![]() |
Pramoedya Ananta Toer |
Menyongsong satu abad Pramoedya Ananta Toer
"Menulis itu ibarat seorang manusia masuk dalam hutan belantara sendirian. Dia harus memutuskan petualangannya akan ke mana. Termasuk juga ketika akan menghentikan petualangan di dunia tak dikenal itu. Lalu, ketika selesai, dia harus menghadapi pendapat umum, baik yang mencaci maupun yang memuji. Nah, di sini dibutuhkan keberanian dan kekuatan. Kalau pribadi itu tidak kuat, dia akan nggeblak (terjerembap). Keberanianya diuji benar. Kalau dia berhasil, dia maju terus dan besar. Tapi, kalau dari awal sudah terpikir untuk melakukan pesanan dari kekuasaan, jangan harap akan jadi besar—apalagi kalau yang berkuasa tak tahu apa-apa tentang sastra."
“KANIBALISME ITU TERJADI SEKARANG”
(D&r, Rubrik “Tamu Kita”, No. 26, XXX, 8-13 Februari 1999)
Pramudya Ananta Toer, menggunakan ukuran apa pun, pengalaman hidupnya sungguh “berwarna”. Tiga kali, ia mengalami kehilangan kebebasan, dipenjara, dalam tiga zaman berbeda: zaman revolusi, zaman Orde Lama, dan zaman Orde Baru. Sejarah hidupnya juga dipenuhi catatan pelarangan karya dan kehilangan hak politik sebagai warga negeri, seperti mengikuti pemilihan umum atau memenuhi undangan dari luar negeri. Karena itu, dengan entengnya, ia menyatakan mungkin pemilihan umum yang direncanakan 6 Juni mendatang punia tak akan menggunakan hak pilih suaranya—jika hak itu dikembalikan kepadanya oleh pemerintah yang sekarang.
Sampai saat ini, hanya Pram satu-satunya pengarang Indonesia yang berkali-kali menjadi kandidat peraih Hadiah Nobel Sastra. Ia juga pengarang Indonesia yang karyanya banyak diterjemahkan ke pelbagai bahasa. Dari terjemahan karya-karyanya itulah ia menghidupi keluarganya, sampai saat ini.
Tanggal 6 Februari ini, usia pengarang gaek yang produktif ini genap 74 tahun. Ia lahir di Blora 6 Februari 1925. Salah satu hal yang masih ingin dilakukan Pram dalam senja usianya adalah membalas surat yang pernah diterimanya dari Soekarno. Surat itu diterimanya semasa di masuk menjalani hukuman di Pulau Buru (1965- 1979). Soeharto masih presiden waktu itu.
Kini, kegiatan suami dari Memunah Thamrin, kemenakan pahlawan nasional M. Husni Thamrin, ini adalah “kerja badan” di rumahnya yang teduh di kawasan Utankayu, Jakarta Timur. Dibalut sarung dan kaus tanpa kerah yang sudah pudar warnanya, Pram terkesan sehat dan bersemangat ketika menerima D&R sekitar akhir tahun lalu. Semangat itu tercermin dari jawaban-jawan atas pertanyaan wartawan D&R Puji Sumedi H, dan Rachmat H. Cahyono, dan forograger Pieter Situmorang.
Wawancara kali ini terasa sedikit melelahkan. Bukan apa-apa. Pram yang malas menggunakan alat bantu dengar (hearing aid) membuat wartawan D&R harus sedikit berteriak ketika mengajukan berbagai pertanyaan. Berikut petikan wawancara itu.
Kegiatan Anda belakangan ini?
Saya sudah tua. Tapi terus terang, saya tidak pernah menduga dan berpikir akan jadi tua, ha-ha-ha.... Semua merosot. Maka dari itu, saya cuma kerja badan di halaman, merawat tanaman.
Bagaimana dengan menulis?
Wah, itu sulit sekali. Sebab, sel otak yang berguguran sulit sekali diganti. Kalau sel kulit yang rusak bisa diganti. Itulah yang membuat ingatan saya tak bisa dipercaya, termasuk juga penglihatan. Barulah kalau tertulis bisa dijadikan pegangan. Kemampuan saya hilang. Kalau keinginan tak pernah mati.
Lalu, buku Anda tentang Gerakan 30 September (G30S) yang sedang disusun itu....
Memang, saya sedang mencoba menyusunnya. Tapi, saya rasa dokumennya masih kurang lengkap dan kurang memuaskan. Sebab, sumber yang saya perlukan ini dari arsip Inggris yang dideklarifikasi pada tahun 1996. Tapi, itu sulit sekali. Hanya satu atau dua dokumen yang menunjukkan G30S hasil kerja sama antara Inggris dan our local army friensd. Tapi, siapa-siapa yang terlibat tidak ada data dan dokumennya belum dikeluarkan.
Apakah tidak bisa minta bantuan dari pihak pemerintah Inggris sendiri?
Itu tidak bisa karena menyangkut kepentingan nasional pemerintah Inggris juga. Karena, modal Barat yang terbesar di Indonesia adalah Inggris. Apa saja diberikan kepada Soeharto untuk menghadapi demonstran. Ada meriam lain, senjata lain. Ya, karena artinya sama saja membongkar borok Inggris. Sebab, persoalannya regional, soal konfrontasi itu. Inggris butuh Malaysia untuk membayar utang perangnya ke Amerika serikat. Pinjaman-pinjaman senjata dan sumber dolarnya hanya Malaysia, yang waktu itu terganggu oleh adanya revolusi Indonesia.
Apakah terbukti Soekarno dijatuhkan oleh komplotan internasional?
Sementara (itu kesimpulannya) dari materi yang ada pada saya. Ada satu-dua dari deklasifikasi (dokumen) Inggris. Lantas, persoalan pokoknya konforntasi antara Inggris dan Indonesia tentang Malaysia. Saya yakin itu persoalan Inggris untuk menjatuhkan Soekarno. Waktu itu, Amerika sendiri sedang kedodoran di Vietnam.
Siapakah our local army friends sepengetahuan Anda?
Tidak terbuka sampai sekarang. Kalau menurut logika, ya, Harto. Tapi, memang, seperti tertulis dalam sejarah, persoalan ini kan sudah ada dalam sejarah Jawa. Ken Arok bisa naik dengan menggunakan alat Kebo Ijo untuk membunuh Tunggul Ametung. Padahal, yang membunuh adalah Ken Arok sendiri. Akibatnya, Kebo Ijo dibawa ke pengadilan, dituduh membunuh dan dijatuhi hukuman mati. Itu kan orang Ken Arok sendiri. Itu pun sama saja yang dilakukan oleh Harto. Latief dan Parjo juga orang Harto sendiri. Yang untung adalah Harto.
Dapat diartikan kita tidak punya tradisi peralihan kekuasaan secara damai?
Itu kan kebudayaan Jawa yang mengopi cerita Hindu Mahabharata. Klimaks Mahabharata itu apa? Mandi darah saudaranya sendiri. Dan, saya katakan Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, mereka secara tradisional memeluk hinduisme. Nah, hinduismenya itu shiwaisme. Di daerah-daerah di bawah pengarush budhisme, praktis tidak ada kekejaman seperti itu. Di Jawa Barat ada beberapa raja, tapi mereka ber-uni membicarakan apa yang bisa dikerjakan bersama. Dalam kultur Jawa hanya ada satu orang di puncak, yang mau (tampil) babat: Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Shiwaisme. Malah pada zaman Majapahit, Hindu aliran Shiwa benar-benar mutlak berkuasa. Karena itu, kerajaan budhisme harus sekian jaraknya (dari pusat kekuasaan).
Prinsip kekuasaan yang mutlak itu masih terlihat sampai sekarang?
Tampaknya ya. Lihat saja dalam konsep raja-raja Jawa. Raja adalah orang nomor dua setelah Yang di Atas dan terbebas dari semua kesalahan. Semua benar. Apa saja benar. Yang membantah adalah musuh.
Lalu, kegiatan kreatif seperti menulis apakah masih dilakukan?
Wah... bukan waktunya menulis itu. Karena , apa yang hendak ditulis itu sekarang masih dalam proses. Kalau sesuatu dalam proses ditulis, itu namanya jurnalisme, bukan sastra. Kalau sastra, semua fase sudah selesai, barulah orang bisa menulis. Sorry... saya omong begini. Bukannya diksriminasi jurnalisme, lo, ha-ha-ha...
Tapi, keinginan itu masih tetap ada?
Masih ada dan akan selalu ada. Mungkin, sudah saatnya mempunyai sekretaris. Tapi, siapa yang bisa dipercaya dalam keadaan seperti ini? Sangat sulit. Saya sangat sulit sekarang percaya kepada orang lain. Waktu saya pulang dari Pulau Buru tahun 1979, saya mendapat pengalaman begitu banyak teman dari Buru dan kami sangat kuat solidaritasnya. Mereka datang kemari selepas dari Buru, “menangisi” nasib dan kelangsungan keluarganya. Enam puluh orang datang kemari minta pekerjaan. Saya akhirnya mencoba membuat perusahaan yang bergerak di bidang pendirian bangunan. Lumayan maju. Tapi, yang menyakitkan, solidaritas yang kuat itu dirusak begitu saja. Setelah sampai di sini, mereka berubah sama sekali. Tenyata ada dari mereka yang membawa lari uang, mengambil material dan dibawa lari. Dibelikan pikap baru, eh... tiga bulan sudah gundul.
Pengetahuan apa lagi yang Anda peroleh dari Pulau Buru?
Betapa rendahnya budaya kita. Rendah sekali. Saya mengerti, jarak kita sekarang dengan masa kanibalisme belum satu setengah abad. Mengapa orang mudah sekali membunuh? Jarak budaya kanibalisme itu masih dekat sekali. Malah waktu saya kecil, waktu saya di kelas lima sekolah dasar, saya pernah membaca berita, orang memakan anak-anak penjaja makanan di Bangil. Kejadian itu saya baca waktu kelas lima dan terkesan terus dalam ingatan. Lalu, waktu saya di Pulau Buru, teman kami ada yang dipenggal lehernya dan dibawa kepalanya. Artinya, kanibalisme itu memakan orang yang tidak disukai dan merasa mengambil kekuatan dari korbannya. Sekarang kan sama, membunuh di sana-sini lalu merasa hebat dan petentang-petenteng.
Artinya, ketika budaya kekerasan kini marak, Anda tidak merasa aneh lagi?
Kalau budaya marah dan kekerasan sekarang ini terjadi karena hukum tak lagi bisa dipegang sehingga orang tak bisa lagi mempercayai pemerintah. Rakyat yang paling kecil yang biasanya hanya iya, iya, sendiko dhawuh, sekarang berani menyerang polisi karena sudah tak percaya lagi terhadap kekuasaan formal. Dan ini sudah ada tanda-tanda terjadinya revolusi kekerasan. Cuma, orang menanggapnya sepele saja.
Bisa mendorong terjadinya revolusi sosial?
Bisa, karena orang merasa lapar. Tapi, elite kan punya barang jarahan waktu xaman pemerintahan Orde Baru, menjarah tidak keruan. Untuk mereka ini tak ada persoalan. Tapi, rakyat biasa kan lapar.
Namun, untuk rentetan kekerasan yang terjadi di berbagai kota memang murni kemarahan sosial (social angry) atau karena memang ada yang mendalangi?
Begini ya, saya itu punya logika sederhana saja. Orde Lama antipenjajahan, antikapitalisme, dan antikolonialisme. Misalnya soal modang asing, Soekarno menolak masuknya modal asing ke Indonesia. Lebih baik negara kita meminjam atau utang jika punya macam-macam proyek yang nantinya akan dibayar kembali. Tapi, jangan sampai masuk modal asing karena memang antikapitalisme. Sebab, sekali kapitalis asing masuk, itu akan mempengaruhi kekuasaan. Karena Soekarno tak mau, negara-negara multikapitalisme marah kepada Soekarno. Sekali kapitalisme asing masuk, mereka akan menjarah kekayaan alam dan tenag manusia. Itulah sebabnya Soekarno dijatuhkan dan langsung diserbu kapital multinasional yang bekerja sama dengan kekuasaan setempat. Apa hasilnya? Hasilnya dalah penjarahan bersama besar-besaran. Dan, masa Orde Baru adalah masa penjarahan selama 32 tahun. Setelah menjarah usai, yang terjadi adalah masa penyelamatan jarahan. Itu logika yang sederhana dari saya. Sekarang ini periode penyelamatan harta jarahan. Saya tak bisa kasih bukti-bukti, tapi itu hanya logika saya. Apa saja tuntutan mahasiswa yang menyangkut korupsi selalu hanya memperoleh jawaban dungu.
Di mana letak kesalahannya?
Ini karena budaya. Kalau budayanya masih serendah ini, sistem apa pun akan tetap seperti ini. Dulu kita punya pemimpin, Soekarno. Sekarang mana, tidak ada lagi pemimpin, sampai Megawati diunggul-unggulkan jadi presiden. Enggak ngerti saya.
Tapi, Bung Karno juga punya bakat diktator, demagog?
Itu karena dia harus mempersatukan bangsanya. Apa harus membisu? Semua harus diusahakan. Dan Soekarno pun omong tentang Orde Lama kalau tidak menyebut perang dingin. Jadi, harus dilihat konstelasi politik saat itu. Siapa negarawan yang berani bilang go to hell with your aid. Cuma Soekarno. Dan ketika mengetahui PBB hanya menjadi alat dari Barat, keluarlah Indonesia dari PBB. Mana ada pemimpin yang begitu. Dia panggil Asia dan Afrika yang kemudian dipersatukan, terus mulai perang kemerdekaan di Asia dan Afrika. Itu karena Soekarno.
Anda kan pernah ditahan pada masa pemerintahan Soekarno, kok, Anda masih bisa bersikap obyektif?
Saya hanya berpihak pada kebenaran dan keadilan. Saat Orde Lama salah, saya tentang, dan itu hak saya sebagai warga negara. Kemudian yang menindak saya ini Angkatan Darat, bukan Soekarno. Waktu itu ada dua pemerintahan. Pemerintahan politik Soekarno, tapi kewilayahan dipegang Angkatan Darat, seperti sekarang. Jadi, dulu, yang melarang buku dan surat kabar adalah Angkatan Darat. Jangan lupa memisahkan hal itu.
Anda relatif dekat dengan elite kekuasaan waktu itu....
Saya tidak pernah dekat dengan elite kekuasaan waktu itu.
Tapi, Anda kan ikut Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI)...
Saya itu hanya diundang menghadiri kongres nasional (Lekra) di Solo tahun 1958. Saya datang ke sana, duduk, dan ikut mendengarkan. Lantas, saya diminta memberi sambutan dan saya memberikan sambutan. Sesudah itu, saya tidak menghadiri lagi. Ternyata waktu penutupan, saya diundang lagi ke Solo. Ternyata waktu penutupan itu ada keputusan mengangkat saya sebagai anggota pleno Lekra pusat. Padahal, saya tidak tahu sama sekali. Saya bukan orang organisasi. Saya ini solo fighter.
Fajtanya, Lekra bersikap keras terhadap seniman yang tidak seide....
Indonesia dalam kesulitan sehingga semua kekuatan revolusioner harus menjadi satu tinju untuk menghadapi Barat yang waktu itu memusuhi Indonesia. Soekarno tujuh kali lolos dari pembunuhan akibat ulah Barat. Jangan lupa itu. Belum lagi PRRI/Permesta (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta), siapa yang mempersenjatai mereka? Barat! Terutama daerah yang termasuk Malaysia sekarang ini. Senjata canggih yang dipunyai Indonesia malah sudah dimiliki pemberontak.
Sikap keras Anda kepada sesama seniman kan sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai yang biasa dianut seniman....
Justru karena saya yakin mereka harus disapu, Indonesia dalam keadaan genting seperti itu, kok malah menyanyikan kebebasan pribadi. Untuk saya, itu tidak benar. Waktu para seniman sudah berkampung di bawah partai masing-masing seperti dianjurkan presiden, kemudian ada Congres for Cultural Freedom yang diusahakan CIA (Central Intellgence Agency). Kok, baru setelah itu muncul Manikebu (Manifest Kebudayaan). Dan Soekarno sendiri bilang, “Saya punya bukti-bukti mengenai mereka dan orang-orang yang menerima sumbangan dari mereka (CIA).” Bagaimana kita tak marah, padahal saat itu dalam keadaan genting. Kok, ada yang mau lenggang-lenggang kangkung soal kebebasan kreatif.
Tapi, ide soal kebebasan kreatif kan perlu?
Boleh saja ide soal kebebasan kreatif. Tapi, bukan pada masa itu. Di saat keadaan genting, masak, mereka berdendang-dendang? Waktu itu ada kritik soal musik ngak ngik ngok segala macam. Dan itu juga didemonstrasi. Karena, dianggap menyalahi standar moral nasional dalam keadaan Tanah Air genting. Jadi, tidak punya perasaan tanggung jawab. Itu memang babak khusus dalam sejarah Indonesia. Karena itu, omong soal Orde Lama tanpa menyinggung perang dingin itu korup.
Waktu itu, ide-ide PKI cocok-tidak dengan Anda?
Saya mendukung siapa saja yang dianggap benar dan adil, saat itu. Apakah itu PKI atau bukan PKI, tidak soal. Yang penting adalah keadilan dan kebenaran itu.
Tapi, kok Anda tampaknya dekat dengan ide-ide PKI?
Lo, karena mereka membela massa bawah, buruh dan tani. Sampai sekarang pun saya tetap membenarkan. Sekarang, siapa yang akan membela buruh dan tani karena dia tidak ada yang membela?
Apakah Anda sendiri seorang komunis?
Saya ini penganut suatu paham, yaitu pramisme, yaitu paham saya sendiri. Konsep yang saya pegang adalah keadilan, kerakyatan, kebenaran, peradaban. Itulah pramisme.
Jika ide-ide itu dianggap mirip dengan paham komunis?
Tidak soal, tidak soal.
Pilihan kebebasan itu membuat Anda beberapa kali kehilangan kebebasan. Apakah Anda pernah menyesalinya?
Lo, saya melihatnya justru karena budaya yang masih rendah tadi. Saya justru kasihan kepada mereka yang pernah menahan saya. Saya tahu bangsa ini tidak begitu bebas. Bagi saya pribadi, justru saya berusaha menciptakan kebebasan saya sendiri. Saya tidak mau minta-minta kepada orang lain. Itu risiko menjadi manusia Indonesia yang peradaban dan budayanya seperti ini. Saya tak mengharapkan apa-apa dari kekuasaan.
Bagaimana reaksi Anda terhadap teman-teman seniman yang sebelum G30S berseberangan dengan Anda tapi setelah Anda di Pulau Buru berbalik membela?
Lo, silakan saja. Boleh omong apa saja. Tapi, di bidang solidaritas nasional, saya benar. Mereka berbuat apa untuk Indonesia yang saat itu mengalami perang dingin? Apakah karena menentang saya lalu nilai karyanya lebih baik daripada saya? Saya tak mau menilai sendiri. Saya tidak mengharapkan apa pun dari setiap kekuasaan, sampai saat ini. Waktu Orde Lama, saya membantu dan menyokong Soekarno. Tapi, kalau salah, saya lawan Soekarno. Orang-orang memperoleh rumah dan mobil. Tapi, apa yang saya dapat dari kekuasaan Soekarno? Hanya satu setel pakaian untuk menghadiri kongres pengarang Asia-Afrika.
Malah pernah, saya memprotes pajak pengarang yang terlalu tinggi, sampai 15 persen, pada zaman Orde Lama. Tak lebih dari seminggu, pemerintahan Djuanda menjawab tuntutan saya. Bukan 15 persen, tapi malah jadi 20 persen. Meski saya pembayar pajak, semua karya dan semua yang saya punya, toh dirampas. Kenapa saya dulu mesti dijarah? Dan sekarang yang disalahkan semuanya PKI. PKI disebut sebagai pemberontak. Masak, sudah jadi mayat masih dibilang pemberontak? Anehnya, tak pernah ada yang mengaku siapa yang menjarah PKI, baik sebagai organisasi maupun sebagai orang-orang. Enggak pernah mereka disebut penjarah. Termasuk rumah saya dijarah. Dan akhirnya saya pun kalah di pengadilan, walaupun dengan surat-surat bukti yang otentik.
Pernahkan Anda mengajukan keberatan kepada pemerintah. Toh, sekarang era Orde Baru sudah berakhir....
Bagaimana bukan zaman Orde Baru? Sekarang memang bukan zaman Orba tapi zaman Orbaba alias Orde Baru-Baru. Pada zaman Orba, mereka menjarah; dan zaman Orbaba adalah zaman menyelamatkan hasil jarahan. Semua politik berkisar pada penyelamatan harta jarahan. Fokusnya ke situ. Tapi, alasannya maam-macam.
Bagaimana ihwal surat dari Pak harto yang pernah dikirimkan kepada Anda?
Waktu itu saya ada di Pulau Buru. Dia mengirimkan surat kepada saya, yang isinya “Salah itu manusiawi. Tapi, orang itu mesti punya keberanian.” Terus terang, saya ingin membalikkan kepada dia, kata-katanya yang pernah diberikan kepada saya. Surat itu saya sertakan dalam buku saya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
Komentar Anda melihat nasib Soeharto sekarang?
Ya, dia tidak apa-apa. Dia dilindungi oleh duit jarahan. Meskipun dia dicaci semua orang sekarang ini tetap tak ada artinya karena orang seperti ini sudah memperrhitungkan jauh-jauh kemungkinan yang akan diterimanya di kemudian hari.
Artinya, dia tidak terganggu sedikit pun secara emosional?
Tidak sama sekali. Dia sudah memperhitungkan semuanya. Untuk apa membunuh dua juta orang kalau tidak dengan perhitungan. Dia mampu menjatuhkan Soekarno dan dua juta orang pendukungnya seperti yang dikatakan Domo (Soedomo, maksudnya). Tapi, Sarwo Edhie (almarhum) menyatakan jumlahnya tiga juta. Bayangkan saja kalau untuk sejumlah sebanyak itu, taruhlah minimal satu juta, dia mampu melakukannya, apalagi hanya untuk berbohong? Soal kecil baginya. Juga persoalan culik-menculik itu. Itu basis moral yang telah dilanggar. Melakukan pembunuhan manusia sebanyak itu. Itu benar-benar perbuatan yang tak bisa dimaafkan. Pendukung Soekarno sebanyak itu dibunuh tanpa bisa satu kasus pun dibawa ke DPR atau MPR, apalagi ke pengadilan. Semuanya diputihkan. Salah seorang pembunuh yang membunuh D.N. Aidit malah justru diangkat menjadi gubernur (mantan Gubernur Lampung, Yasir Hadibroto). Belakang ia menjawab, katanya, “D.N. Aidit sendirilah yang minta dibunuh.” Itu kan jawaban dungu.
Anda masih punya ambisi di bidang sastra?
Tugas pribadi dan tugas nasional saya adalah menulis sastra. Jadi, tak perlu ditanyakan.
Masih punya energi untuk melahirkan karya sastra?
Itu masih dalam cita-cita dan keinginan. Saya tak peduli meski kemudian dicalonkan menerima Nobel meleset terus, enggak soal. Itu urusan mereka. Bukan urusan saya. Yang saya utamakan adalah melakukan kewajiban pribadi dan kewajiban nasional saya, menulis sastra. Itu saja. Sederhana, kan? Kalaupun kemudian dihargai dunia internasional, saya berterima kasih. Tapi, bukan untuk itu saya menulis.
Tapi, Anda termasuk pengarang yang makmur, ya?
Rumah ini saya dirikan karena saya jengkel kepada Soedomo yang selalu melarang penerbitan buku-buku saya. Saya ingin menunjukkan saya tidak kolaps. Saya bisa bertahan dan bisa mendirikan rumah dan hidup layak. Rumah ini saya bangun setelah mendapat uang dari buku tetralogi saya yang diterjemahkan dalam bahasa Belanda, sebesar 16.000 gulden. Bisa dibilang saya hidup dari luar negeri, dari buku-buku saya yang diterbitkan di luar negeri.
Mengapa di Indonesia sulit lahir karya sastra besar yang disimak dunia?
Itu jiwa bebas. Menulis itu ibarat seorang manusia masuk dalam hutan belantara sendirian. Dia harus memutuskan petualangannya akan ke mana. Termasuk juga ketika akan menghentikan petualangan di dunia tak dikenal itu. Lalu, ketika selesai, dia harus menghadapi pendapat umum, baik yang mencaci maupun yang memuji. Nah, di sini dibutuhkan keberanian dan kekuatan. Kalau pribadi itu tidak kuat, dia akan nggeblak (terjerembap). Keberanianya diuji benar. Kalau dia berhasil, dia maju terus dan besar. Tapi, kalau dari awal sudah terpikir untuk melakukan pesanan dari kekuasaan, jangan harap akan jadi besar—apalagi kalau yang berkuasa tak tahu apa-apa tentang sastra.
Keinginan atau cita-cita Anda yang belum diwujudkan?
Sampai saat ini saya masih punya satu cita-cita, ingin membalas surat Soeharto. Isinya akan saya balik seperti yang pernah dia tulis untuk saya ketika saya di penjara dulu. Keinginan saya yang lain adalah mengadakan pameran karya-karya saya. tapi sulit sekali. Selain ada koleksi yang hilang, sekarang zamannya krisi moneter. Pasti biayanya akan mahal sekali. Ya, sudah, sekarang saya kerja badan atau rumahan saja, bersih-bersih halaman, dan proses menulis yang tak henti di usia saya yang senja ini. ■
Sumber: D&r, Rubrik “Tamu Kita”, No. 26, XXX, 8-13 Februari 1999
Sumber: https://www.facebook.com/share/15dZargT4b/
0 komentar:
Posting Komentar