Oleh: Doni Koesoema A
(Kompas, 22 Januari 2024)
Sekarang lebih dari masa lalu, tak pernah ada masa di mana profesi guru begitu dituntut dan dipaksa-paksa seperti terjadi di Era Merdeka Belajar. Guru dituntut mempelajari banyak hal dan dipaksa jadi budak teknologi, melalui tirani aplikasi.
Era Merdeka Belajar ditandai dengan keblinger aplikasi.
Kebijakan e-Kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) guru terintegrasi dengan Platform Merdeka Mengajar (PMM) akan menjadikan jutaan guru budak aplikasi. Guru tidak lagi peduli pada siswa. Ujung-ujungnya, pendidikan mengalami kemunduran!
Era Merdeka Belajar ditandai dengan keblinger aplikasi.
Gelojoh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk membuat berbagai macam aplikasi, seperti Arkas, SIPLah, Merdeka Mengajar, TanyaBos, Rapor Pendidikan, Merdeka Belajar Kampus Merdeka, dan yang terakhir integrasi PMM dengan e-Kinerja ASN, sebenarnya semakin memperkuat kesimpulan bahwa Kemendikbudristek tidak memahami hal-hal fundamental dalam dunia pendidikan.
Kemendikbudristek lebih memprioritaskan hal-hal superfisial, teknis, kasatmata, bisa diukur, dan mudah diglorifikasi seperti banyaknya pengunduh dan pengguna aplikasi!
Dari banyak inovasi aplikasi yang diperkenalkan Kemendikbudristek, tidak satu pun aplikasi yang berfaedah bagi siswa. Semua aplikasi lebih banyak terkait dengan manajemen, pelaporan, administrasi, dan pelatihan mandiri guru dan kepala sekolah yang belum tentu berdampak langsung bagi siswa.
Selain para guru merasa direndahkan karena di bawah tekanan paksaan kebijakan, pengerjaan aplikasi bersifat individual, demi kepentingan guru, kepala sekolah, dan pemerintah daerah.
Dampak keblinger aplikasi tidak kecil. Anggaran besar triliunan rupiah terbuang sia-sia.
Dalam banyak hal, terdiseminasi konsep ketidakpercayaan kepada guru dan kepala sekolah. Mereka yang disalahkan, menjadi obyek pelatihan atas nama kebijakan transformasi pendidikan, yang sesungguhnya hanyalah sekadar pencitraan kebijakan Merdeka Belajar semata. Guru dan kepala sekolah dipaksa berlatih ini, berlatih itu, melalui aplikasi yang secara faktual menyita banyak waktu guru dan kepala sekolah.
Sudah banyak fakta menunjukkan bahwa guru dan kepala sekolah justru tidak lagi peduli pada layanan siswa, tapi peduli pada layanan bagi diri sendiri dan layanan bagi mereka yang berkuasa memaksa guru melakukan ini dan itu.
Ketidakpercayaan terhadap guru melahirkan demoralisasi di dalam pendidikan. Lengkap sudah kehancuran moral dalam pendidikan kita.
Tidak logis
Kemendikbudristek memperkenalkan PMM sebagai kebijakan inovatif dalam pengembangan profesi guru.
Pemanfaatan aplikasi ini diintegrasikan dengan hasil Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) yang menjadi dasar bagi penilaian rapor pendidikan. Rapor pendidikan merupakan profil kinerja sekolah dan pemerintah daerah.
Rapor pendidikan digagas sebagai mekanisme evaluasi sistem pendidikan secara berkelanjutan melalui pengambilan keputusan berbasis data, atau dikenal dengan Pendidikan Berbasis Data (PBD). Berdasarkan data yang terkumpul di dalam rapor pendidikan inilah, satuan pendidikan dan pemerintah daerah melakukan perbaikan terus-menerus.
Konsep transformasi pendidikan berbasis teknologi seperti ini sekilas tampak logis dan masuk akal sehingga banyak orang terjebak dan percaya bahwa pengembangan guru, penilaian kualitas sekolah dapat didasarkan semata-mata pada penilaian di dalam rapor pendidikan dan pelatihan melalui PMM.
Apakah kebijakan seperti ini logis, secara filsafat pendidikan bisa dipertanggungjawabkan, dan secara profesional efektif bagi pengembangan guru?
Menurut penulis, tidak. Pertama, pendidikan berbasis data (PBD) sesungguhnya hanya mitos belaka. Mengapa?
Karena kualitas keputusan yang mendasarkan diri pada informasi dan data akan sangat tergantung dari kualitas data dan informasi yang mencerminkan realitas yang sesungguhnya. PBD yang mendasarkan diri semata-mata pada ANBK sangat dipertanyakan validitas dan kredibilitasnya.
Kebijakan ANBK pada mulanya dipersepsi sebagai pengganti ujian nasional, tidak high stake testing, tidak perlu persiapan khusus, dan pesertanya diacak secara random berdasarkan status sosial ekonomi peserta didik. Apa yang terjadi, pada faktanya ANBK tetap high stake testing karena dianggap sebagai penentu kualitas guru, kepala sekolah, sekolah, dan pemerintah daerah.
Apalagi jika ada iming-iming BOS Kinerja yang akan diberikan pada satuan pendidikan ketika skornya naik. Dari sisi seleksi kepesertaan pun, peserta ANBK sudah dipersiapkan jauh hari sebelumnya sehingga memungkinkan adanya banyak persiapan, latihan, sebelum dilaksanakan ANBK. Ada kesepakatan-kesepakatan yang bisa diatur. Setelah satu tahun, sekolah kian paham cara-cara mengakali hasil ANBK. Skor ANBK akhirnya banyak distorsi.
Salah satu contoh hasil ANBK yang tidak sesuai dengan realitas adalah laporan Kemendikbudristek tentang iklim belajar. Di dalam rapor pendidikan, iklim belajar sekolah secara umum dinyatakan baik.
Iklim belajar salah satu indikasinya adalah perundungan. Padahal, kita tahu, satu tahun terakhir kekerasan di dalam dunia pendidikan terjadi begitu masif. Namun, rapor pendidikan menunjukkan data bahwa iklim belajar kita baik-baik saja. Apa kredibel rapor seperti ini?
Salah satu kritik dasar PBD adalah validitas dan kredibilitas data yang dipergunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan pendidikan. Persoalan pendidikan itu begitu kompleks, multifaktor, dan tidak dapat dipotret melulu melalui ANBK. Lebih dari itu, kelemahan dasar PBD adalah hilangnya penilaian profesional obyektif dari pelaku di lapangan itu sendiri.
PBD melalui ANBK mengabaikan penilaian profesional para pelaku di satuan pendidikan yang sesungguhnya lebih mengerti apa yang terjadi di sekolah mereka, apa yang mereka perlukan untuk pengembangan profesi mereka, dan bagaimana mereka melaksanakan proses perbaikan pendidikan.
Adalah tidak logis dan kredibel mempergunakan hasil penilaian di dalam rapor pendidikan yang tidak mampu memotret keseluruhan persoalan di satuan pendidikan, dan memaksakan guru berlatih berdasarkan kesimpulan di dalam rapor pendidikan.
Kedua, memakai data rapor pendidikan sebagai dasar satu-satunya bagi pengembangan guru saja sudah tak valid dan kredibel, sekarang guru dipaksa lagi berlatih melalui aplikasi PMM. Apakah PMM selama ini sudah terbukti efektif meningkatkan kualitas pendidikan?
Belum ada riset dan penelitian yang valid yang membuktikan bahwa berlatih via PMM meningkatkan kinerja guru dan hasil belajar siswa. Memaksakan guru berlatih satu-satunya sebagai bentuk kinerja melalui PMM jelas menunjukkan ketidakpahaman pengambil kebijakan tentang realitas pengajaran yang dihadapi guru.
Melalui implementasi Kurikulum Merdeka saja, para guru sudah sangat terbebani dengan banyaknya borang administrasi yang dibuat. Beberapa guru merasa terdemoralisasi sebagai pendidik. Bahkan, ada yang sampai berujung pada perceraian karena di sekolah dan di rumah guru disibukkan tagihan mengerjakan PMM.
Sekarang, parahnya, Badan Kepegawaian Negara dan Kemendikbudristek memaksa para guru ASN untuk melaksanakan pengelolaan kinerja terintegrasi dengan PMM.
Ketiga, gelojoh pemaksaan pemakaian aplikasi pendidikan kepada guru dan kepala sekolah jelas sangat bertentangan dengan filosofi pendidikan itu sendiri yang lebih mengutamakan pendekatan reflektif dan evaluatif berdasarkan perenungan individu guru sebagai manusia dan komunitas sekolah sebagai warga pendidikan.
Pengalaman guru memberikan data lebih obyektif tentang kondisi pengajaran di sekolah daripada informasi melalui aplikasi. Aplikasi pendidikan itu untuk guru, bukan guru untuk aplikasi pendidikan.
Kaji ulang
Memang benar kata pepatah, orang yang tahunya hanya palu, ia akan membuat semua orang menjadi paku. Ini yang terjadi dengan kepemimpinan nasional pendidikan saat ini. Karena tahunya hanya aplikasi, maka kebijakan pendidikan didominasi pengembangan dan pemaksaan pemanfaatan aplikasi.
Kebijakan e-Kinerja terintegrasi dengan PMM alih-alih meningkatkan kinerja dan profesionalitas guru, justru akan menghancurkan kinerja guru. Guru tidak lagi fokus pada aktivitas mendidik siswa, tapi akan banyak meninggalkan kelas demi pengelolaan kinerja guru.
Logika perubahan itu tidak linear seperti asumsi bahwa ketika guru dan kepala sekolah memanfaatkan aplikasi sampai memperoleh sertifikat, otomatis dunia pendidikan akan menjadi lebih baik.
Kekuatan filosofis pendidikan juga tidak terletak pada aplikasi, tapi justru pada manusianya, karena pendidikan itu untuk manusia, bukan aplikasi.
Lebih dari itu, efektivitas kinerja pelaku dan sistem pendidikan tak bisa diukur dari bukti bahwa para guru dan kepala sekolah bekerja dan mengerjakan aplikasi, melainkan kemampuan secara jujur merefleksikan pengalaman mengelola pendidikan di satuan pendidikan sebagai pijakan transformasi dan perbaikan pendidikan.
Kebijakan e-Kinerja dari BKN yang terintegrasi dengan PMM harus segera dievaluasi ulang oleh Presiden Joko Widodo sebelum dunia pendidikan kita semakin jauh terpuruk. Sebab, para guru tidak lagi fokus pada siswa, tapi sibuk melayani keselamatan dan kepentingannya sendiri, demi memenuhi kebijakan absurd pengambil kebijakan pendidikan.
Tirani aplikasi harus dihentikan!
Doni Koesoema A, Pemerhati Pendidikan dan Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong
Sumber: Kompas, 22 Januari 2024
KUASA APLIKASI
Oleh: Udi Utomo
(Suara Merdeka, 5 Februari 2024)
Guru makin panik memenuhi tugas berbagai aplikasi. Guru mengeluhkan waktunya tersita oleh aplikasi dengan menganaktirikan peserta didik dan keluarga. Aplikasi terbaru adalah e-Kinerja guru aparatur spil negara (ASN) yang terintegrasi dengan Platform Merdeka Mengajar (PMM). Guru jadi heboh karena bukti kinerja guru salah satunya dibuktikan dengan sertifikat keikutsertaan dalam pelatihan. Guru pun berburu sertifikat.
Pertanyaannya, apakah aplikasi akan meningkatkan kompetensi guru? Di bawah rezim pendidikan Nadiem Makarim semua persoalan solusinya adalah aplikasi. Bahkan praktisi pendidikan Doni Koesoema A (2024) mengkritisi dengan nada satir, “orang yang tahunya hanya palu, ia akan membuat semua menjadi palu.”
Sebagaimana kita tahu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim adalah pemilik aplikasi Go-Jek. Selain aplikasi e-Kinerja ASN terintegrasi PMM, aplikasi lainnya ada Arkas, SIPLah, Platform Merdeka Mengajar (PMM), TanyaBos, dan Rapor Pendidikan. Pengembangan aplikasi PMM bertujuan memberi alternatif pelatihan untuk meningkatkan kompetensi guru. Jika sebelumnya pelatihan dilakukan secara luring di hotel-hotel, maka adanya aplikasi ini guru bisa berlatih mandiri. PMM adalah salah satu alternatif sumber belajar guru.
Namun pada praktiknya guru diwajibkan. Guru dituntut untuk menyelesaikan puluhan topik yang ada di PMM. Semula salah satu alternatif menjadi wajib. PPM (PMM?-saya) menjadi penilaian keberhasilan pendidikan pemerintah daerah. Keberhasilan dikukur dari banyaknya pengunduh dan pengguna aplikasi. Maka yang terjadi dinas pendidikan kapubaten/kota berlomba-lomba banyakan guru yang mampu menyelesaikan tugas PMM.
Praktiknya, Dinas Pendidikan menginstruksikan kepada kepala sekolah untuk menekan guru di sekolahnya menyelesaikan tugas-tugas di PMM. Kewajiban tersebut menjadikan guru-guru dalam menyelesaikan tugas di PMM sekadar “gugur kewajiban”.
Guru akal-akalan memenuhi tugas dengan copy paste atau istilah yang sering digunakan guru adalah ATM (amati tiru modifikasi). Praktik jamak yang dilakukan guru adalah file tugas diganti nama dan asal sekolah. Selain itu, motivasi guru menyelesaikan tugas PMM adalah mengejar sertifikat. Sertifikat sebagai bukti untuk kenaikan pangkat.
Praktik-praktik ini memelihara ketidakjujuran yang jauh dari esensi pendidikan.
Substansi merdeka belajar lenyap. Guru tahunya satu-satunya sumber belajar hanya dari aplikasi. Padahal sumber belajar bisa dari mana saja. Anggaran triliunan rupiah untuk membuat aplikasi sia-sia. Aplikasi hanya melayani kepentingan guru, kepala sekolah, dan pemerintah daerah.
Pertanyaan apakah apakah aplikasi itu berimbas pada perbaikan pembelajaran?
Berdampak langsung pada prestasi siswa?
Belum ada survei, tapi penulis meragukan keberhasilannya. Misalnya kita lihat hasil tes Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 yaitu tes bidang matematika, sains, membaca yang ditujukan sekolah siswa kelas IX atau berusia 15 tahun dari negara-negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan (OECDD).
Kualitas stagnan
Hasilnya tidak ada perubahan signifikan. Bahkan skornya turun. Artinya kualitas pendidikan Indonesia stagnan atau belum ada progres. Meski peringkat naik karena bertambahnya jumlah negara peserta. Belanjar sepanjang hayat Kemendikburistek gagal memahami kompleksitas probelm pendidikan Indonesia.
Menurut penulis, melihat masalah pendidikan dari hulu sampai hilir, permasalahan pendidikan yang harus diselesaikan adalah input guru. Mahasiswa calon guru LPTK bukan lulusan terbaik sekolah menengah. Jumlah mahasiswa pendidikan mendominasi. Jumlah mahasiswa baru saat ini seperlimanya mahasiswa Prodi Pendidikan, diikuti oleh Ekonomi, Sosial, dan Teknik. Jumlah total mahasiswa sebanyak 8,5 juta orang di 29.413 prodi.
Jenjang sarjana, Prodi Manajemen memiliki jumlah mahasiswa terbanyak yaitu satu juta mahasiswa. Sedang Prodi Pendidikan Guru SD (PGSD) memiliki jumlah mahasiswa tebanyak kedua dengan jumlah separuh dari jumlah mahasiswa Prodi Manajemen (Badri Munir Sukovo, 2023).
Ini diperparah kualitas prodi pendidikan yang masih berkategori C. Jumlah seluruh program studi kependidikan ada sebanyak 5.724 program studi. Rinciannya sebanyak 209 program studi dengan akreditasi A dan 811 program studi dengan akreditasi B. Sisanya sebanyak 4.704 program studi terakreditasi C.
Jika kita komparasikan, misalnya dengan pendidikan negara terbaik pendidikannya, Finlandia. Mahasiswa pendidikan adalah lulusan-lulusan terbaik dari sekolah dan melalui seleksi ketat untuk bisa diterima di jurusan pendidikan. Selain itu, guru minimal berpendidikan S-2.
Kelemahan lain pendidikan di Indonesia adalah tidak ada kultur belajar sepanjang hayat. Jika di negara-negara dengan pendidikan maju, makin senior guru makin meningkat kinerja. Kebalikannya, guru-guru di Indonesia guru senior makin turun kinerjanya. Guru tidak mau meng-update diri dengan berbagai alasan seperti “saya sudah tua”, “saya sudah mau pensiun’, dan lain-lain.
Persoalan berikutnya adalah, masih rendahnya budaya literasi guru dan peserta didik. Negara seperti Finlandia pendidikannya terbaik karena didukung oleh budaya literasi masyarakatnya. Keluarga mentradisikan membaca sehingga anak-anak dari kecil sudah terbiasa membaca. Sedang di kita boro-boro baca buku, yang terjadi justru banyak kasus kecanduan gawai.
Ini ditambah rendahnya kesejahteraan guru. Guru-guru terutama guru berstatus honorer dan guru yang mengajar di sekolah swasta kecil gajinya masih di bawah UMR. Kesejahteraan menjadikan kurang minatnya lulusan terbaik lulusan pendidikan menengah kuliah di pendidikan.
Kepercayaan masyarakat terhadap guru juga rendah. Ini berbeda di Finlandia, penghormatan terhadap profesi guru sangat tinggi. Profesi guru disetarakan dengan profesi dokter. Sedang di kita, kasus-kasus kekerasan terhadap guru terus terjadi, entah itu oleh siswa atau orang tua siswa.
Sementara budaya ekosistem akademik di satuan pendidikan belum terbentuk.
Padahal esensi pendidikan adalah refleksi. Belum terbentuk budaya berdialektika antarguru dalam memperbaiki pembelajaran seperti halnya tradisi lesson study guru-guru di Jepang.
Kewajiban menyelesaikan tugas-tugas aplikasi sudah jauh melenceng dari tugas utama guru. Guru lebih mengurusi kepentingan diri dan birokrasi, sementara pelayanan pada siswa dinomorduakan. (46).
-Udi Utomo SS MPd, guru SMPN 5 Pati
Sumber: Suara Merdeka, 5 Februari 2024
Ada satu liputan suara para guru tentang hal ini: https://mojok.co/liputan/ragam/mirisnya-penerapan-kurikulum-merdeka-bikin-lupa-mendidik/
0 komentar:
Posting Komentar