alt/text gambar

Kamis, 26 Oktober 2023

Topik Pilihan: , , , ,

PLAGIASI DISERTASI: ROBOHNYA KAMPUS KITA

 

Oleh: NANI EFENDI

 

Judul di atas terinspirasi dari novel karya A.A. Navis, Robohnya Surau Kami. Novel yang terbit pada tahun 1956 ini bukan bercerita tentang benar-benar robohnya sebuah surau, tapi robohnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan masyarakat. Judul yang senada juga pernah dipakai oleh Karni Ilyas di acara ILC, dalam rangka kritik terhadap kondisi dunia hukum di Indonesia, yang berjudul Robohnya Mahkamah Kita. Saya tergerak untuk membuat tulisan ini setelah mendengar sebuah ceramah Rocky Gerung. 

Ketika bertemu mahasiswa, Rocky katanya sering bertanya, "Kapan DO?" Pertanyaan itu ditanggapi dengan terkejut oleh mahasiswa, "Kok DO?" Kata Rocky, "Ya, kalau udah tahu mata kuliah isinya bodoh ngapain Anda ikuti. DO aja! Belajar sendiri aja. Selama otak kita ada, kita bisa belajar." Cerita itu disampaikan Rocky pada saat ia menjelaskan bahwa ia pernah membongkar kasus plagiasi dari seorang pejabat. Pejabat dimaksud pernah jadi rektor, dan ingin maju lagi menjadi gubernur. Pejabat itu berupaya memperoleh gelar “profesor doktor” agar bisa menambah nilai jual, mungkin. Tapi diduga disertasinya palsu alias hasil plagiat (jiplak).

Rocky membongkar disertasi itu. Disertasi tentang ilmu fisika. “Saya baca secara singkat, grammar-nya kok kacau?” kata Rocky. Ternyata, disertasi itu saduran dari disertasi orang lain. Disertasi yang aslinya itu ada di Texas, Amerika Serikat. Itu baru diketahui ketika dicek di internet. Ternyata itu disertasi plagiat (palsu) dengan cara diterjemahkan melalui aplikasi Google translate. Ia ketahuan, kata Rocky, karena salah menterjemahkan kalimat aktif menjadi kalimat pasif. Di situlah ketahuan bahwa disertasi itu memang palsu. Disertasi karya orang lain yang diterjemahkan menggunakan Google translate. Maka Rocky menegaskan, “98 persen disertasi di Indonesia ini palsu. Dari logika palsu.”

Gelar akademis pejabat perlu diragukan

Dari penjelasan Rocky itu, saya jadi merenung sendiri: itu sekelas rektor, melakukan plagiat. Apalagi sekelas mahasiswa S2 atau S1. Terlebih di perguruan-perguruan tinggi kecil. Bahkan, saya dengar ada dosen melakukan “jual-beli” skripsi pada mahasiswa. Mahasiswa membayar sejumlah uang untuk membuat skripsi. Jadi yang membuat skripsinya dosennya sendiri. Apakah itu bukan pembodohan yang nyata terhadap mahasiswa? Benar-benar parah pendidikan formal kita saat ini. Oleh karena itu, saya tak begitu kagum dengan banyaknya lulusan S2 dan S3 saat ini. Saya tak terlalu pedulikan gelar akademisnya. Saya lebih kagum dengan seseorang itu dari karyanya. Kalau pun saya kagum pada doktor, yang saya kagumi bukan gelarnya, melainkan karya-karya tulisnya, pemikiran-pemikirannya, dan prestasi-prestasi akademis-intelektualnya. Saya kagum misalnya dengan doktor Nurcholish Madjid, Arief Budiman, Fachry Ali, F. Budi Hardiman, dan lainnya.

Saya juga terkadang sering heran dengan banyak pejabat hari ini (bupati, gubernur, anggota dewan), yang punya kesibukan yang cukup padat, tapi ujug-ujug bisa dapat gelar doktor, gelar profesor, dan gelar mentereng lainnya. Anehnya juga, masyarakat kagum luar biasa dengan gelar-gelar itu. Maka sering kita dengar perbincangan di masyarakat: “Dia itu doktor. Pak Bupati Kabupaten X itu doktor. Gubernur A itu doktor. Kepala dinas itu sudah doktor sekarang.” Bahkan, ada yang marah-marah kalau gelarnya tidak dipasang pada namanya. Mestinya, masyarakat itu kritis sedikitlah. Bukankah para pejabat itu super sibuk? Mestinya, ketika seorang pejabat dapat gelar doktor pada saat ia menjabat, kita pantas pertanyakan secara kritis: kapan ia kuliah? Kalau ia kuliah, apakah ia punya waktu untuk mempelajari mata kuliah dengan baik? Dan kapan ia melakukan riset (penelitian)? Bukankah mereka super sibuk?

Jadi, saya, bukannya kagum pada para pejabat yang ujug-ujug dapat gelar akademis di tengah kesibukannya menjabat, malah saya meragukannya. Dan memang harus diragukan. Terlebih saat ini gelar hanya dijadikan pajangan pada nama agar terlihat keren dan disegani. Padahal, kemampuan intelektual tak ada. Malah tak sedikit sekarang ini gelar akademis didapat dengan cara tak terpuji. Sudah banyak juga diketahui orang, untuk dapat gelar magister, doktor, tak perlu susah payah. Kalau ada uang banyak, gelar bisa diperoleh. Majalah Tempo edisi 1-7 Februari 2021 pernah mengungkap skandal mahasiswa maupun kampus dalam upaya memperoleh maupun memberikan gelar akademis dengan cara-cara tak terpuji. Tertulis pada cover Tempo: “Wajah Kusam Kampus”.

Dan, kemampuan sebagian para dosen sekarang ini pun perlu diragukan juga. Seperti kemampuan dosen menerbitkan tulisan di jurnal-jurnal internasional, misalnya. Terkadang tak murni hasil kemampuan mereka. Tapi itu terkadang diakali dengan cara-cara tertentu. Itu sudah banyak saya dengar dari berbagai sumber. Meski begitu, saya tak mengatakan semua dosen saat ini seperti itu. Tidak. Dosen yang hebat di Indonesia sangat banyak. Saya mengatakan, saat ini ada fenomena seperti itu: fenomena pendangkalan intelektual. Dan itu yang mesti kita kritisi. Masyarakat mesti kritis terhadap fenomena budaya bangga-bangga dengan gelar akademis, sibuk urusan sertifikasi dosen (angka kredit), sibuk dengan jabatan akademis, sibuk ngejar jabatan di instansi-instansi pemerintah, ngejar jabatan politik, dan sebagainya. Padahal kemampuan akademis dan karya intelektual mereka minim.

Nilailah dari karya intelektualnya, bukan dari gelarnya

Saya adalah orang yang tak mau sembarang kagum pada gelar seseorang. Jangankan sekelas gelar magister, gelar doktor pun saya lihat dulu sejauh mana kemampuan akademis-intelektualnya. Kemampuannyalah yang saya kagumi, bukan gelarnya. Oleh karena itu, saya banyak kagum pada tokoh-tokoh hebat meskipun mereka tak punya gelar akademis atau gelar akademisnya hanya S1. Beberapa contoh misalnya Gus Dur, Pramoedya Ananta Toer, Goenawan Mohamad, Emha Ainun Nadjib, Sudjiwo Tedjo, Ridwan Saidi, dan lainnya. Di bidang politik dan pemerintahan ada Mar'ie Muhammad, Fahmi Idris, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, dan lainnya. Gus Dur sengaja keluar dari kuliah karena merasa apa yang diajarkan di kampusnya sudah ia pelajari semua. Tapi walaupun tak punya gelar, Gus Dur diakui kehebatannya sebagai seorang intelektual, budayawan, kolomnis, dan juga kiai.

Jadi, kalaupun saya kagum pada tokoh-tokoh yang bergelar doktor atau profesor, yang membuat saya kagum adalah kemampuannya, terutama karya-karya tulisnya. Banyak juga para profesor dan doktor yang saya kagumi misalnya Franz Magnis-Suseno, Sindhunata, F. Budi Hardiman, Ariel Heryanto, Jalaluddin Rakhmat, Yudi Latif, Ignas Kleden, Refly Harun, dan lainnya. Mereka-mereka ini saya kagumi karena kehebatan intelektualnya, bukan pada gelar akademisnya semata. Jadi, kampus harus kembali kepada idealisme sebagai lembaga pendidikan yang mencerdaskan dan  mencerahkan manusia, bukan "dagang gelar". Dengan begitu, kampus kita bisa tetap "tegak" dan "tak roboh" sebagaimana cerita Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis. 

NANI EFENDI, Alumnus HMI


0 komentar:

Posting Komentar