Menyongsong satu abad Pramoedya Ananta Toer (2)
Pram belum dibebaskan ketika 1977 sebagian tahanan Pulau Buru dibebaskan, dan TEMPO mewwancarai dia. Wawancara ini jadi salah satu bukti, bahwa Pram sudah lama dikenal oleh publik, setidaknya warga yang suka membaca buku, koran, dan majalah. Jadi, bukan "hanya" karena dia semata melahirkan roman tetralogi pada tahun 1980-an.
Rasa-rasanya saya pun sudah mendengar nama Pram sejak duduk di bangku SMP, tapi saya lupa entah dari mana, apakah mungkin dari ibunda yang gemar membaca novel-novel 1950-an? Apakah saya pernah membaca majalan TEMPO edisi ini, entahlah. Saya cuma ingat, kadang majalah ini tergeletak di rumah dan saya ikut membacanya meskipun tidak seluruhnya saya pahami isinya.
Tahanan (2)
“SAYA LEBIH PERCAYA KEPADA KEMANUSIAAN”
(TEMPO, 31 Desember 1977, Th. VII, No. 44)
Pramudya Ananta Toer, penulis sejumlah novel terkenal (antara lain Keluarga Gerilya) yang pernah ditahan Belanda dan kini telah 2 tahun ditahan di P. Buru, termasuk di antara mereka yang belum dibebaskan.
Kabarnya ia ditahan bukan karena kegiatannya sebagai novelis, tapi sebagai pemimpin rubrik Lentera dalam Bintang Timur, yang beberapa belas tahun silam galak berkampanye membersihkan mereka yang tak satu pendirian dengan “sastra revolusioner” yang dianutnya.
Nama Pram selama dalam tahanan selalu dibela Amnesti Internasional. Pram sendiri konon pernah menyerang Amnesti, ketika organisasi ini di pertengahan 60-an mengritik pemerintah Indonesia (zaman Bung Karno) yang menahan Mochtar Lubis. Di P. Buru, dua pekan yang silam, wartawan Far Eastern Economic Review David Jenkins menanyainya tentang benar atau tidaknya cerita itu. Pram katanya tak langsung menjawab. Ia keluar sebentar, kemudian datang mengatakan: “Setiap orang bisa melakukan kesalahan.”
Di bawah ini adalah wawancara wartawan TEMPO Salim Said dengan penulis itu, di hari ketika 1.500 “warga” Inrehab (Instalasi Rehabilitasi) P. Buru dibebaskan . Berlainan dengan potretnya tahun 1971, Pram kini tmpak tegap dan berkulit gelap. Wawancara ini berlangsung dalam kamar (untuk kerja dan tiduer sekaligus) yang berukuran 2 x 1,5 M2. Pram satu-satunya tahanan yang dapat keistimewaan punya kamar seperti itu. “Ini dibangun oleh teman-teman saya,” katanya menjelaskan.
Kabarnya and amenulis novel dalam masa penahanan ini. Berapa novel yang telah anda tulis?
7 yang sudah selesai, 1 yang sedang dalam penyelesaian.
Sejak kapan anda mulai menulis?
Sejak akhir 73.
Mesin ketik yang anda pakai dari mana diperoleh?
Ini dari barang yang tidak bisa dipakai. Kami perbaiki lalu saya pergunakan.
Dulu ada kabar bung Pram bakal dikirimi mesin ketik oleh Presiden. Apa betul cerita itu?
Tidak betul.
Apa anda mendapat kebebasan untuk menulis?
Dalam menulis, kebebasan itu harus saya bikin.
Waktu untuk menulis itu diberikan atau tidak?
Ya, ada.
Sementara teman-teman anda melakukan pekerjaan kasar, apakah anda boleh tetap menulis?
Boleh. Ini ada semacam pembagian tugas. Saya ini hanya menulis. Hidup saya ditanggung oleh teman-teman. Cuma air mandi yang saya peroleh sendiri.
Lalu setelah karangan itu selesai, naskah itu anda serahkan ke mana?
Dibawa oleh petugas ke Jakarta.
Tentang apa saja karangan-karangan itu?
Suatu rangkaian roman tentang periode kebangkitan nasional dari tahun 1898, kebangkitan di Manila, perang Jepang-Rusia sampai berdirinya Volksraad. Itu terdiri atas 4 jilid. Ini sebenarnya merupakan ide lama, ketika dulu saya mengumpulkan bahan-bahan sejarah dari periode itu.
Kesukaran apa yang terutama anda hadapi untuk menulis novel itu?
Kesukaran saya ialah karena saya tidak bisa membaca arsif dan dokumen dari Arsip Nasional. Ini bisa mengakibatkan karangan itu tidak mempunyai bumi untuk berpijak. Pijakannya rapuh dan saya bisa dituduh memutar-balik sejarah, meski saya sebenarnya membikin roman, bukan sejarah.
Bagaimana komentar pihak yang berwajib terhadap karangan-karangan anda itu Betulkah ada naskah anda yang akan diterbitkan oleh Ajip Rosidi (penerbit Pustaka Jaya)?
Sejauh yang saya dengar belum ada komentar dari yang berwajib. Naskah saya yang ke Jakarta hanya ke Bapreru, tidak ada yang ke Ajip.
Kapan anda bisa menyelesaikan novel-novel itu sebelum pada akhirnya diterbitkan?
Ya setelah saya bebas, akan segera saya selesaikan.
Kapan kira-kira pembebasan itu?
Saya tidak tahu. Tapi kebebasan itu bukan keinginan saya, melainkan hak saya.
Apa sebenarnya arti masa penahanan ini bagi diri anda?
Untuk saya, ini merupakan masa agregasi untuk menulis yang lebih baik.
Adakah masa ini mengubah ide atau pikiran yang anda biasa tuangkan dalam karangan anda sebelumnya?
Saya menjadi lebih percaya kepada kemanusiaan. Tadinya saya pernah ragu-ragu, sekarang saya lebih percaya pada hari depan kemanusiaan. Karena saya tahu bahwa apa yang saya deritakan sekarang ini tidak perlu dideritakan oleh orang lain sesudah saya.
Apakah anda merasakan adanya perubahan keyakinan, atau perubahan mental setelah mengalami pembinaan mental di tempat tahanan ini?
Saya dididik secara tradisionil, seperti orang Indonesia umumnya, untuk berbuat baik dan percaya pada Tuhan. Saya kira saya seperti dulu saja, tidak berubah. Dari muda saya didik untuk samadi, meski saya berasal dari keluarga Islam. Dan samadi itu saya lakukan hingga sekarang. Terutama di masa-masa sulit.
Bagaimana perasaan anda terhadp perlakukan yang anda terima sebagai seorang tahanan?
Saya anggap itu semua sebagai proses nasional di mana saya ditempatkan dalam tahanan.
Bagaimana dengan tuduhan bahwa anda dulu memberi angin kepada politik PKI?
Itu terserah yang menuduh. Toh hingga kini tidak pernah dibuktikan di pengadilan.
Jadi anda tidak punya ikatan organisasi?
Saya diangkat sebagai pengurus Lekra, tapi saya tidak tahu organisasi.
Lalu kapan tepatnya Lekra mulai mendekati anda?
Tahun 1956. Di tahun 1958 saya diundang ke kongres Lekra di Solo. Di sana saya diminta memberi sambutan dan pada akhir kongres ternyata saya diangkat jadi pengurus. Tidak hanya dalam kegiatan kebudayaan itu terjadi, sebab juga dalam konperensi perdamaian saya diajak dan diangkat jadi pengurus.
Berapa jauh anda merasa bahwa Lekra bisa membawa atau melaksanakan ide-ide anda?
Sejauh yang saya ketahui tidak ada. Saya ini kan tidk tahu organisasi. Saya orang penyendiri.
Anda mengasuh rubrik Lentera di koran Bintang Timur. Kata-kata keras dipakai di sana, sementara anda sebagai pimpinannya, malah berjuang untuk kemanusiaan. Bagaimana ini?
Itu semua karena saya kecewa terhadap hasil revolusi. Dalam menulis sastra, saya berhadapan dengan diri saya sendiri, dalam menulis artikel saya berhadapan dengan dunia. Berbeda. Saya mengharapkan yang lebih baik dan lebih cepat kepada dunia ini. Mungkin itu yang menyebabkan bahasa jadi kasar.
Bagaimana komentar anda terhadap perkembangan kebudayaan sekarang ini?
Saya mendengar banyak lagu lewat pita-pita rekaman. Rasanya kita ini makin jauh dari bumi kita sendiri. Mengenai kesusasteraan, saya tidak bisa baca.
Jika nanti anda bebas dan berkesempatan aktif kembali dalam kegiatan kebudayaan, apakah penggunaan kata-kata keras dalam artikel anda masih akan terjadi?
Tidak lagi. Soalnya saya makin tua. Sekarang ini saya sudah 52 tahun. Ketika saya ditangkap usia saya 40 tahun. Pada hal dulu saya pernah bercita-cita jika usia 40 saya akan kembali menulis sastra.
Sumber: TEMPO, 31 Desember 1977, Th. VII, No. 44
Sumber: https://www.facebook.com/share/p/1QDcWNvJDR/
0 komentar:
Posting Komentar