alt/text gambar

Kamis, 25 April 2024

Topik Pilihan:

Pendidikan, Bukan Sekolahan

 

Ariel Heryanto bersama Pramoedya Ananta Toer

Oleh: Ariel Heryanto

 

Pada hakekatnya, semua orang yang hidup sebagai makhluk sosial adalah kaum terdidik. Termasuk mereka yang tak pernah pegang pensil, tak pernah bersepatu, apalagi masuk halaman sekolah. Pendidikan merupakan bagian dari anugerah Allah bagi kita secara gratis.

Jadi, mengapa pendidikan ternyata dijadikan masalah besar dan berkepanjangan? Mengapa hampir setiap tahun ada berita kaum terpelajar muda mengobrak-abrik gedung sekolah atau menghajar guru dan kepala sekolah?

Terjungkir balik

Konon, pendidikan menjadi persoalan besar gara-gara sekolah tampil dalam kehidupan sosial. Lalu mengambil-alih dan memonopoli wewenang pendidikan dalam masyarakat. Paling tidak, begitulah kata seorang cerdik-cendekia di seberang laut, yang menjadi salah satu tanah-leluhur persekolahan. Jika pendapat itu benar, kita perlu bersyukur. Sebab, di tanah air ini belum terlalu banyak sekolah. Yang perlu diprihatinkan, mungkin, malah banyaknya orang di sekitar kita yang tergila-gila pada sekolah.

Bising dan ruwetnya masalah biaya, tenaga pengajar, gedung, dan buku untuk belajar, atau birokrasi, administrasi, dan akreditasi pada haekatnya bukan masalah pendidikan. Itu khas masalah sekolahan, tetapi bisa menjadi penyakit bagi pendidikan ketika kegiatan sosial di bidang pendidikan disrobot oleh sekolahan.

Dalam bahasa orang sekolah, apa yang sebenarnya berupa masalah sekolahan kemudian dibilang sebagai masalah pendidikan. Terjadilah penjungkir-balikan sejarah dan penyungsangan nalar serta kesadaran besar-besaran.

Sampai-sampai mereka yang tidak tersekolah, tapi terdidik, ikut-ikutan berpikir dan berbicara dengan bahasa sungsang demikian.

Pengertian sekolah diputar-balikkan dengan pengertian pendidikan. Perhatikan bagaimana orang-orang sekolahan membicarakan diri mereka satu sama lain. Ketika berbicara tentang biaya pendidikan yang bakal mereka nikmati, sebenarnya mereka bicara tentang biaya persekolahan. Jenis sekolah dibilang jenis pendidikan. Tingkat sekolahan terakhir yang mereka tempuh disebut sebagai pendidikan terakhir. Seakan-akan pendidikan punya tanggal pendaftaran dan tanggal tamat belajar, seperti sekolahan.

Dan yang paling keji dari ucapan mereka adalah sebutan untuk sebagian besar warga desa atau warga bangsa yang jauh dari pulau Jawa sebagal kaum "tak-terdidik". Alasannya sederhana, dan sembrono: mereka tak tersekolah!

Buat apa, demi siapa?

Tidak semua atau bahkan tidak banyak kaum tersekolah yang berhati keji atau berniat jahat. Mungkin justru sebaliknya, banyak di antara mereka yang secara tulus bercita-cita mulia. Persoalannya, sejauh mana usaha mereka untuk mewujudkan niat mulia itu ditopang oleh melembaganya persekolahan dalam masyarakat?

Bahasa orang sekolahan yang secara lumrah memutar-balikkan pengertian sekolahan dan pendidikan memberikan tanda-tanda yang mengkhawatirkan. Jangan-jangan ini merupakan bagian luar dan terkecil dari penyakit yang lebih gawat tapi terpendam atau tersamar. Sungguh gawat, jika dengan bahasa dan praktek sosial besar-besaran kita menilai tingkat pendidikan seseorang terutama berdasarkan tingkat sekolahnya.

Lebih gawat lagi, jika sebagian besar warga masyarakat yang tak tersekolah ikut-ikutan percaya pada kebijakan penilaian dan penghargaan semacam itu. Sampai-sampai meluasnya suatu ketahyulan bahwa seseorang perlu bersekolah untuk menjadi orang yang berpendidikan. Soalnya yang paling mendasar bukanlah karena kita tak punya banyak sekolah, biaya bersekolah yang semakin tahun semakin tinggi, sementara banyak orang kita yang miskin. Bukan soal-soal sesepele itu.

Soal yang paling mendasar ialah apa yang terjadi di sekolah dan berkaitan dengan itu kemana arahnya kejadian-kejadian di sekolah itu?

Di sekolah, anak-anak muda yang sehat diajar belajar dengan setumpuk biaya (sebagian dari keringat rakyat), sederet aturan dan kewajiban, dan yang terpenting lagi demi sederet tujuan. Biasanya tujuan-tujuan itu berbunyi merdu-merayu. Tetapi di berbagai negerl, hasil nyata persekolahan itu tidak tertuju sebagaimana pernah dirumuskan dengan merdu-merayu. Yang jelas, anak-anak muda yang bersekolah biasanya hampir-hampir tak punya peluang untuk ikut menentukan baik tujuan maupun cara dan bahan belajar mereka. Kebanyakan orang tua mereka pun tidak. Hal-hal itu ditetapkan bagi mereka. Dengan sanksi dan petuah-petuah pula bagi yang membangkang.

Banyak anak muda bersekolah yang membenci baik bahan pelajaran mau pun cara/aturan belajar yang diwajibkan kepada mereka. Pengajar pun biasanya tak lepas dari rangkaian kebencian itu. Anak-anak muda semacam ini bukan pemalas atau berandalan, tapi berotak sehat dan berjiwa segar. Mereka melihat kegiatan belajar di sekolah itu tak cocok dengan persoalan hidup sehari-hari mereka dan tak membantu mereka memecahkan persoalan hidup yang nyata di sekitarnya,

Mereka diajar belajar mencintai apa yang sesungguhnya mereka benci.

Kadang-kadang dipaksa mencintai hal-hal yang ingin mereka hindari itu. Mereka bisa menjadi pemalas atau berandalan jika pemaksaan itu gagal.

Sekolah mungkin tak bergembira menyaksikan peristiwa-peristiwa tersebut. Tetapi tekanan terbesar bagi sekolah bukan untuk memecahkan soal-soal demikian. Perhatian utama sekolah ialah melancarkan ketertiban dan administrasi persekolahan: jumlah guru dan ruang kelas yang cukup, jam kosong sesedikit mungkin, jumlah lulusan semaksimal mungkin.

Keberadaan dan kelangsungan nasib sekolah sangat ditentukan oleh kelengkapan dan kelancaran soal-soal semacam itu.

Hasil nyata kelancaran dan ketertiban persekolahan biasanya ditujukan pada apa yang disebut lapangan kerja. Ini tidak dengan sendirinya terbatas pada usaha perdagangan, tapi berbagai macam. Jika sekolah mengabdikan jasanya pada lapangan kerja, maka sekolah juga berarti mengabdikan jasa pada mereka yang menguasai lapangan kerja dan mereka yang diuntungkan oleh sistem kerja yang berlaku dalam masyarakat itu.

Sekali lagi, kaum muda bekas tersekolah itu hampir-hampir tak punya pilihan mandiri tentang jenis, tujuan, dan cara bekerja mereka bagi kebahagiaan sendiri. Mereka cenderung melakukan tugas kerja, seperti sebelumnya dengan tugas sekolah, sebagai beban hidup yang mereka benci.

Angka ujian dan ijazah

Anak-anak muda berebut tempat belajar di sekolah, untuk kemudian diajar hal-hal yang tak mereka suka tetapi penting bagi tersedianya tenaga kerja yang dibutuhkan penguasa lapangan kerja. Tentu saja anak-anak muda itu tidak merasa sedang berebut menjadi calon tenaga keria yang bakal diperalat oleh dunia kerja. Justru sebaliknya, mereka merasa sedang memperebutkan alat untuk mencapai gengsi, pangkat, dan gaji tinggi.

Seperti juga banyak kaum penganggur muda tak bersekolah yang berlomba memperebutkan lowongan kerja sebagai buruh rendahan. Mereka tidak merasa berlomba menjadi pendukung sang juragan yang berusaha memperkokoh kekuatan dengan memeras tenaga buruhnya.

Bagi kaum muda yang bersekolah, alat untuk mendapatkan tujuan mereka adalah ijazah yang diperolehnya dengan cicilan angka ujian. Kaum muda yang bernalar dan realistis tidak mencari ilmu atau pendidikan di sekolah. Dongeng tentang ilmu dan pendidikan hanyalah hiasan pidato pengajar sewaktu ada upacara di sekolahan.

Itu sebabnya, kita mungkin tak mendengar berita dari wartawan tentang mengamuknya siswa atau mahasiswa yang dikecewakan oleh ilmu dan pendidikan yang disediakan sekolah. Kaum muda sering dikecewakan oleh mutu pengajaran di sekolah, tapi mereka tak mau dan memang tak perlu buang-buang waktu untuk mengamuk soal itu.

Mereka membayar sekolah, berpura-pura patuh aturan sekolah dan menghapal bahan pelajaran yang mereka maki-maki untuk mengejar angka ujian dan ijazah akhir.

Itu sebabnya, berita rutin yang kita dengar setiap akhir tahun ajaran ialah mengamuknya sebagian siswa dan mahasiswa gara-gara nilai ujian dan ijazah. Mendapatkan nilai tinggi dalam ujian, dan kemudian menggondol ijazah, adalah harapan terpenting bagi mereka. Bukannya ilmu dan pendidikan. Harapan kaum tersekolah itu tidak datang dari langit. Tapi justru persis datangnya dari sekolah yang melembaga dalam masyarakat, serta iming-iming penguasa lapangan kerja. Itulah soal terbesar yang membedakan sekolahan dari pendidikan!

“Jangan cari ilmu di sini", kata seorang mahaguru kepada seorang mahasiswa di kampusnya. "Di sini tempatnya cari ijazah. Carilah ilmu di luar sana. Tanpa pendaftaran. Tanpa bayar. Tanpa jadwal."

Ariel Heryanto, sosiolog

Sumber: Suara Merdeka, Selasa, 6 Mei 1986

0 komentar:

Posting Komentar