alt/text gambar

Selasa, 04 Februari 2025

Topik Pilihan:

FITNAH HARMOKO



Oleh: Hamid Basyaib Hamid Basyaib

(PANTAU, Rubrik “Satire”,Tahun III, No. 034, Februari 2003)


Eh,Harmoko nongol lagi! Kali ini lewat majalah Tempo Januari lalu dalam satu paket laopran tentang media.


Kalau kebanyakan bekas koleganya di kabinet-kabinet Soeharto dipemainkan nasib, Harmoko justru mempermaikannya. Umumnya mereka tampil kuyu, seakan berniat memeras simpati publik akan ketakberdosaan mereka. Sebagian harus bolak-balik ke pengadilan, atau mampir ke tahanan kejaksaan, atau meninggal dalam status tersangka koruptor. Harmoko menyeringai menonton itu semua. Ia punya cara sendiri dalam mencuci uang, misalnya dengan membuat satu-dua yayasan keagamaan—aspek yang tak dilacak Tempo. Ia tetap tampil selicin rambutnya—yang makin disegani nyamuk dan lalat yang konon tergelincir jika coba-coba hinggap di sana. 


Ia kembali ke sumber intelektualnya, harian Pos Kota sambil siaga dengan tangkisan-tangkisan untuk setiap tudingan tentang masa lalunya: bahwa semua itu berdasar aturan yang berlaku dan dia hanya melaksanakan. Semuanya adalah ulah Soeharto. Sisanya fitnah belaka. 


“Fitnah” itu dari dari Arswendo Atmowiloto, mantan kepala divisi majalah Kelompok Kompas Gramedia. Wendo tahu jurus untuk menghadapi pedagang macam Harmoko. Gramedia memberi saham kosong kepada Harmoko selain menyetor duit tiap bulan untuk “biaya konsultasi”. Hubungan Wendo-Harmoko mengulang pola kerajaan-kerajaan kuno atau dunia preman modern: sang terlindung menyajikan upeti ke pundi si pelindung. 


Benarkan ungkapan Wendo?


“Itu fitnah!” kata Harmoko tanpa menyatakan niat untuk menggugat pencemar namanya. (Ya, nama saja, bukan nama baik). Harmoko memang berdaulat penuh dalam menentukan episode yang dia ingin ingat setajam-tajamnya (misalnya rincian nomor dan isi surat keputusan atau persentase sahamnya di koran tertentu) dan mana pula yang dia lupa, meski peristiwanya sederhana dan berulang-ulang. 


Dulu dia rajin memberitahu rakyat Indonesia berapa banyak beras, terigu, atau gula. Dengan kacamata setengah hitamnya, ia mengingatkan rakyat bahwa di “tahun takwin” inflasi setinggi sekian persen, dan cadangan devisa melimpah ruah—pendeknya segalanya beres belaka. 


Ia muncul di televisi jauh lebih sering daripada semstinya, sampai teman-teman saya di Sumenep menyimpulkan bahwa dialah presiden Indonesia. Lalu, Soeharto itu apa? “Itu ta’ rajanya ...”


Ada yang kagum dan heran pada rasa percaya diri Harmoko. Banyak yang jengkel pada penampilannya yang selalu tertib, nol imajinasi, luncuran kata-katanya yang seperti rambutnya, tak boleh ada sehelai pun yang mencuat dari barisan, semuanya harus terekat rapi oleh pomade. Sekali-sekalinya ia berimprovisasi dengan bicara tanpa minta pentujuk, hasilnya bencana: ia dihujat banyak orang karena memelesetkan ayat Quran. Orang lalu koor memanjangkan akronim namanya: Hari-hari Omong Kosong. 


Prestasi politiknya tak kecil. Dialah penemu kelompencapir (ini bukan sejenis daun berkhasiat, melainkan kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa), “lumbung” yang dibentuknya sampai puluhan ribu orang guna memasok jutaan suara pemilu untuk Golkar, yang di masa kepemimpinannya mematok target perolehan sesuai tanggal dan bulan kelahirannya (70,02 persen). Kemana pun “Bapak Presiden” melangkah, ia akan disambut kelompencapir, dan Harmoko senantiasa sigap menyediakan ritual nasional berupa dialog “dari hati ke hati” antara sang presiden dan rakyatnya. 


Hasilnya sungguh mengharukan: segenap rakyat melihat di televisi betapa orang-orang kecil itu sedemikian menghayati nilai-nilai demokrasi dengan bebas bertanya atau mohon petunjuk (ini bukan trademark Harmoko, meskipun dialah yang paling royal mengobralnya). Bapak Presiden menanggapinya dengan bijak bestari dan cerdas, disertai rincian hitungan tentang berapa pakan ternak untuk sekian sapi guna meraih sekian penghasilan. 


Kalau Bapak Presiden sedang berhalangan, giliran Harmoko sendiri yang mewejang kumpulan kelompencapir dengan metode temuannya, “komunikasi sambung rasa,” dalam forum “temu kader” (atau menurut anak-anak kelas V SD, “kampanye sebelum waktunya alias mencuri start”). 


Di akhir pertemuan, rupanya rasa itu benar tersambung, sehingga Harmoko kerap digendong dengan gembira ria oleh para pecintanya—foto ini jadi sampul buku tentang dirinya, ditulis oleh sepasang intelektual muda yang tak sanggup membendung ketakjubannya pada kecermelangan si Bung, suatu “pendekatan akademis” untuk memahami fenomena Harmoko. 


Sebutan “Bung” itu sendiri temuan Harmoko yang gagal di pasar pergaulan. Ia ingin membuat publik agar menyapa orang dengan sebutan dari zaman pergerakan itu. Maksudnya mulia. Tragis, tak ada yang sudi menuruti ajakannya. Tinggalh Bung hanya ditujukan untuk Harmoko sendiri—dan dengan nada geli, bukan dengan semangat revolusioner. 


Hikayat Harmoko juga menyajikan babak suram sejarah pers Indonesia. Dia tersenyum melihat media besar tampil seolah makhluk paling bersih di muka bumi, dengan mengedepankan deretan “agenda publik.” Sebagai pedagang surat izin pers, Harmoko tahu pasti bagaimana mereka memperoleh izin terbit dan berapa mereka membeli dagangannya dari PT Penerangan Tbk. 


Harmoko pasti ingat semua itu. Kali ini giliran kitalah yang menyeleksi memori. Dan kita tahu, sejarah adalah guru terbaik. Tapi si Bung juga tahu bahwa kita selalu jadi murid terbodoh. 


Seorang wartawan radio baru-baru ini bertanya: Benarkah Bung memohon petunjuk Bapak Presiden tentang merek minyak rambut yang harus Bung pakai dan berapa takarannya, serta ke mana arah sisiran Bung? “Itu fitnah!” ●


Sumber: PANTAU, Tahun III, No. 034, Februari 2003

0 komentar:

Posting Komentar