alt/text gambar

Selasa, 04 Februari 2025

Topik Pilihan: ,

La Police

Oleh Goenawan Mohamad


Tubuh sosial itu diwakili Parlemen. Tapi dengan itu Parlemen tak bisa menganggap diri identik dengan masyarakat: wakil adalah hanya wakil. Sementara ia tak bisa jadi tempat yang sanggup menyelesaikan tuntas soal keadilan, ia tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa dalam tubuh sosial selalu bersembunyi apa yang disebut Ranciere la police: struktur yang diam-diam mengatur dan menegakkan tubuh itu. 

La police itu (mungkin ada hubungan kata ini dengan "polis” sebagai negeri dan ”polisi” sebagai penjaga ketertiban) bersifat oligarkis. Tubuh sosial mengandung ketimpangan yang tak terelakkan, selamanya ada yang kuat dan ada yang lemah, yang menguasai dan dikuasai.

Tapi yang kuat hanya kuat jika ia diakui demikian oleh yang lemah—meskipun dengan mengeluh dan marah. Dengan kata lain, si kuat diam-diam mengasumsikan adanya posisi dan potensi si lemah untuk memberi pengakuan. Bagi Ranciere, itu berarti nun di dasar yang tak hendak diingat, ada kesetaraan di antara kedua pihak.

Di situ kita menemukan bagaimana di sebuah negeri, polis, hidup: ada la logique du tort. Ada sesuatu yang salah dan sengkarut tapi dengan begitu berlangsunglah sejarah sosial. Di dalam "logika" itu, ketegangan terjadi, sebab hierarki yang membentuk masyarakat justru mungkin karena mengakui kesetaraan. Ketegangan dalam salah dan sengkarut itulah yang melahirkan konflik, guncangan pada konsensus, dan polemik yang tak henti-hentinya. 

Itulah la politique: sebuah pergulatan. Ia bukan seperti aksi komunikasi ala Habermas: di arena itu tak ada tujuan untuk bersepakat, di medan itu yang hadir bukanlah sekadar usul dan argumen yang berseberangan, tapi tubuh dan jiwa, "perbauran dua dunia”, "di mana ada subyek dan obyek yang tampak, ada yang tidak”.

Agaknya yang tak tampak itulah yang menyebabkan la politique, atau politik sebagai perjuangan, mendapatkan makna sosial. Sebab, yang menggerakkan adalah mereka yang bukan apa-apa, yang tak punya hakikat dan asal-usul untuk menang. Ranciere menyebut kata ”skandal demokrasi”: ia agaknya mau menunjukkan bahwa kehormatan para tulang punggung la police pada gilirannya akan diguncang oleh demos, mereka yang bukan apa-apa itu. 

Satire adalah usaha skandalisasi yang dicetuskan si lemah. Mereka cuma bisa mengejek. Tapi, bila lelucon di atas membuat kita prihatin, itu karena di sana tersirat sepotong harap: proses parlementer akan mewakili perjuangan, terutama perjuangan mereka yang bukan apa-apa.

Tapi itu ilusi yang terbentur. Pada akhirnya Parlemen hanyalah sebuah konsensus darurat. Ia penting. Tapi seperti dikatakan Ranciere: ”Konsensus mengacu kepada apa yang disensor.”

Ataukah lelucon di atas mencerminkan sesuatu yang lain? Jangan-jangan kita menghasratkan ini: mereka yang hidup nyaman dari konsensus dan sensor insya Allah akan jatuh ke dalam jurang. 

Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 9, h. 218-220. 


Tempo, 20 Juli 2008





0 komentar:

Posting Komentar