalahnya, apakah perbedaan objek itu harus didekati dan cara yang sama? Dalam sejarah filsafat pengetahuan, kata F. Budi Hardiman, jawabannya tidak seragam. Salah satu jawaban yang mendominasi dunia intelektual sejak puncak zaman modern ini dalam zaman Pencerahan adalah: tak perlu ada perbedaan pendekatan. Karena melihat metode ilmu alam telah sukses menjelaskan gejala alam sampai berkembangnya teknologi hari ini, maka metode itupun diyakini juga akan sukses untuk ilmu sosial kemasyarakatan. Nah, mereka yang menganut pandangan itulah yang dimasukkan ke dalam aliran positivisme. Tokoh-tokohnya yang termasyhur di antaranya adalah Auguste Comte, Ernst Mach, dan para filsuf Lingkungan Wina (Vienna Circle).[6]

Positivisme, yang menyanjung metode ilmu alam, juga berpikir seperti ilmu alam: yaitu bebas nilai (value-free): dalam melihat sesuatu berupaya seobjektif mungkin dan menjauhkan penilaian yang bersifat subjektif, yang bersifat moral, nafsu, kepentingan subjektif, dsb. Positivistik hanya cocok untuk ilmu alam. Untuk ilmu sosial, paham positivistik tak sepenuhnya bisa diterapkan. Karena manusia bukan objek yang statis seperti robot atau mesin. Manusia adalah juga subjek yang berpikir, berbicara, berperasaan, dan bertindak.

Objektivisme yang merupakan puncak perkembangan teori pengetahuan menghapus peranan subjek pengetahuan dan gejala objektivisme itu tampil dalam metodologi positivistik dalam ilmu-ilmu sosial. Objektivisme dan positivisme mengidentikkan pengetahuan dengan metode ilmiah. Artinya, hanya pengetahuan yang dihasilkan melalui metode ilmiahlah pengetahuan yang sahih yang dikenal dengan "ilmu pengetahuan; sains". Bahasa sederhananya: tak ada kebenaran di luar metode ilmiah. Dalam bidang ilmu alam, metode ilmiah yang bersifat objektif saya setuju. Tapi, dunia kehidupan manusia ini terlalu luas jika hanya dipahami dengan metode ilmiah yang menggunakan metode ilmu alam.[7]

Paham positivisme ini menjangkiti masyarakat Indonesia dewasa ini. Mereka mengagungkan pengetahuan ilmiah sebagai satu-satunya kebenaran yang mesti dipercayai dan diikuti. Sehingga sering kita dengar ungkapan: "Itu tidak ilmiah; ini berdasarkan penelitian ilmiah loh; itu ilmiah; Anda tidak berdasarkan fakta ilmiah", dan sebagainya. Seolah-olah jika tidak ilmiah adalah sesuatu persoalan dan kesalahan terbesar yang tak termaafkan. Itulah yang dikritik oleh Friedrich Nietzsche. Emangnya kenapa kalau tidak ilmiah? Mengapa mesti harus ilmiah? Kalau tidak ilmiah kenapa?” demikian kira-kira kritik Nietzsche.[8]

Masyarakat yang mengidap penyakit positivisme seperti sedang memakai kacamata kuda: melihat dunia secara sempit melalui kacamata ilmiah (objektif) saja. Padahal banyak hal dalam kehidupan ini yang tak bisa dijelaskan secara objektif-ilmiah. Bahkan, sains itu sendiri bersifat relatif dan terbatas. Ia hanya dianggap benar sebelum dibantah oleh hasil penelitian terbaru. Pengetahuan ilmiah bukanlah satu-satunya pengetahuan yang mutlak benar. Metodologi ilmiah (metode yang berasal dari ilmu alam) merupakan salah satu cara saja—dalam filsafat pengetahuan—untuk mencari kebenaran. Bukan satu-satunya cara.[9] Karena terlalu banyak problem kehidupan yang tak bisa dijelaskan melalui pendekatan ilmiah yang bersifat objektif-positivistik. Soal surga dan neraka, keberadaan Allah, misalnya, tak bisa dijelaskan dengan pasti oleh pendekatan positivistik. Contoh sederhana saja misalnya tentang nasib manusia. Pendekatan ilmiah positivistik tak bisa menjelaskan tentang misteri nasib. Maka filsuf semisal Albert Camus tak ingin menjelaskan kehidupan dari pendekatan ilmiah-positivisme. Ia punya pemikiran (filsafat) sendiri yang dikenal dengan istilah "absurditas".

NANI EFENDI, Alumnus HMI


Referensi:

F. Budi Hardiman. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Komaruddin Hidayat. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina, 1996.


Catatan kaki:

[1] F. Budi Hardiman. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

[2] Catatan kaki dalam F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 54.

[3] F. Budi Hardiman, h. 56.

[4] F. Budi Hardiman, h. 55.

[5] Lihat Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996, khususnya di halaman 55.

[6]  F. Budi Hardiman, h. 21.

[7] Lihat F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, h. 64.

[8] Tentang ini silakan tonton penjelasan A. Setyo Wibowo mengenai filsafat Nietzsche di YouTube.

[9] Baca juga pemikiran Paul Karl Feyerabend



0 komentar:

Posting Komentar