alt/text gambar

Kamis, 28 November 2024

Topik Pilihan:

Hadiah Nobel Sastra Ikon Tua yang Pemarah: Pramoedya Ananta Toer dan Apa yang Ia Benci tentang Indonesia


Hadiah Nobel Sastra

Ikon Tua yang Pemarah:

Pramoedya Ananta Toer dan Apa yang Ia Benci tentang Indonesia

(The Jakarta Review of Books, No. 2, Vol. 1, November 2001)


Pada awalnya, The Jakarta Review of Books ingin mewawancarai Pramoedya Ananta Toer dalam kapasitasnya sebagai kandidat untuk Hadiah Nobel Sastra pada tahun 1981. Namun, pembicaraan berkembang ke aspek lain dari karier menulisnya—mengapa ia tertarik pada sejarah, dan apa yang ia maksudkan dalam beberapa buku utamanya.

Kini, Pram sulit diwawancarai. Pendengarannya sudah tidak baik, sehingga reporter kami harus berteriak untuk mengajukan pertanyaan. Dengan alasan yang tidak jelas, Pram hanya mengizinkan wawancara pada hari Kamis. Kebiasaan ini telah berlangsung sejak ia tinggal di Utan Kayu (Jakarta) hingga sekarang di kediamannya di Bojong Gede (Bogor).

Setelah melewati penjara di bawah tiga rezim (kolonial, Soekarno, dan Soeharto), segalanya tiba-tiba berubah. Ia menjadi ikon nasional dalam perjuangan demokrasi di Indonesia, meski kini memandang tanah airnya dengan cukup pahit.

Contohnya adalah penolakan kerasnya terhadap orang Indonesia untuk mengakses perpustakaan pribadinya (yang menurutnya berisi sekitar 5.000 buku—banyak di antaranya dokumen sejarah langka yang penting bagi Indonesia). Ia juga menolak mewariskan koleksi bukunya kepada rakyat Indonesia setelah ia meninggal.

Hal ini disebabkan oleh dua pengalaman buruk dengan "orang Indonesia". Buku-bukunya dipinjam tetapi tidak pernah dikembalikan (ia bersikeras buku itu dicuri). Jangan berbicara padanya soal keadilan di Indonesia: ia percaya hal itu tidak akan terjadi sampai ikat pinggangnya dikembalikan kepadanya.

Ya, ikat pinggangnya. Ia masih menyimpan dendam terhadap pemerintah dan militer Indonesia yang tidak pernah mengembalikan ikat pinggangnya (dan semua barang miliknya) yang disita polisi saat ia ditangkap pada awal tahun 1970-an.

Prinsipnya sederhana: bagaimana mungkin pemerintah bisa dipercaya jika mereka dapat mengambil barang warganya secara tidak adil dan lolos begitu saja? Beberapa orang mengatakan ini adalah ciri khas "Saminisme" dalam dirinya. Orang-orang Samin, yang tinggal di sekitar Blora, sangat mirip dengan suku Baduy dalam kesederhanaannya.

Kesederhanaan yang menjadi ciri khas Saminisme sering kali mengarah pada penyederhanaan hidup yang berlebihan, melihat kehidupan secara hitam putih. Pram memegang prinsip ini sepanjang hidupnya dan menerapkannya pada pandangannya terhadap dunia modern, menjadikannya sosok intelektual-moralis yang tegas, meski dikenal pemarah.


Hadiah Nobel

Saya tidak pernah mengharapkan pujian atas kemampuan saya. Hadiah itu (Hadiah Nobel Sastra - red.) tidak akan terlalu berpengaruh bagi saya, kecuali membuat saya dikenal lebih luas secara internasional. Tapi, secara internasional, saya sudah dikenal. Jadi, semua itu hanya urusan akademik di Swiss, bukan urusan saya. Ketika saya dinominasikan, saya tidak punya masalah dengan itu. Parakitri yang menominasikan saya pada tahun 1981. Sejak itu, saya dinominasikan hampir setiap tahun, hingga tahun lalu. Semuanya tidak terlalu istimewa, menurut saya. Jika ada yang istimewa dari hal ini, itu adalah uangnya. Saya tidak pernah mendukung siapa pun untuk mendapatkan Hadiah Nobel. Mari kita berharap semua orang mendapatkannya.


Tentang pelarangan buku-bukunya, ia berkata:

"Sadar bahwa kita berada di Indonesia, sebenarnya saya merasa ditindas dengan cara yang hebat. Saya bangga. Ketika rezim Orde Baru bangkit, semua milik saya disita. Rumah saya di Rawamangun tidak pernah dikembalikan, bahkan setelah empat presiden memimpin negara ini. Pernah saya mengatakan bahwa jika negara ini tidak bisa berlaku adil kepada rakyatnya, lebih baik tutup saja dan biarkan negara ini terpecah-pecah. Jangan coba-coba membangun negara, serahkan saja kembali kepada Belanda. Saat di bawah pemerintahan kolonial Belanda, kita lebih aman. Kita tidak merasa ditindas, karena para priyayi yang sebenarnya menjalankan administrasi pemerintahan. Mereka adalah orang-orang kita sendiri, pribumi."


Tradisi Intelektual

Kita baru menyadari bahwa kita sedang ditindas setelah beberapa orang belajar bahasa Belanda. Mereka mulai memiliki jendela baru untuk melihat dunia, dengan bersenjatakan bahasa baru tersebut. Mereka membaca Multatuli dan mulai menyadari bahwa sebenarnya kita telah ditindas, dijajah, semua itu karena mereka membaca karya tersebut.


Di masa lalu, para intelektual kita memiliki visi. Mereka mengembangkan semacam kesadaran, dan pada dekade kedua abad ke-20, mereka menyadari bahwa mereka memiliki tanah air, sebuah bangsa, dan mereka menamainya Indonesia. Tetapi hal ini salah. Indonesia berarti "kepulauan India," dan hanya karena nama ini dipopulerkan oleh Adolf Bastian, nama itu digunakan—karena tampaknya modern. Padahal, pada masa itu Indonesia sudah memiliki nama sendiri: "Nusantara," dari masa Kerajaan Majapahit, yang berarti "sebuah kepulauan di antara dua benua," atau "Dwipantara," pada masa Kerajaan Singasari, yang berarti "benteng di antara dua benua."


Pada masa Singasari, ada sebuah perjanjian militer dengan negara-negara di Teluk Tongkin untuk menghadang invasi dari Kubilai Khan. Jadi, pada saat itu, perjanjian tersebut menjadi sumber nama "Dwipantara." Tetapi nama itu tidak digunakan.


Yang digunakan adalah nama yang salah—"kepulauan India." Jadi kesadaran dan hati nurani para intelektual kita pada masa itu masih salah. Dan kita orang Indonesia kurang memiliki keberanian untuk mengoreksi sejarah. Kita masih belum memiliki keberanian.


Itulah mengapa saya begitu kagum bahwa anak-anak muda yang tumbuh di bawah naungan Soeharto selama rezim Orde Baru, bisa menggulingkan Soeharto. Senjata Soeharto sendiri berbalik melawannya. Ini adalah sesuatu yang unik dalam sejarah umat manusia: para mahasiswa, anak-anak muda, menggulingkan seorang diktator yang kuat, dan tanpa senjata. Hal ini hanya terjadi sekali, dan itu terjadi di Indonesia. Saya merasa bangga. Ini berbeda dengan Filipina, dengan "People Power"-nya. Di sana, militer berdiri bersama rakyat. Tetapi di Indonesia, militer menembak, menculik, dan membunuh mahasiswa.


Koreksi Sejarah

Saya mulai tertarik pada sejarah ketika saya merasa bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Jawabannya ada dalam sejarah. Menurut saya, situasi hari ini sama seperti situasi sebelum masa kolonial: mengambil uang orang lain dengan santai, dan menggunakan uang negara sesuka hati. Itulah yang dilakukan oleh para raja sebelum penjajah datang. Hal ini telah menjadi bagian dari budaya bangsa ini.


Sebelum Belanda datang, kita tidak mengenal hukum Barat. Hukum Barat memandang penyuapan, penggelapan, dan semua praktik curang lainnya sebagai pelanggaran hukum. Namun, bangsa kita tidak pernah mencoba melakukan reorientasi, tidak pernah memikirkan kembali konsep negara kita. Kita memuji dan membanggakan semua yang kita anggap sebagai budaya nenek moyang kita, tanpa pernah benar-benar mengevaluasi secara kritis. Berbeda dengan orang Eropa: mereka selalu mengevaluasi kembali peradaban, budaya, dan semua hal mereka. Kita tidak pernah melakukan itu.


Masalahnya ada pada intelektual masa kini. Para intelektual dan filsuf kita belum memiliki hati nurani. Mereka berpikir bahwa apa yang terjadi pada negara ini saat ini adalah hal yang alami. Saya tidak berpikir demikian.


Karena saya memiliki hati nurani, saya ingin mengoreksi sejarah kita. Itulah sebabnya saya menulis Arok Dedes. Saya ingin menggambarkan bagaimana masyarakat kita masih seperti masyarakat pada zaman Arok dan Dedes. Kudeta terjadi sepanjang waktu di negara ini dan telah menjadi budaya politik kita; ini bukanlah hal baru di Indonesia. Saya tidak menerbitkan Arok Dedes hanya untuk bercerita, tetapi untuk memberikan wawasan tentang bagaimana Indonesia sebelum kolonialisme. Kita sekarang hidup seperti pada masa pra-kolonial Indonesia.


Hal yang sama berlaku untuk Arus Balik: saya tidak menerbitkan cerita itu hanya untuk bercerita. Saya ingin masyarakat sadar bahwa kita adalah negara maritim. Lalu, mengapa tentara mendominasi kita? Saya menulis cerita itu agar orang-orang menyadari bahwa negara ini harus mengorientasikan kembali dirinya ke kenyataan maritim, karena kemakmuran kita ada di laut. Tetapi apa yang terjadi sekarang adalah bahwa laut kita menjadi tempat negara-negara asing mencuri. Kita memiliki segalanya di laut kita, tetapi kita bahkan belum mengeksplorasinya. Kita harus mengimpor garam dari negara lain! Ini terlalu berlebihan. Saya tidak habis pikir mengapa negara maritim harus mengimpor garam. Kita memproduksi karet, tetapi mengapa kita mengimpor ban dari negara lain? Sebaliknya, kita malah mengekspor tenaga kerja, terutama tenaga kerja wanita. Bangsa ini pernah digambarkan oleh Soekarno sebagai 'bangsa kuli'; kita adalah kuli di antara bangsa-bangsa.


Kita telah mencapai titik terendah dalam integritas kita dibandingkan dengan negara lain, terutama terkait korupsi, pemalsuan, dan pencurian. Jangan marah pada saya karena mengatakan itu. Lihat saja, kita bahkan kalah dari tetangga kita, Malaysia, dan kekalahan itu mutlak. Saya merasa bahwa kita membutuhkan tatanan sosial yang baru, dan ini adalah tugas generasi baru, karena generasi lama kini sudah usang. Kita tidak menaruh harapan pada generasi tua. Setidaknya, generasi baru ini tidak korup, dan tangan mereka belum ternoda darah.


Kronik Indonesia, saya berharap buku itu dapat menjadi pintu untuk mengingat sejarah. Mengenai isinya yang terdiri dari berbagai versi tentang peristiwa yang sama, ya, begitulah sifat dari sebuah "kronik." Semua materi ditulis sesuai dengan apa adanya saat peristiwa tersebut terjadi. Saya tidak menyertakan komentar atau penilaian pribadi, dan semua peristiwa diatur secara kronologis.


Dalam tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), saya mencoba menulis ulang sejarah yang disebut sebagai "kebangkitan nasional." Menurut sejarah Belanda, kebangkitan itu dimulai dengan Boedi Oetomo. Kita hanya mengikuti versi mereka, dan versi ini masih diajarkan hingga sekarang di semua sekolah kita. Saya mencoba mengoreksi hal itu, karena jelas tidak benar.


Organisasi modern pertama di Indonesia adalah Syarikat Prijaji, meskipun memiliki banyak kelemahan. Syarikat Prijaji sudah menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu, sementara Boedi Oetomo masih merupakan organisasi yang berbasis pada budaya Jawa. Pada kongres pertama mereka, Dr. Soetomo, salah satu pemimpin Boedi Oetomo, bahkan tidak dapat memberikan pidato dalam bahasa Jawa; ia hanya bisa menyampaikannya dalam bahasa Belanda.


Emansipasi

Semua kemajuan, keberanian, tetapi juga semua kepengecutan berakar pada keluarga. Tanpa keberanian, seseorang tidak akan pernah mencapai apa pun. Realisme sosial adalah tentang membangunkan orang-orang yang merasa mereka tidak memiliki apa-apa, dan karakter Nyai Ontosoroh diciptakan untuk membangunkan orang-orang. Melalui dia, terungkap bahwa setiap orang dapat menikmati kemajuan, tetapi bukan hanya karena otaknya saja: mereka juga membutuhkan keberanian. Tanpa keberanian, manusia seperti ternak. Mereka mungkin bisa berkembang biak, tetapi tidak akan pernah mencapai kemajuan.


Pendidikan

Saya lebih suka menyebut elit politik sebagai priyayi saat ini. Semua orang harus tahu bahwa kepedulian mereka hanyalah mengumpulkan sebanyak mungkin kekuasaan. Mereka menggunakan kekuasaan itu untuk korupsi, dan kemudian korupsi itu sendiri dilindungi oleh kekuasaan yang mereka miliki. Tidak ada priyayi yang jujur. Priyayi adalah subkelas feodal yang lahir dari pernikahan antara feodalisme dan kolonialisme, dan priyayi adalah yang mengeksekusi politik penindasan Belanda.

Jika kita benar-benar ingin maju, kita harus kembali kepada individu. Semua kemajuan muncul sebagai hasil dari pencapaian individu, bukan pencapaian sosial. Masyarakat hanya mengikuti individu-individu yang progresif. Ironisnya, pendidikan individu tidak pernah diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia. Pendidikan tentang individu dan kepribadian, seperti demokrasi, misalnya, hanya menjadi lip service di Indonesia.


Pendidikan Amerika mendefinisikan kewarganegaraan yang baik sebagai: pertama, mereka harus membayar pajak; dan kedua, mereka tidak boleh melanggar hukum. Ideologi adalah masalah pilihan individu, jadi masalah sebenarnya bukan apakah seseorang komunis, Marxis, Leninist, atau kapitalis, tetapi apakah orang itu melanggar hukum atau tidak. Jika orang itu melanggar hukum, ia harus diadili. Jika kita bisa seperti itu, hidup akan jauh lebih sederhana.■ 


Sumber: The Jakarta Review of Books, No. 2, Vol. 1, November 2001

0 komentar:

Posting Komentar