Di zaman pemerintahan kolonial Belanda, aparatur sipil negara (ASN) dinamakan "Ambtenaar". Para ambtenaar ini merupakan abdi negara yang bekerja pada birokrasi pemerintahan kolonial. Mereka tak memiliki kemerdekaan dan kebebasan berpikir, kecuali mengabdikan diri, bekerja di birokrasi, secara penuh demi kepentingan pemerintah kolonial yang disebut dengan istilah "Gubermen".
Aparatur negara tak memiliki kebebasan dalam politik. Oleh karenanya, tak bisa diharapkan demokrasi akan berkembang dari golongan ini. Sikap dan mental para ambtenaar di zaman kolonial masih diwarisi oleh aparatur di zaman Orde Baru, bahkan hingga kini.
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer, mengutip pernyataan Tirto Adhi Soerjo (Bapak Pers Indonesia), menulis, "Menjadi pegawai negeri kolonial menghilangkan kemerdekaan diri dan kebebasan berpikir." (lihat Prameodya Ananta Toer, Sang Pemula, Jakarta: Hasta Mitra, 1985, h.185).
Dalam novelnya berjudul Jejak Langkah (h. 464-465), Pram menulis, "Siapa golongan terpelajar dan maju itu sesungguhnya? Bukan kaum priyayi. Di Hindia ini, begitu seorang terpelajar mendapat jabatan dalam dinas Gubermen, dia berhenti sebagai terpelajar. Kontan dia ditelan oleh mentalis umum priyayi: beku, rakus, gila hormat, dan korup. Yang harus dipersatukan memang bukan kaum priyayi, mungkin justru orang-orang yang samasekali tidak punya jabatan negeri."
"Mereka yang tidak punya jabatan negeri, boleh kita masukkan dalam golongan 'kaum bebas', bukan hamba Gubermen, pikiran dan kegiatannya tidak dipagari oleh pengabdian pada Gubermen," tulis Pram (Jejak Langkah, h. 465).
"Memang semakin jauh orang dari jabatan negeri," lanjut Pram, "semakin bebas jiwanya, semakin bebas sepak-terjangnya, karena pikirannya lebih lincah, bisa produktif dan bisa kreatif, mempunyai lebih banyak inisiatif, tidak dibatasi dan dibayangi-bayangi ketakutan akan dipecat dari jabatannya." (Pram, Jejak Langkah, h. 465)
Secara lebih ilmiah, Profesor Koentjaraningrat (1923-1999), seorang antropolog yang berperan besar dalam mendeskripsikan sejarah dan kebudayaan Indonesia, yang juga dijuluki sebagai Bapak Antropologi Indonesia, menulis, "Demokrasi agaknya hanya dapat dikembangkan oleh suatu golongan sosial yang bebas dalam arti bahwa sandaran kekuatan dan kekuasaannya tidak berada dalam sistem pemerintahan, tetapi dalam golongan swasta." (lihat Koentjaraningrat, dalam tulisannya "Mentalitas Pegawai, Feodalisme, dan Demokratisasi", dalam Tim Maula [ed], Jika Rakyat Berkuasa: Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal, h.156).
0 komentar:
Posting Komentar