Oleh: Ariel Heryanto
(FORUM KEADILAN, No. 17, Tahun IV, 4 Desember 1995)
Indonesia sedang memasuki era baru. Untuk sementara, dan demi mudahnya, era baru ini kita sebut saja Pasca-Orde Baru. Kita beruntung menjadi saksi dan sekaligus pelaku sejarah transisi sosial yang luar biasa ini. Tetapi sekaligus kita menjadi generasi yang menanggung dampak pancaroba perubahan sejarah ini. Tak sedikit di antara kita yang cemas dan bingung. Atau kikuk memasuki Pasca-Orde Baru.
Secara ringkas dan sederhana, perbedaan keduanya dapat digambarkan begini. Masyarakat Orde Baru ditandai oleh kuatnya kepemimpinan aparatur negara (khususnya militer) hampir dalam semua bidang. Bukan saja urusan keuangan, perundang-undangan, pemerintahan, keamanan, atau pembangunan prasarana umum (infrastruktur), tapi juga dalam wilayah yang amat pribadi, misalnya soal mode rambut, nama pribadi, keyakinan religius, bentuk organisasi mahasiswa, sampai selera lagu pop.
Pada awal sejarah Orde Baru, sebagian warga negara didesak agar mengganti nama pribadi dan toko dari nama kecina-cinaan. Tahun 1970-an, Kopkamtib, aparatur militer paling berkuasa, sibuk memerangi rambut gondrong pemuda. Tahun 1980-an, dewan mahasiswa dihapuskan. Lagu pop yang dianggap cengeng dicekal, jilbab sempat dipersoalkan, dan iklan di TVRI ditabukan.
Masyarakat Pasca-Orde Baru ditandai oleh kuatnya tata masyarakat menurut hukum pasar. Sudah lama dan sering kita mendengar bahwa ekonomi menggantikan politik sebagai panglima pembangunan. Tetapi, apa arti pernyataan itu belum sepenuhnya jelas. Yang sudah jelas baru status pemilik dan pengelola modal raksasa mulai “menggeser” pejabat birokrasi negara. Dalam empat tahun terakhir, setiap tahunnya, ada 14 ribu hektare lahan terbuka di Jabotabek yang disulap menjadi “hutan beton”. Dalam setahun terakhir, jumlah ruang untuk pusat pertokoan di Jabotabek naik 860 persen.
Ini biasa disebut “masyarakat kapitalistik”. Tapi kapitalisme bukan cuma soal uang, kerja, buruh, pasar, teknologi, dan laba. Yang lebih menarik, lebih serius, dan sekaligus lebih sulit dipahami adalah perubahan besar-besaran dalam kehidupan sehari-hari. Dalam soal logika, fantasi, mimpi, ketakutan, kesopanan, lelucon, jadwal hidup, sampai selera acara santai.
Perlu ditekankan sekali lagi gambaran di atas bersifat karikatural. Sesungguhnya kedua masyarakat itu tak terbelah seperti minyak dan air. Mereka bersambung erat. Masing-masing mengandur unsur dari yang lain dengan takaran tak imbang. Dalam masyarakat Pasca-Orde Baru peran negara tidak lenyap, tapi jauh merosot. Di masyarakat Orde Baru, kapitalisme bukannya belum hadir. Justru maraknya permodalan Pasca-Orde baru merupakan hasil sukses pembangunan Orde Baru. Di masyarakat Orde Baru, modal negara dan swasta berbanding 75:25. Di masyarakat Pasca-Orde Baru sebaliknya. Perubahan dahsyat ini tidaklah cuma terjadi di Indonesia. Negara Asia Timur dan Tenggara melakoni sejarah serupa.
Bagaimana perubahan besar itu menggejala sehari-hari? Simaklah tokoh macam apa yang kini diidolakan kaum remaja. Seorang menteri atau anggota parlemen? Perwira militer dalam seragam yang gagah? Atau eksekutif muda dengan kartu kredit di saku dan telepon genggam? Calon menantu macam apa yang lebih didambakan bapak-ibu? Pegawai negeri atau manajer perusahaan?
Jawabnya tidak sulit. Jika masih ragu, tengok iklan kita. Di situ sosok manusia Indonesia yang diduga paling memikat khalayak Indonesia diproklamasikan, yakni pengusaha muda dan profesional kaya. Kini masih banyak buku memoar tentang mantan pejabat negara. Nama mereka dijadikan nama piala yang dipertandingkan dalam olahraga. Wajah birokrat negara menghias sampul depan majalah, dinding ruang rapat, dan kalender. Mereka menjadi tamu kehormatan, menggunting pita, membuka acara, dan memberikan kata sambutan. Tak lama lagi para tokoh dunia usaha akan menggeser mereka. Minimal menyaingi.
Dasawarsa lalu Rendra memasang tarif pembacaan puisinya jutaan rupiah. Kini jutawan belajar membaca sajak segenit Rendra. Di parlemen bukan hanya terjadi pengurangan jumlah wakil ABRI. Jumlah profesional dan pengusaha bertambah. Dulu intel, prajurit, dan slogan politik masuk ke berbagai pelosok negeri. Kini tidak ada makhluk yang lebih memasyarakat ketimbang iklan.
Pada zaman Orde Baru, negara menjadi primadona, penanggung jawab utama pembangunan. Pada masa itu wajar jika aktivis kritis berdiskusi soal state versus civil society. Tapi, jika kini diterus-teruskan, perilaku itu ibarat melajukan mobil ke depan dengan memusatkan pandangan mata ke kaca spion.
Yang kini melumpuhkan aktivisme mahasiswa bukan semprotan gas air mata Brimob, tapi semprotan parfum Paris. Daya juang pejuang hak asasi manusia tak lagi diuji di ruang interogasi markas kodim atau polres. Tapi di plaza, cofee shop, diskotik, dan persaingan karir.
Sumber: FORUM KEADILAN, No. 17, Tahun IV, 4 Desember 1995
0 komentar:
Posting Komentar