"... Kita dapat menambah contoh-contoh dari Auger ini dengan catatan lain bahwa seringkali terjadi ilmu pengetahuan dapat dipakai sebagai alat legitimasi atau pembenar atas hal-hal yang sesungguhnya tidak benar."
Resensi oleh: Manuel Kaisiepo Manuel Kaisiepo
Judul buku: Ilmu Pengetahuan: Idaman atau Ancaman?
Editor: J. Wukmir dan S. Gopinathan
Penerbit: PN Balai Pustaka, Jakarta 1981. Diterjemahkan dari Science; Idol or threat?
Unesco dan Ediciones de Promocion cultural S.A. 1974
Tebal: 128 halaman
Harga:
Dari judulnya, anda tentu sudah bisa menduga apa yang ingin disampaikan dalam buku ini. Masih tentang soal yang klasik tetapi – anehnya – tetap relevan yaitu kedudukan atau peranan ilmu pengetahuan dalam sejarah perkembangan umat manusia.
Berangkat dari persoalan seperti ini maka kita akan senantiasa melihat kedudukan ilmu pengetahuan dalam dua wajah yang saling bertolakbelakang. Di satu sisi selalu dinyatakan tentang peranan yang menentukan dari ilmu pengetahuan dalam kemajuan dan kejayaan manusia, di pihak lain senantiasa diperingatkan tentang ancaman kemajuan ilmu pengetahuan manusia itu terhadap hidup manusia. Untuk itu, segudang contoh bisa diberikan, mulai dari ancaman nuklir sampai pada ancaman polusi pabrik.
Lalu di mana posisi yang diambil buku ini? Bagaimana ia melihat kedudukan ilmuwan itu sendiri dalam soal ini?
Netral
Buku yang ditinjau ini memuat enam kumpulan tulisan ditambah sebuah Overview yang ditulis oleh editornya. Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya kutip dua paragraf dari overview tersebut:
“Berbagai jenis watak dan bermacam sifat kita temui di antara par ilmuwan. Ada yang mengatakan ilmu pengetahuan tidak dapat memecahkan persoalan etik kemanusiaan dan peranan ilmuwa hanya mencari kebenarannya di bidangnya masing-masing. Dalam penelitian dan penelahan di laboratorium, kami sampai pada kesimpulan yang dapat dirumuskan dan diterbitkan seperti tiap peneliti seharusnya berbuat demikian.
Bila yang berwenang dalam soal politik, ketentaraan dan ekonomi mengambil alih hasil penelitian itu dan menerapkannya secara teknis untuk tujuan pengrusakan, itu adalah soal mereka. Ilmuwan hanya memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan murni. Sebagai perorangan, ilmuwan adalah seorang “pasifis” dan tidak ada penemuan dalam bidang fisika dan kimia yang tidak dapat digunakan untuk tujuan konstruktif dan damai. Keputusan untuk menerapkan penemuan ilmiah guna pembantaian dan pemusnahan, letaknya tidak pada para ilmuwan. Manusia akan tetap bunuh-membunuh dan barang-barang tetap akan terbagikan secara tidak adil, juga tanpa rumus ilmuwan” (halaman 12).
Dengan demikian jelas bahwa buku ini mengambil sikap tegas bahwa ilmuwan dan ilmu pengetahuan bersikap netral. Bahwa hasil ilmu pengetahuan itu bisa menghancurkan atau membawa malapetaka bagi kelangsungan hidup manusia, itu berada di luar kekuasaan ilmuwan. Namun dalam posisi seperti ini, tidak bisa tidak pasti akan muncul penilaian negatif terhadap kedudukan ilmuwan. Hal itu nampak disadari oleh penyusun buku ini ketika ia mengakui bahwa dalam posisi seperti ini seorang ilmuwan kadang-kadang merosot martabatnya menjadi “pemikir sewaan” bahkan mungkin dicap sebagai pencari untung belaka. Ambisi meneruskan penelitian dengan kondisi teknis yang sebaik-baiknya, hingga mereka dengan sadar mengesampingkan persoalan etis terhadap masyarakat umum (halaman 13).
Di Indonesia sendiri, persoalan seperti ini pernah didiskusikan oleh berbagai ahli ilmu-ilmu sosial kita dalam seminar “Etika Ilmu Pengetahuan & Peningkatan Mutu Kesarjanaan” yang diselenggarakan oleh Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIS) di Medan tahun 1977. Walaupun tidak sampai pada kesimpulan yang jelas dan tegas, namun tersirat dalam seminar tersebut bahwa ilmu pengetahuan itu memang harus netral.
Memang sikap manusia terhadap ilmu pengetahuan itu bisa berbeda-beda tergantung sistem nilai yang dianutnya. Tulisan terakhir dalam buku ini berjudul “Ilmu Pengetahuan dan Mitos” oleh Pierre Auger cukup memberikan suatu wawasan yang baik tentang peranan ilmu itu sendiri dan bagaimana ilmu pengetahuan itu dapat dimanipulasikan menjadi mitos (hal. 109-128). Kita dapat menambah contoh-contoh dari Auger ini dengan catatan lain bahwa seringkali terjadi ilmu pengetahuan dapat dipakai sebagai alat legitimasi atau pembenar atas hal-hal yang sesungguhnya tidak benar.
Axiologi
Sebenarnya, jenis perdebatan seperti terdapat dalam buku ini membawa kita pada salah satu soal prinsipiil dalam hakikat ilmu yaitu yang menyangkut dasar axiologi dari ilmu itu sendiri. Memang buku ini tidak eksplisit membahasnya bahkan juga tidak menggunakan istilah axiologi, namun kira-kira ke tema seperti itulah pemikiran-pemikiran dalam buku ini diarahkan.
Dalam axilogi kita mempersoalkan tentang nilai kegunaan dari ilmu pengetahuan. Dasar axiologi ini tetap penting manakala kita mengingat kembali wajah ganda dari ilmu pengetahuan yang bisa membawa kebahagiaan sekaligus malapetaka bagi kelangsungan kehidupan manusia. Senjata pembasmi kuma, salah satu hasil ilmu pengetahuan, ternyata dapat membawa malapetaka bagi umat manusia. Masih banyak lagi contoh tentang hal ini.
Ada satu hal lagi yaitu soal etik yang hakiki mengenai kehidupan manusia yang berhubungan dengan kemampuan ilmu pengetahuan bermanipulasi dengan hakikat manusia dan hidupnya. Dalam biologi misalnya, tumbuh-tumbuhan dan hewan telah lama dapt diubah jenis dan bentuknya dengan memakai bermacam-macam proses kimiawi dan bermanipulasi dengan berbagai-bagai bagian badannya. Mungkinkah kita membiarkan ahli-ahli ilmu pengetahuan bereksperimen dengan gene manusia untuk mendapatkan jenis manusia baru yang lain bentuk dan sifat-sifatnya? Ini soal serius.
Sumber: OPTIMIS, No. 35, Desember 1982
0 komentar:
Posting Komentar