Oleh: NANI EFENDI
Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844–1900) adalah seorang filsuf, kritikus budaya, penulis
prosa, dan filolog berkebangsaan Jerman. Pemikirannya memiliki pengaruh sangat besar
dalam filsafat kontemporer. Banyak filsuf terinspirasi oleh Nietzsche. Sebelum
beralih ke bidang filsafat, Nietzsche memulai karir sebagai seorang filolog
klasik. Berikut ini saya uraikan beberapa inti pemikiran Nietzsche. Merujuk dari
beberapa sumber, terutama dari penjelasan Doktor Fahruddin Faiz.
Tuhan telah mati: apa
maksudnya?
Menurut Nietzsche—sebagaimana
dijelaskan dengan bahasa yang sederhana oleh Fahruddin Faiz—kalau memang Tuhan
dan moralitas menghalangi kita dari kebebasan, maka Tuhan harus dibunuh. Menurut
Nietzsche, bukan manusia yang diciptakan Tuhan, tapi manusialah yang
menciptakan Tuhan. Manusialah yang membuat konsep, definisi, atau
mengkonstruksikan Tuhan seperti ini, seperti itu. Karena konsep itu dianggap menghalangi
kebebasan manusia, maka menurut Nietzsche, Tuhan dan moralitas harus dibunuh. Manusia
yang mendefinisikan Tuhan. Setiap yang didefinisikan oleh manusia itu bukan
Tuhan. Islam juga berkeyakinan seperti itu: laisa kamiṡlihī syaī`un. Jadi,
kalau sumber moralitas kita yakini berasal dari Tuhan, maka semua ide-ide
absolut, ide kebenaran universal, itu kita bunuh juga. Dengan matinya Tuhan,
maka sudah mati juga ide-ide universal.
Ada konsep Tuhan yang bercokol di
kepala kita yang pada saatnya harus dibunuh, kata Fahruddin Faiz. Karena bisa membelenggu
Tuhan yang sebenarnya. Orang sering menomorsatukan Tuhan yang ada di kepalanya.
Umat beragama sering saling bunuh karena mempertahankan konsep Tuhannya
masing-masing. Masing-masing mengklaim mana Tuhan yang paling benar. Jadi
konsep tentang Tuhan itulah yang terkadang menjadi sumber masalah. Maka menurut
Nietzsche, Tuhan harus dibunuh. Itulah terkenal pernyataan Nietzsche: “Tuhan
telah mati”. Tapi kalau dipahami secara baik, yang dimaksud Nietzsche itu ialah
konsep-konsep tentang Tuhan yang membelenggu kebebasan manusia. Bukan Tuhan
yang sebenarnya. Karena Tuhan yang sebenarnya tak mungkin dapat dibunuh.
Pertanyaannya, bagaimana caranya dan
siapa yang bisa membunuh Tuhan? Jadi, menurut Nietzsche, ketika akal manusia
berfungsi dan ketika sains berkembang, Tuhan itu mati sendiri. Semua yang
misteri bisa dijawab oleh ilmu pengetahuan, baik itu misteri kehidupan alam
(oleh ilmu alam) maupun kehidupan sosial, politik, ekonomi (oleh ilmu-ilmu
sosial), dan lain-lain. Di saat itulah manusia tak butuh "Tuhan" atau
konsep maupun pandangan-pandangan tentang Tuhan. Dengan "matinya
Tuhan", manusia akan bebas, manusia akan bebas bereksistensi.
Jadi manusia bebas bertindak atas
kehendaknya sendiri, tidak menjual nama-nama Tuhan. Karena sering dalam
kehidupan, Tuhan dijadikan dalih saja: membunuh orang atas nama agama,
misalnya. Orang seperti itu, menurut Nietzsche adalah orang-orang yang
pengecut: mereka tak berani bertindak atas nama diri sendiri. Orang-orang yang berani
itu, dicontohkan oleh Fahruddin Faiz, ketika melihat orang berbuat zalim, ia bertindak.
Tapi itu tak ia lakukan atas nama Tuhan. Ia lakukan itu semua karena ia memang tak
suka perbuatan zalim. Itulah orang yang tidak pengecut. Ia tak berlindung di
bawah nama Tuhan.
Nihilisme dan pengulangan abadi
Nah, setelah Tuhan mati, sistem nilai hancur, yang lahir adalah nihilisme. Nihilisme berpandangan dalam hidup ini tak ada nilai atau kebenaran yang absolut. Karena paham nihilisme tak lagi mengakui adanya Sumber atau Fondasi kebenaran final, maka semua konsep nilai telah tersekulerkan dan akhirnya sesuatu hanya dinilai pada nilai tukarnya untuk kepentingan praktis duniawi. Nihilisme adalah suatu kehidupan di mana manusia secara tegas mengingkari adanya landasan yang dianggap mutlak, yang oleh Nietzsche diekspresikan sebagai "kematian Tuhan" (Komaruddin Hidayat, 1996:141-142). Nihilisme itulah, menurut Nietzsche, hakikat hidup yang sejati. Hidup itu nihil: baik-buruk, indah-jelek, benar-salah, diciptakan oleh semua orang. Semua sistem nilai, semua kebenaran mutlak direlatifkan. Manusia bebas memilih apa saja yang ia anggap cocok dan sesuai dengan dirinya. Itulah nihilisme. Semua orang bebas menciptakan dan hidup dengan versinya sendiri. Manusia bebas memaknai hidup ini sesukanya. Kondisi nihilisme itulah hidup yang "benar" menurut Nietzsche. Dalam kondisi nihilis, manusia menikmati jati dirinya sebagai makhluk yang sejati, bebas, dan berakal.
Nah, mengapa nihilisme itu
dianggap benar? Karena hidup ini, menurut Nietzsche, selalu "mutar".
Dalam konsep Nietzsche, dikenal istilah "perulangan abadi";
"kekembalian abadi"; atau "kembalinya yang sama", dan
banyak istilah yang sama. Nietzsche mewartakan, bahwa pemikiran ini tiba-tiba
datang kepadanya suatu hari di bulan Agustus 1881 ketika ia sedang
berjalan-jalan di sepanjang danau di Swiss (lihat:
https://lsfdiscourse.org/gagasan-nietzsche-tentang-perulangan-abadi/). Dilihat
sekilas, konsep perulangan abadi ini mirip seperti konsep absurditas-nya Albert
Camus. Kemungkinan besar Camus terpengaruh Nietzsche. Dan memang Camus adalah pengagum dan terpengaruh oleh Nietzsche (lihat A. Setyo Wibowo dalam F. Budi Hardiman dkk, Empat Esai Etika Politik, Jakarta: Penerbit Www.srimulyani.net, bekerjasama dengan Komunitas Salihara, 2011, h. 70-71)
Menurut teori "kembalinya yang sama; eternal return; pengulangan abadi; kekembalian abadi", senang, susah, baik, buruk, kaya, miskin, berharap terus putus asa, hancur kemudian terjadi kelahiran kembali. Hidup ini berputar seperti itu terus. Memuakkan kata Nietzsche. Karena itu ada kata mutiara Nietzsche: yea-sayer (mengatakan ya pada kehidupan). Artinya, terima saja hidup ini. Jalani dengan berani. Nikmatilah. Karena hidup ini begitu-begitu saja. Besok begitu lagi. Istilah Albert Camus: absurd. Dalam fisika ada yang namanya "hukum kekekalan energi". Energi itu tak akan habis: ia berputar terus. Dulu ada perang atas nama agama, sekarang juga ada. Dulu ada perkosaan, pembunuhan, sekarang pun masih ada. Jadi selalu begitu. Senang-susah. Dalam politik, misalnya, dulu muncul rezim otoriter dan korup. Tapi akhirnya dapat ditumbangkan. Setelah itu muncul reformasi. Setelah reformasi, korup lagi. Begitu seterusnya. Tak ubah seperti cerita Sisifus dalam karya Albert Camus. Dari positif jadi negatif dan kembali positif lagi. Selalu berputar seperti itu.
Dulu manusia tersesat, maka diutuslah
nabi. Setelah diajari dan lurus, sesat lagi. Dulu kehidupan tidak adil, maka
dilakukanlah revolusi. Setelah revolusi usai, kembali lagi muncul
ketidakadilan. Memuakkan kata Nietzsche. Tapi itulah hidup. Diterima saja. Maka
sikap kita jangan memutlakkan: karena yang hari ini salah, besok bisa dianggap
benar. Begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, daripada dikendalikan orang
lain, lebih baik kita buat sendiri kebenaran versi kita sendiri. Itulah keadaan
nihilisme. Semua nilai jadi relatif. Benar salah itu tergantung konteksnya.
Contohnya membunuh orang. Ia bisa salah dan bisa benar tergantung konteks.
Dalam Islam, membunuh orang bisa benar dalam konteks tertentu, misalnya melaksanakan
qisas.
Ubermensch dan the will to
power
Berikutnya, meskipun kondisi
sudah nihilisme (agama dan moralitas ditiadakan), masih ada the last man.
The last man ini adalah kerumunan (orang kebanyakan). Mereka ini, ketika
Tuhan dibunuh, mereka stress. Mengapa? Karena mereka jadi bingung: orang yang
biasa diatur, kemudian diberi kebebasan, itu bisa stress. Bingung mau berbuat
apa. Itulah fase krisis. Orang yang bingung itu adalah orang-orang pengecut: mereka
tak berani berpikir sendiri; tak berani merumuskan tujuannya sendiri, karena
sudah terbiasa manut, atau membebek seperti kawanan domba. Fahruddin Faiz secara
lelucon mencontohkan dengan seorang mahasiswa: ketika dosennya diam, malah
mahasiswa bertanya, "Pak, ada tugas apa, Pak?" Semestinya, mahasiswa
bisa bebas, malah minta diatur. Karena diminta, ya maka keluarlah perintah
beserta aturan-aturan dari dosen itu. Padahal, dosen tadinya tidak mau mengatur,
tapi mahasiswa yang bingung itu justru minta diatur.
Nah, Nietzsche ingin manusia itu
tidak jadi bagian dari kerumunan saja. Kerumunan, kata F. Budi Hardiman, sangat
berbahaya untuk kebebasan eksistensial. Karena kerumunan mengasingkan individu
dari perasaan-perasaannya, dari pemikirannya, bahkan juga dari keinginannya.
Orang yang terbiasa didikte oleh kelompok, tidak sadar siapa dirinya. Tidak
sadar keinginannya sendiri. Jadi, kerumunan adalah entitas yang berbahaya:
memperbodoh, membuat orang takut ambil keputusan, membuat orang tidak dewasa
dan tidak matang. Karena itu, kata F. Budi Hardiman, jauhi kerumunan. Jadilah
otentik. Hidup berkerumun itu analoginya adalah kawanan bebek, atau kawanan
domba. Seekor bebek tak berani ambil keputusan sendiri: tetap selalu
"membebek", mencari pegangan, mengikuti kawanannya, bergantung pada
kawanannya. Grup-grup WA, FB, kalau menurut Fitzerald Kennedy Sitorus, bisa
juga digolongkan sebagai kerumunan. Jadi, orang harus berani keluar dari
grup-grup WA yang tak jelas. Pesan Nietzsche: jadilah orang besar (ubermensch)
jangan jadi bagian dari kerumunan.
Orang besar (ubermensch; superman),
yaitu orang yang bebas dan berpikir sendiri (otentik). Apa cirinya orang besar
(superman) itu? Dia bisa menghidupkan, mengikuti kehendak untuk berkuasa (the
will to power). Sifat ingin berkuasa itu, jelas Fahruddin Faiz, adalah natural.
Setiap orang itu ingin menang, ingin berkuasa, ingin bebas berkreasi, ingin
menguasai sesuatu. Ingin dianggap penting. Ingin menonjol. Ingin hebat. Ingin
lebih dari yang lain. Tapi karena sistem moral yang membelenggu tadi, kehendak
itu jadi terhambat dan di-pressure (ditekan).
Bahasa Fahruddin Faiz: ketika
seseorang ingin berkuasa, dia sendiri yang menjatuhkan harga dirinya. "Ah,
siapalah diriku. Apa sih level diriku ini." Sikap seperti itu, jelas
Fahruddin Faiz, merupakan bentuk pressure terhadap the will to power
atau kehendak untuk berkuasa. Sikap seperti ini dikritik oleh Nietzsche.
Semestinya, orang itu harus berusaha jadi yang berkuasa, jadi orang besar, jadi
pemenang. Siap tanding. Tak boleh kecut. Berusahalah jadi yang menang, bukan
yang kalah. Istilah Fahruddin Faiz, daripada kepala kita diinjak, lebih baik
kita yang menginjak. Begitulah maunya Nietzsche.
Dan keinginan untuk berkuasa itu,
menurut Nietzsche, adalah natural. Jika keinginan natural itu tidak diikuti,
maka orang-orang bodoh dan orang-orang idiotlah yang akan mengatur kita. Justru
tambah rusak diri kita. Oleh karena itu, tak ada salahnya kita mengikuti
"kehendak untuk berkuasa". Itu alamiah atau natural menurut Nietzsche.
Mencari ilmu pun pada dasarnya adalah karena ingin untuk berkuasa. Tak ada yang
salah menurut Nietzsche. Berjuanglah. Jangan kecut. Dunia ini, menurut
Nietzsche, adalah "kehendak untuk berkuasa; the will to power".
Tidak lebih dari itu. Maka, semua problem dunia, termasuk problem agama,
sosial, politik, dan lain sebagainya, akar masalahnya adalah benturan antara
"keinginan untuk berkuasa".
Jadilah Ubermensch, jangan jadi kerumunan
Nietzsche ingin kita jadi Ubermensch, bukan the last man. Ubermensch kadang diartikan dengan superman atau overman. Dalam bahasa Indonesia kadang diartikan dengan "manusia unggul" atau "adimanusia". Tapi ada yang mengatakan istilah itu tak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Tapi yang jelas, menurut Nietzsche—seperti dijelaskan Fahruddin Faiz—tujuan kita hidup bukan menjadi manusia biasa, tapi menjadi manusia super (unggul). Yaitu, orang yang vital, orang yang penting, dan merasa dirinya penting. Tegas, teguh, terampil, bebas, berdaulat. Ubermensch itu jumlahnya tidak banyak. Yang banyak itu ialah the last man atau kerumunan (kawanan). Maka, jadilah orang yang sedikit itu. Jangan jadi bagian dari kerumunan, manusia awam (manusia kebanyakan) atau kawanan. Tapi jadilah otentik, spesial, versi diri kita sendiri. Orang yang otentik, dalam istilah filsafat, disebut sebagai seorang "eksistensialis". Dan karena itulah filsafat Nietzsche digolongkan sebagai filsafat eksistensialisme.
Orang yang tidak menjadi Ubermensch
akan menjadi bagaian dari kawanan atau kerumunan. Mental mereka pun mental
kawanan. Mental kawanan itu lemah, pengecut, bermental budak, manut, tak berani
mengeluarkan pikiran sendiri, dan selalu setiakawan karena membutuhkan
pegangan. Sementara orang spesial itu kawannya jarang. Maka, karena ia istimewa,
superhero itu kesepian. Nietzsche sendiri adalah contoh orang yang kesepian.
Jadi, kita tinggal pilih: mau jadi kerumunan (kawanan), atau seorang yang
spesial.
Ubermensch itu hidupnya bebas.
Tapi bukan berarti ia immoral atau hidup semaunya. Tidak. Ia membuat
nilai-nilai moralnya sendiri. Itulah bedanya dengan para kawanan. Para kawanan,
nilai-nilai moralnya dibikin oleh orang lain.
Ubermensch ialah orang
yang mengatakan "ya" pada kehidupan. "Ya sagen". Artinya,
ia sanggup menghadapi dan menjalani hidup dalam situasi apapun. Sanggup
menghadapi faktisitas kehidupan. Bukan orang yang melarikan diri dari hidup. Ubermensch
itu gambaran idealnya adalah seperti gabungan antara Napoleon dengan
Goethe, atau gabungan antara Jesus dengan Julius Caesar. Jadi, menyatu dalam
satu kepribadian. Ubermensch itu punya ciri gabungan dari seorang
seniman (perasaannya hidup) dengan filsuf (akalnya hidup), dan dengan orang
suci (perilakunya terarah). Jadi, Fahruddin Faiz menjelaskan, dalam diri Ubermensch
menyatu tiga kepribadian: seniman, filsuf, orang suci. Perasaannya
hidup-mandiri; akalnya hidup-mandiri; dan perilakunya terarah. hidupnya tidak
ngawur, dan ia tidak diatur-atur orang.
Ubermensch juga adalah
orang cerdas: ia bisa melihat suatu persoalan dari berbagai perspektif. Ia bisa
melihat dari perspektif tertentu suatu hal bisa salah dan juga bisa benar.
Sedangkan orang kawanan melihat persoalan dari satu perspektif saja. Kalau
sudah dianggapnya benar, ya sudah. Tak ada lagi dia melihat kebenaran dari
perspektif lain. Ubermensch juga tak mengingkari "will to power"-nya.
Ia tak malu mengungkapkan keinginannya. Karena nilai-nilai itu diciptakannya
sendiri. Ia tidak terbelenggu oleh dogma-dogma dan aturan-aturan yang
membelenggu selama ini. Orang yang malu itu karena ada sistem-sistem nilai yang
dibuat orang lain di luar dirinya yang dijadikan pedoman prilaku.
Apa yang dapat kita pelajari dari
konsep Ubermensch-nya Nietzsche? Pertama, perspektivisme: Nietzsche
adalah orang yang pertama menyadarkan bahwa kebenaran itu perspektif. Nietzsche
adalah transisi dari modern ke post-modern. Orang modern masih berkecendrungan
menganggap kebenaran itu tunggal. Kedua, Nietzsche membuat orang
mandiri. Konsep moralitas tuan dan moralitas budak, menyadarkan kita bahwa kita
jangan mau ditindas orang. Dalam hal ini, Nietzsche menyadarkan tentang menciptakan
keadilan. Ketiga, Nietzsche mengajarkan kita untuk menikmati hidup. Nikmatilah
hidup ini. Buatlah hidup seperti yang kita senangi. Jangan bikin aturan yang justru
membuat kita sumpek. Jangan bikin tafsir yang membuat kita pusing sendiri.
Keempat, menurut Nietzsche, manusia itu banyak yang tak melakukan apa-apa. Manusia seperti robot: remote control-nya adalah semua yang ada di sekelilingnya, bisa dalam bentuk agama, adat-istiadat, tradisi, undang-undang, dan lain sebagainya. Manusia terlena dalam rutinitas: kerjanya hanya bangun, kerja, tidur. Besoknya, bangun, kerja, tidur. Terus tiap hari seperti begitu. Tak berpikir tentang hidup. Banyak manusia menganggap seperti inilah hidup. Mereka tak berani keluar dari kotak sendiri. Nietzsche tak menginginkan hidup seperti itu. Nietzsche ingin kita menjadi orang penting dan dicatat oleh sejarah. Maka, pesan Nietzsche: "Jangan jadi bagian dari kerumunan. Tunjukkan dirimu dalam sejarah." Dan Nietzsche telah membuktikan itu.
NANI EFENDI, Alumnus HMI
RUJUKAN DAN CATATAN TAMBAHAN
1. Faiz, Fahruddin, Friedrich Nietzsche: Tuhan Telah Mati, YouTube
2. Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996.
3. Sitorus, Fitzerald Kennedy, Tuhan Sudah Mati (Nietzsche), Apa Maksudnya? dalam: https://youtu.be/lZWaQxzXok0?si=dnnmwItkblW_3s12. Tuhan telah mati adalah pernyataan Nietzsche yang paling terkenal. Menurut Fitzerald Kennedy Sitorus, ada banyak interpretasi tentang ucapan Nietzsche itu. Tapi, kata Kennedy, kalau dicermati dari berbagai tulisannya, maksud dari pernyataan itu ialah sebuah kritik Nietzsche terhadap semua bentuk kepercayaan yang membelenggu dan dijadikan pegangan. Karena, menurut Nietzsche, manusia yang masih terbelenggu dan membutuhkan pegangan—entah itu agama, "tuhan", sains, filsafat, moralitas, tradisi, dan sebagainya—adalah manusia yang lemah. Nietzsche ingin manusia menjadi manusia yang kuat (ubermensch): seorang eksistensialis yang berani mengatakan "ya" (ya sagen) pada kehidupan yang chaos ini, berani menjalani kehidupan yang selalu mengalami "perulangan abadi". Ada yang mengatakan, Ubermensch itu tidak tepat diterjemahkan sebagai superman, tapi Ubermensch itu adalah orang yang melampaui dirinya sendiri, yang berani mengalahkan ketakutan-ketakutan karena berpegang keras kepada nilai-nilai yang diwarisi tetapi tidak dipahami. Ubermensch adalah seorang eksistensialis yang berani menjalani hidup tanpa berpedoman atau manut (ikut-ikutan) pada nilai-nilai yang dibuat orang lain, tapi menciptakan nilai-nilainya sendiri. Ubermensch itu muncul jika pegangan yang membelenggu telah dibunuh. Atau, jika kondisi sudah nihilis, sebagaimana yang dijelaskan oleh Fahruddin Faiz.
Tuhan dalam konteks ucapan Nietzsche adalah semacam "simbolisme semua bentuk pegangan". Tuhan sebagai "uppermost value" atau nilai yang paling tinggi secara simbolis yang dijadikan pegangan oleh manusia. Jadi, yang dimaksud Nietzsche adalah manusia jangan lagi berpegang kepada "tuhan-tuhan" itu. "Tuhan" itu bisa dalam bentuk sains, agama, kepercayaan, moralitas, dan sebagainya. "Tuhan" itu harus dibunuh, menurut Nietzsche, sehingga manusia tidak lagi mengandalkan pegangan, kecuali kepada dirinya sendiri secara eksistensialis: manusia bisa hidup sesuai dengan keinginannya. Berani mengekspresikan dirinya, merealisasikan potensi dan kemauannya tanpa terbelenggu maupun berpegang atau berpedoman pada nilai (pegangan) tertentu.
Nietzsche tidak hanya mengkritik masyarakat tradisional, tapi juga masyarakat modern, terutama masyarakat yang mengagungkan sains. Pengagungan berlebihan terhadap sains dalam masyarakat modern saat ini adalah bentuk "penuhanan" juga, dan itu ditolak oleh Nietzsche. Oleh karena itu, kata Fitzerald Kennedy Sitorus, sekalipun gagas-gagasan Nietzsche begitu liar (gila), tapi ada benarnya juga. Ia tetap bisa digunakan sebagai alat kritik sosial maupun kritik kepribadian dalam fenomena masyarakat kontemporer.
4.https://youtu.be/x1A-uYVFFVs?si=wFHUv_2uUmD87EC_
5. Emrys Westacott, Ph.D, “Gagasan
Nietzsche tentang Perulangan Abadi”, dalam: https://lsfdiscourse.org/gagasan-nietzsche-tentang-perulangan-abadi/ (
Tapi kemudian Nietzsche membayangkan reaksi yang berbeda. Misalkan kita bisa menyambut berita, menerimanya sebagai sesuatu yang kita inginkan. Kata Nietzsche, hal tersebut merupakan ungkapan pernyataan yang paling mengafirmasi kehidupan: menginginkan kehidupan ini, dengan segala rasa sakit, kebosanan, dan frustrasi, lagi dan lagi. Pemikiran ini terkait dengan tema dominan Buku IV The Gay Science, ialah pentingnya menjadi “yea-sayer; seseorang yang berkata ‘ya’ pada kehidupan”, yang menerima hidup, dan untuk merangkul "amor fati" (mencintai takdir kita).
Hal ini juga terkait bagaimana gagasan itu disajikan dalam Thus Spoke Zarathustra. Kesanggupan Zarathustra untuk merangkul perulangan abadi adalah ekspresi tertinggi dari cintanya pada kehidupan dan keinginannya untuk tetap “setia pada bumi.” Mungkin ini akan menjadi respons dari Übermensch/Adimanusia atau Overman/Superman yang diantisipasi Zarathustra sebagai jenis manusia yang lebih tinggi.
6. Friedrich Nietzsche -
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
7. A. Setyo Wibowo dalam F. Budi Hardiman dkk, Empat Esai Etika Politik, Jakarta: Penerbit www.srimulyani.net, bekerjasama dengan Komunitas Salihara, 2011.
0 komentar:
Posting Komentar