alt/text gambar

Selasa, 15 April 2025

Topik Pilihan: ,

Etika dalam Taman Norma-norma

Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ


Oleh: Franz Magnis-Suseno


Dalam karangan ini[1] saya menunjukkan bagaimana etika lahir dari perubahan sosial, perbedaan antara moralitas dan etika, fungsi etika dalam kehidupan masyarakat, serta metode-metodenya. Saya ingin memperlihatkan bahwa etika, meskipun kadang-kadang dianggap kambing yang merusak tanaman tradisi norma-norma alim, namun dalam kenyataan merupakan tukang kebon yang membantu agar masyarakat menemukan norma-norma kehidupan bersama yang wajar. Etika dimengerti sebagai refleksi kritis atas segala claim normatif dan ideologis. 

1. Taman norma-norma 

Bersama dengan bahasa, kita sudah mulai belajar apa yang boleh dan apa yang tidak boleh kita lakukan, apa yang diharapkan dari kita dan kelakuan mana yang menghasilkan teguran atau pukulan. Hidup kita dari lahir sampai mati bergerak dalam taman norma-norma. Pertama-tama orangtua, khususnya ibu, yang membuat kita mengerti bahwa dalam taman itu kita harus mengikuti jalan yang telah ditentukan. Menginjak rerumputan dilarang. 

Manakah jalan-jalan itu, ditunjukkan kepada kita oleh pelbagai lembaga: orang tua, pak guru, kyai atau pendeta, atasan, teman, negara. Norma-norma yang mereka ajukan membimbing setiap langkah kita. Itu paling jelas dalam masyarakat tradisional, dengan adat istiadat yang masih aseli, di mana perbedaaan antara lembaga-lembaga tersebut belum mencolok: adat istiadat merupakan suatu rancangan hidup yang dapat menjadi pegangan dalam keadaan apa pun: selalu ada jalan dan pelanggarannya pasti akan ditindak. 

Apakah orang mengikuti ketentuan-ketentuan adat istiadat hanya karena ia takut diambil tindakan? Itulah teori Thomas Hobbes. Tetapi ketakutan sebagai satu-satunya dasar kesediaan orang untuk mentaati adat istiadat teramat lemah. Adat istiadat akan tergantung melulu dari kepintaran polisi untuk mengejar para pelanggar. Hanya suatu negara totaliter, dengan pengawasan yang menyeluruh, akan dapat memaksakan orang mentaati adat istiadat—kalau dia tidak mau. 

Tetapi justru dalam masyarakat tradisional orang kelihatan dengan sendirinya mentaati adat istiadat. Ia tidak perlu dipaksa. Mengapa? Karena ia telah membatinkan (menginternalisasikan) norma-normanya. Ia mentaati norma-norma itu tidak (atau tidak hanya) karena takut dihukum, melainkan karena ia akan merasa bersalah apabila ia tidak mentaatinya. Norma-norma terpenting dari masyarakat telah ditanam dalam batin setiap anggota masyarakat itu sebagai norma moral. 

Bahwa pembatinan norma-norma masyarakat perlu demi hidup bersama manusia, kita ketahui dari ilmu perbandingan kelakuan (comparative behavioural sciences). Dorongan-dorongan binatang, seperti dorongan kelamin atau agresi, dikendalikan oleh sistem naluri binatang yang bersangkutan. Apabila dua ekor anjing berkelahi mati-matian dan yang satu akan kalah, dia tiba-tiba akan menggulingkan diri ke samping dan membuka lehernya terhadap gigitan lawannya. Dengan sekali menggigit anjing pemenang dapat merobek urat nadi anjing yang kalah dan dengan demikian membunuhnya. Tetapi ia tidak bisa menggigit. Seakan-akan tidak sampai hati. Menggigitnya hanya pura-pura. Sikap menyerah dari anjing yang telah kalah seakan-akan melumpuhkan nafsu membunuh dari si pemenang. Para ahli bicara tentang ”perintang pembunuhan”. ”Perintang” itu mencegah jenis binatang yang bersangkutan memunahkan diri sendiri. Menurut Lorenz,[2]kesadaran moral pada manusia memainkan peranan yang sama seperti naluri pada binatang. Naluri manusia terlalu lemah untuk mengendalikan nafsu-nafsunya sehingga perlu suatu rem lain. Sistem norma-norma moral yang telah kita batinkan sebagai kesadaran moral, merupakan "mekanisme kompensasi yang menyesuaikan perbendaharaan naluri dengan tuntutan hidup kebudayaan”.[3]

2. Angin puyuh di taman norma-norma 

Dalam masyarakat tradisional tidak diketemukan perpisahan antara norma-norma yang dipasang oleh masyarakat (adat istiadat) dan norma-norma moral dalam kesadaran individu. Norma-norma adat-istiadat begitu saja dibatinkan. Kalau ada orang yang menyeleweng dari norma-norma adat istiadat, ia sendiri akan merasa bersalah. Tidak mungkin ia menentang adat istiadat atas dasar "suara hati” karena suara hati justru mengumandangkan norma-normanya. 

Taman norma-norma yang indah itu baru dikacaubalaukan oleh angin puyuh dari luar, apabila di tengah masyarakat itu muncul masyarakat dengan adat istiadat yang lain. Tidak cukup ada satu dua orang asing dengan tata hidup lain. Masyarakat-masyarakat tradisional pun umumnya tahu bahwa di bumi ada masyarakat-masyarakat dengan adat istiadat lain. Tetapi selama masyarakat itu jauh dan orang asing tetap asing, adat istiadat sendiri tidak terancam. Masyarakat tradisional pun menerima bahwa di tempat lain ada adat istiadat yang lain pula. 

Tetapi keluguan itu hilang apabila tatacara hidup lain menawarkan diri sebagai kemungkinan hidup bagi anggota masyarakatnya sendiri. Kejadian ini membuka babak baru dalam sejarah masyarakat itu: babak pancaroba dari kebudayaan masyarakat ”tertutup” ke kebudayaan masyarakat ”terbuka”.[4] Adat istiadat kehilangan monopolinya karena ada tatacara hidup lain yang kelihatan juga memungkinkan suatu cara hidup yang manusiawi. Ketertutupan masyarakat oleh kemutlakan adat istiadat dibuka ke arah suatu pluralisme kemungkinan hidup. 

Pecahnya pertentangan antara dua sistem normatif merupakan prasyarat bahwa orang mulai membedakan antara norma-norma adat istiadat di satu pihak dan norma-norma moral di lain pihak. Baru sekarang orang berhadapan dengan pertanyaan: kalau saya mau bertindak dengan baik, dengan adil, dengan jujur, saya harus mengikuti adat istiadat yang lama atau yang baru? Sekaligus dengan itu adat istiadat kehilangan kelumrahannya: orang mulai mempersoalkan apakah mengikuti adat istiadat itu selalu baik. Dan dalam ini ia mulai menyadari, bahwa kewajiban moral tidak dengan sendirinya sama dengan kewajiban adat istiadat. Ia menyadari bahwa norma-norma yang dipasang dalam masyarakat, selalu harus dinilai dulu dalam kesadaran moral apakah memang pantas diikuti. Ia menyadari kekhususan norma-norma moral. Ia dengan sadar membuat suara hatinya menjadi pedoman moralnya. 

Namun perkembangan suara hati ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat tertutup pun orang sudah mempunyainya, hanya suara hati belum dapat mengartikulasikan diri karena tidak berbeda dari suara adat istiadat. Sebetulnya dalam masyarakat tertutup pun sekali-kali terjadi ada orang mulai meragukan apakah suatu keharusan tertentu memang baik atau adil dalam kasus yang tertentu. Masyarakat tertutup pun mengalami perubahan-perubahan kecil dalam lingkungan hidup dan pergaulannya sehingga ada norma tradisional yang semakin kurang cocok. Tetapi karena kasus-kasus itu jarang terjadi, lagipula masyarakat itu tidak sama sekali kaku, sehingga suatu proses penyesuaian kecil-kecilan berjalan terus, wewenang normatif dari ketentuan-ketentuan adat istiadat belum sampai dipersoalkan secara menyeluruh. 

Apabila memang demikian, setiap reduksi simplistis dari kesadaran moral pada suatu pembatinan norma-norma adat istiadat a la Freud menurut model rangsangan-jawaban tidak mencukupi. Model itu dapat menerangkan isi norma-norma yang dibatinkan, tetapi tidak dapat menerangkan sifat moralnya, yaitu bahwa kita dalam batin sadar terikat pada norma-norma itu karena dan sejauh mengungkapkan apa yang baik, adil, jujur dan sebagainya. Tidak dapat mene rangkan mengapa dalam masyarakat tertutup orang atas dasar rasa adil mulai meragukan wajarnya suatu norma adat istiadat yang telah dibatinkannya sendiri. Fakta bahwa pengalaman-pengalaman religius pun dapat mendobrak suatu sistem normatif tertutup, menunjuk kearah yang sama. Pengalaman-pengalaman religius — sebelum mendobrak sistem norma-norma yang ada — tidak mengubah lingkungan sosial, melainkan mempertajam kesadaran yang ada. Hanya karena sudah ada kesadaran akan nilai mutlak keadilan, kejujuran, akan kesediaan untuk bersikap baik dan sebagainya, suatu pengalaman yang mempertajam kesadaran itu dapat menghasilkan penolakan terhadap norma-norma tradisional. 

Pertimbangan-pertimbangan ini menunjukkan bahwa kesadaran moral manusia tidak hanya merupakan suatu bentuk naluri lain daripada naluri binatang, melainkan mengandung unsur yang secara kualitatif lain dan baru terhadap kesadaran binatang, unsur kesadaran akan nilai moral. Inilah tempat sistematik untuk mengutarakan hakikat positif suara hati sebagai unsur yang secara fungsional mengambil alih beberapa tugas naluri pada binatang. 

3. Etika: Kambing atau tukang kebun? 

Saat kesadaran moral mulai menyadari kekhasannya dalam kancah pancaroba dari masyarakat tertutup ke masyarakat terbuka sekaligus merupakan saat lahirnya etika sebagai filsafat mengenai permasalahan moral. Karena pertanyaan suara hati "apa yang sebenarnya harus saya lakukan?” akan menimbulkan juga pertanyaan "bagaimana caranya untuk menentukan apa yang sebenarnya harus saya lakukan?” Yang terakhir ini adalah pertanyaan inti etika. 

Etika di sini dibedakan dari ajaran moral. Ajaran moral langsung mengajarkan bagaimana orang harus hidup. Begitu misalnya surat Wulangreh mau menjelaskan jalan untuk menjadi manusia yang baik. Ajaran moral adalah rumusan sistematik terhadap anggapan-anggapan tentang apa yang bernilai serta kewajiban-kewajiban manusia. Sedangkan etika merupakan ilmu tentang norma-norma, nilai-nilai dan ajaran-ajaran moral. Etika tidak pertama-tama mau menjawab pertanyaan "bagaimana manusia harus hidup?”, melainkan tentang cara rasional (=dapat dipertanggungjawabkan di hadapan akal budi) untuk menjawab pertanyaan itu. Ajaran moral misalnya mengajar bahwa manusia selalu harus berlaku jujur. Etika akan mempertanyakan apa artinya jujur dan apakah tuntutan kejujuran tidak pernah dapat disaingi oleh tuntutan moral lain, misalnya kebaikan hati yang mau menutupi keburukan orang lain dengan sedikit bohong. 

Kita akan melihat bahwa garis pemisah antara etika sebagai ilmu di satu pihak dan ajaran moral sebagai ungkapan pendapat-pendapat moral di lain pihak tidak mutlak, tetapi sebagai titik tolak dua-duanya perlu dibedakan. 

Bahwa bersamaan dengan kesadaran akan perbedaan antara norma-norma masyarakat di satu pihak dan norma-norma moral di lain pihak muncul pula ilmu etika, kelihatan juga dalam sejarah etika. Banyak karya etika dapat dimengerti sebagai protes terhadap pendapat-pendapat moral yang dianggap keliru. Aristoteles melawan skeptisme dan sofisme, Thomas Aquinas melawan antinaturalisme Augustinus, Thomas Hobbes melawan dogmatisme, Immanuel Kant melawan empirisme Hume, Max Scheler melawan Kant, G.E. Moore melawan Hegelianisme F.H. Bradley dan R.M. Hare melawan emotivisme. Etika dirangsang oleh keinginan untuk melawan pendekatan-pendekatan moral yang dinilai keliru secara rasional. 

Usaha kaum ahli etika untuk mendekati masalah norma-norma moral secara rasional (usaha mana memang sering malah menyesatkan) tidak senantiasa disambut gembira oleh yang bersangkutan. Etika dianggap kambing yang merusak taman norma-norma tradisional yang indah. Maka Sokrates dihukum mati, Aristoteles harus mengungsi dari Atena, Thomas Aquinas dianggap kafir, Hobbes dituduh ateis, Marx dianggap subversif dan Freud dilarang dibaca oleh orang agama. 

Mungkin ada filsuf-filsuf yang bagaikan kambing mau memakan habis tunas-tunas kesadaran moral. Namun maksud dan tugas mereka sebetulnya sebagai tukang kebun. Tukang kebun tidak membuat tanaman-tanaman jadi tumbuh, melainkan ia membersihkan tanaman dari rerumputan yang mencekiknya. Tanaman-tanaman yang tidak pada tempatnya disingkirkan, sedangkan yang baik dibersihkannya supaya lebih kentara. 

4. Etika fenomenologis 

Terpecahnya kesatuan normatif masyarakat tertutup ke dalam norma-norma yang dipasang oleh masyarakat dan norma-norma yang disadari sebagai kewajiban batin, menunjukkan arah terjang bagi etika. Sebagai akibat perpecahan itu individu menyadari bahwa norma-norma resmi tidak dengan sendirinya mengikat, bahwa dia sendiri yang berhak, bahkan wajib untuk menentukan apa yang meruakan kewajibannya. Jadi bahwa ia harus mengikuti suara hatinya. 

Kesadaran itu bukan hasil etika melainkan merupakan unsur dalam fenomen kesadaran moral itu sendiri. Untuk menyadarinya, orang tak usah mempelajari etika dulu. Tetapi etika membantu untuk memastikan suara hati atau kesadaran moral itu secara rasional. Etika memaparkan unsur-unsur hakiki dalam fenomen kesadaran moral, memisahkan unsur-unsur itu dari fenomen-fenomen jiwa lainnya, membantu agar orang menyadari dengan lebih jelas apa yang sebetulnya sudah selalu terdapat dalam kesadarannya, tetapi seakan-akan secara difus, secara pudar. 

Karena menggali fenomen atau fakta kesadaran moral sebagaimana menunjukkan diri, etika ini disebut fenomenologis. Etika fenomenologis tidak memasang sendiri norma-norma, tidak pun menilainya, juga tidak "membuktikan” (dalam arti deduksi) sifat mutlak kesadaran moral. Etika fenomenologis hanya menjelaskan, menunjukkan adanya unsur-unsur itu dalam kesadaran moral. 

Justru dengan pekerjaan itu etika fenomenologis membantu untuk memastikan kedudukan keyakinan moral terhadap semua lembaga normatif dalam masyarakat seperti orangtua, sekolah, pemuka agama, negara, pimpinan kelompok, adat istiadat, "pendapat umum” dan lain sebagainya. 

Etika fenomenologis menunjukkan adanya kesadaran bahwa tidak ada otoritas masyarakat apa pun yang berhak untuk mewajibkan secara mutlak. Kentaralah otonomi kesadaran moral: kewajiban-kewajiban yang dipasang oleh otoritas-otoritas masyarakat hanya berlaku dengan syarat bahwa oleh yang bersangkutan sendiri disadari sebagai kewajibannya. 

Kalimat terakhir ini memang perlu dimengerti dengan tepat. Maksudnya bukan bahwa otoritas-otoritas dalam masyarakat tidak berhak untuk memasang norma-norma yang mengikat dalam arti, bahwa yang tidak menurutinya diambil tindakan sesuai dengan wewenang otoritas itu. Asal saja wewenang atau kompetensi lembaga itu terbukti — yaitu bahwa lembaga itu berhak untuk membuat norma, bahwa norma yang dipasang termasuk dalam jangkauan hak itu dan bahwa yang dikenai norma itu berada di bawah yurisdiksinya — lembaga itu boleh mengambil semua tindakan yang termaktub dalam wewenangnya untuk memaksakan orang mentaati norma-normanya. Dalam ini otoritas tidak usah memperhatikan apa sebab seseorang tidak mentaati suatu ketentuan: apa karena kehendak jahat, karena keteledoran atau karena suara hati menentang (walaupun perbedaan-perbedaan itu perlu diperhatikan dalam menentukan hukuman): lembaga itu berhak untuk tidak membiarkan pelanggaran norma-normanya entah karena alasan apa. 

Tetapi tidak ada lembaga masyarakat apa pun yang berhak untuk langsung mengikatkan dalam batin (apa arti "terikat dalam batin” dijelaskan oleh etika fenomenologis dari data-data kesadaran moral). Atau, dengan perkataan lain suatu lembaga masyarakat tidak pernah dapat langsung menentukan apa yang harus dilakukan oleh seseorang agar ia menjadi manusia yang baik. Pembatasan itu amat besar artinya. Negara, lembaga agama, sekolah dapat dan boleh memasang norma-norma dan dalam rangka kompetensi mereka boleh juga menuntut pelaksanaan norma-norma itu dari mereka yang berada di bawah yurisdiksinya. Tetapi mereka itu tidak boleh bersama dengan itu mengatakan bahwa pelaksanaan norma-norma itu secara pasti dan jelas menentukan kualitas moral dari mereka yang bersangkutan. Dilihat dari segi individu: secara prinsipiil tidak dapat ditolak hak dan kewajiban individu untuk membentuk pendapat moral sendiri tentang norma-norma yang dipasang kepadanya oleh lembaga-lembaga masyarakat. 

Dengan menegaskan kesadaran tentang otonomi moral setiap orang itu, etika fenomenologis membuktikan diri sebagai lembaga kritis terhadap segala usaha dari lembaga-lembaga masyarakat untuk membatasi kebebasan individu dengan norma-norma paksaan mereka.

5. Etika normatif 

Tetapi etika fenomenologis tidak mencukupi. Tidak cukuplah memastikan apa yang disadari sebagai norma moral. Kesadaran moral sendiri memuat kesadaran bahwa apa yang disadari sebagai kewajiban bersifat objektif. Norma-norma moral tidak dipasang sendiri oleh kesadaran individu, melainkan disadari sebagai kewajiban sejauh betul secara objektif, lepas dari keakuanku sendiri, berlaku bagi setiap orang dalam situasi yang sama. Fakta bahwa saya menyadari sesuatu sebagai kewajiban (mis. bahwa saya harus melaporkan kesalahan rekan sekerja kepada atasan) belum menjamin, bahwa kesadaran saya itu memang betul, bahwa memang itulah kewajiban saya. Suara batin dapat keliru dan menyadari sendiri kemungkinan itu, sebagaimana kentara dari fenomen keragu-raguan seseorang tentang apa yang harusnya dilakukannya. Kesadaran moral sendiri memuat kesadaran akan kewajiban untuk senantiasa mencari norma-norma yang betul secara objektif.

Membantu dalam pencaharian itu adalah tugas etika normatif. Tugasnya ialah penelitian kritis terhadap semua norma yang diajukan sebagai kewajiban moral entah oleh lembaga-lembaga tertentu, entah oleh suara hati kita sendiri. Dalam ini etika tentu tidak dapat menilai norma-norma itu pada suatu kerangka normatif tersendiri, seakan-akan etika memiliki daftar norma-norma yang betul, tinggal saja semua norma lain diperiksa apakah sesuai dengan daftar itu atau tidak. Karena lantas bagaimana norma-norma etika itu sendiri dapat dibenarkan lagi? Etika akan merosot menjadi salah satu ajaran moral tambahan yang dogmatis (karena meluluskan norma-normanya sendiri dari pertanggungjawaban kritis). 

Metode untuk mencegah dogmatisme etika adalah metode kritis negatif. Kritis karena tidak menerima norma konkret apa pun tanpa pemeriksaan, negatif karena etika tidak menentukan manakah norma-norma yang harus diikuti (dari ilmu-ilmu sosial kita ketahui bahwa norma-norma moral yang diketemukan dalam suatu masyarakat merupakan hasil suatu proses kompleks yang menyangkut faktor-faktor phylogenetis, sosio-budaya dan biografis-individual), melainkan dari norma-norma yang ada, disingkirkan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. 

Sebagai alat untuk pendekatan kritis, etika normatif memakai beberapa distingsi penting. Yang satu yaitu antara norma konkret (misalnya: jangan melakukan hubungan seks di luar perkawinan) dan norma yang dasariah (misalnya: hormatilah setiap orang sebagai nilai pada dirinya sendiri). Norma-norma konkret diperiksa apakah sesuai dengan norma-norma dasar. Distingsi lain lagi adalah antara pendapat-pendapat tentang dunia (tidak bersifat moral dan dapat sesuai atau tidak sesuai dengan kenyataan) dan penilaian-penilaian (yang bersifat moral dan dapat betul atau salah). 

Begitu misalnya norma "jangan melakukan hubungan seks di luar perkawinan” dapat berdasarkan (1) pendapat faktual-bukan moral bahwa hubungan seks di luar perkawinan tidak mungkin bermaksud menjadi hubungan untuk seumur hidup, dan (2) berdasarkan penilaian moral bahwa hubungan seks yang tidak untuk seumur hidup itu bertentangan dengan martabat manusia. Etika normatif menunjukkan, manakah premis-premis yang mendasari norma tentang hubungan seks (mis. dua premis tersebut), kemudian memeriksa, apakah (1) premis faktual sesuai dengan kenyataan, dan (2) premis moral memang betul. Kalau salah satu dari premis-premis suatu norma konkret tidak dapat dipertahankan, norma itu sendiri jatuh (kecuali mendapat pendasaran lain yang tahan ujian). 

6. Tukang kebun kebingungan? 

Jadi, etika normatif membersihkan kebun norma-norma dari norma yang tidak pada tempatnya dengan membuka implikasi-implikasi dari norma-norma itu. De facto hampir semua masalah normatif muncul karena ada banyak pengandaian-pengandaian faktual yang bertentangan yang diandaikan dalam norma-norma itu. Perbedaan perbedaan itu secara teoretis tidak menjadi soal yang terlalu sulit. 

Tetapi mungkin juga suatu perbedaan pendapat moral berdasarkan penilaian moral yang berbeda. Perbedaan antara egoisme dan utitarisme, hedonisme dan eudemonisme bersifat demikian. Tetapi di sini muncullah masalah teoretis utama bagi etika normatif. Atas dasar apa penilaian-penilaian moral mau dinilai? Suatu penilaian murni tidak lagi dapat dikritik dengan menunjuk pada fakta, melainkan hanya berdasarkan penilaian-penilaian lain. Tetapi bagaimana penilaian-penilaian lain itu mau dipertanggungjawabkan? Dari mana tukang kebun tahu, apakah sebuah tumbuhan termasuk tanaman baik atau liar? 

Untuk menjawab pertanyaan itu perlu diperhatikan, bahwa dari segi logika jelaslah bahwa suatu sistem deduktif mesti memuat aksioma-aksioma yang sendiri tidak lagi bisa didapati secara deduktif. Begitu pula dalam etika kita akan sampai ke penilaian-penilaian dasar dalam arti tidak berdasarkan penilaian-penilaian lain lagi. Penilaian-penilaian itu tinggal diterima atau ditolak (di sini tidak mungkin kami memasuki pertanyaan penting, apakah penilaian-penilaian dasar ini cukup diterima secara desisionis atau berdasarkan evidensi-evidensi tertentu). 

Selain itu perlu diperhatikan bahwa apa yang dipersoalkan dalam perdebatan-perdebatan moral, rupa-rupanya bukan penilaian-penilaian moral yang paling dasariah melainkan penerapan penilaian-penilaian dasariah itu pada suatu konteks faktual tertentu. Begitu tampaknya (kecuali dalam rangka suatu diskusi ilmiah teoretis) tidak pernah dipersoalkan apakah sikap baik hati, jujur, adil dan sebagainya merupakan sesuatu yang baik. Yang dipersoalkan ialah apakah orang selalu harus jujur, bahkan kalau jujur berarti kurang sopan, apakah ia harus adil apabila ia sendiri rugi karena itu, apa ia harus baik hati terhadap musuhnya sendiri? Andaikata terdapat orang yang secara prinsipiil menolak bahwa lebih baiklah orang bersikap jujur, adil dan baik hati daripada bersifat sebaliknya, dialog memang berakhir dan satu-satunya kemungkinan yang tinggal ialah memutuskan pembicaraan dan hubungan dengan dia (dan sangat mungkin bahwa orang itu akan dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa). 

Dengan demikian etika dapat mempersoalkan norma-norma moral tertentu dengan cara menghadapkan pembela norma itu dengan kenyataan, bahwa normanya itu (misalnya) mengandaikan penyangkalan norma keadilan. Ia dapat ditanyai apakah ia bersedia menerima konsekuensi itu? Jadi etika menghadapkan si pembela norma konkret itu dengan keyakinan moral dasar dia sendiri. 

7. Komunikasi terbuka 

Tetapi bagaimana apabila orang itu tetap pada pendapatnya yang semula? Memasukkan dia ke rumah sakit jiwa tidak memecahkan masalah itu secara teoretis. Dalam arti tertentu tak ada pemecahan teoretis: Antara dua penilaian dasar per definitionem tak ada penilaian lebih dasariah yang dapat menjadi wasit. 

Pada titik ini kentaralah bahwa si ahli etika pun harus meninggalkan menara gading objektivitas ilmiah dan turun ke medan pertempuran: Kesadaran moral pribadi ahli etika tidak dapat disisihkan dari usaha ilmiahnya. Seorang ahli ilmu bumi dapat saja menyelidiki probabilitas untuk menemukan minyak tanah dalam formasi batubatu tertentu, entah dia berkepentingan untuk menemukan minyak tanah atau tidak. Tetapi ahli etika tidak dapat menghadapi bidangnya secara netral. Dalam etikanya keyakinan moralnya pun menjadi nampak. Andaikata seorang ahli etika tidak melihat keadilan sebagai sesuatu norma mutlak, sebagai norma yang berlaku untuk dia sendiri (apakah ia hidup sesuai dengan norma ini atau tidak itu lain masalah), penelitian etisnya tidak bisa sampai kepada hasil yang sama dengan seorang ahli etika yang merasa terikat oleh norma keadilan. 

Sudah Aristoteles sadar akan keterlibatan kepribadian si ahli etika dalam ilmunya. Menurut dia hanyalah orang yang sudah mengetahui tentang apa yang baik dapat belajar etika.[6] Dan memang, kalau seseorang tidak mengetahui apa itu "jujur”, kalau baginya ”jujur” hanya berarti ”mengatakan apa yang sesuai dengan kenyataan”, tetapi ia sama sekali tidak menyadari bahwa ”jujur” itu sesuatu yang baik, indah, terpuji, lantas tidak ada kemungkinan untuk mengadakan dengan dia suatu diskusi moral tentangnya, misalnya apakah orang selalu harus jujur atau ada kekecualiannya; tidak akan ada dasar untuk membicarakannya bersama-sama. 

Kelihatanlah bahwa setiap diskusi etis selalu sudah bergerak dalam suatu keseluruhan pengandaian pengandaian moral bersama. Si ahli etika sendiri ditantang, ia tidak bisa menjauhkan keyakinan-keyakinan pribadinya dari diskusi ilmiahnya.

Tetapi dari mana ahli etika tahu bahwa pengandaian-pengandaian yang dibawanya itu bersifat murni, melulu memuat norma-norma moral? Ternyata tidak dapat dikecualikan kemungkinan bahkan probabilitas, bahwa di dalam pengandaian-pengandaian ada terselundup juga unsur-unsur yang mau menjamin kepentingan pribadi si ahli etika. Suatu teori yang tampaknya demi kepentingan umum tetapi sebenarnya melindungi kepentingangan-kepentingan pribadi, disebut ideologi. 

Bahwa pada zaman sekarang semakin disadari bahaya bahwa etika menjadi suatu ideologi itulah pertama-tama berkat jasa Karl Marx dan Sigmund Freud. Bahaya penyelewengan ideologi baru akhir-akhir ini diperhatikan secara sistematis, yaitu oleh Jurgen Habermas dan apa yang disebut aliran Erlangen (sesudah dirintis oleh Teori Kritis Masyarakat ciptaan Horkheimer dan Adorno). Jurgen Habermas berusaha untuk menentukan prasyarat-prasyarat untuk mengadakan suatu dialog tanpa represi antara pihak-pihak yang kompeten sedangkan aliran Erlangen mengembangkan suatu "model konsultasi ilmiah” dengan rekonstruksi dialogis sistematik daripada suatu bahasa ilmiah atas dasar bahasa sehari-hari sebagai intinya. Untuk mendobrak bahaya ideologi, mereka dengan cara-cara yang berlainan menuntut agar sesuatu dianggap benar (dalam bidang fakta) atau betul (dalam bidang nilai) apabila disepakati dalam suatu diskusi yang terbuka bagi siapa saja yang kompeten dan bebas dari segala macam tekanan. Secara lebih sederhana: suatu pengandaian moral dianggap betul sejauh bertahan dalam suatu dialog yang bebas dari segala tekanan luar atau batiniah, yang diadakan oleh orang yang tidak mau mencari kepentingannya sendiri melainkan kebenaran, yang diadakan oleh orang yang mengerti bahasa dan permasalahannya. 

Jadi cara untuk mencegah bahwa etika akhirnya jatuh kembali ke dalam dogmatisme ialah diadakannya komunikasi yang seluas mungkin agar semua pengandaian dapat dipersoalkan. Secara ideal jangkauan komunikasi ini merangkum seluruh umat manusia.[8] Dalam Suatu masyarakat pluralis di mana tidak lagi terdapat sistem norma-norma moral yang diakui umum maka kemungkinan komunikasi tanpa represi menjadi prasyarat bahwa kesadaran moral dapat menjalankan fungsi kritisnya terhadap semua sistem normatif yang de facto menuntut ketaatan. 

Rupa-rupanya ilmu etika tidak dapat dijalankan tanpa melibatkan diri di bidang politik. Sebagai ilmu yang kritis, yang tidak membiarkan pemasangan pembatasan-pembatasan normatif pada kebebasan orang, etika mestinya termasuk unsur-unsur emansipatoris dalam masyarakat. Sekaligus tampak juga, bahwa pendobrakan segala pengekangan ideolosis terhadap kebebasan menuntut diciptakannya kemungkinan yang seluas-luasnya untuk berkomunikasi tanpa tekanan antara sebanyak mungkin orang. Demi terbentuknya masyarakat yang manusiawi kemungkinan untuk bertukar pikiran secara bebas untuk mengritik segala pembatasan terhadap individu serta terhadap ideologi-ideologi resmi perlu dijamin secara institusional. Menjamin keterbukaan maksimal untuk berkomunikasi kelihatan menjadi kewajiban moral utama agar diperjuangkan di bidang politik. 


________________

Catatan kaki: 


Karangan ini adalah cetak ulangan karangan yang pernah dimuat dalam Dari Sudut-sudut Filsafat: Sebuah Bunga Rampai, dihimpun oleh Majalah Mahasiswa Driyarkara, Yogyakarta: Kanisius 1977, hlm. 68-78: saya menganggap karangan ini tetap dapat berguna sebagai pengantar ke dalam problematika etika filosofis. 

Konrad Lorenz, Das sogenannte Bose, Wien 1972, hlm. 179-188. 

Ibid, hlm. 355.

Bdk. Karl R. Popper, The Open Society and its Enemies, London 1972. 

Inilah inti ajaran Kant tentang otonomi kesadaran moral, lih. Immanuel Kant, Grundlegung zur Metaphysik der Sitten (1785), dalam Kant's Werke, Jld. IV, Berlin: Reimer 1903, hlm. 385-463; Hegel merumuskan suara hati sbb.: "Suara hati mengungkapkan wewenang mutlak kesadaran diri subjektif untuk dalam dirinya dan dari dirinya sendiri mengetahui apa yang benar dan wajib, dan untuk tidak mengakui sesuatu kecuali apa yang dengan cara demikian diketahuinya sebagai yang baik, sekaligus dalam pernyataan bahwa apa yang diketahui dan dikehendaki demikian sebenar-benarnya merupakan yang benar dan wajib”, G.W.P. Hegel, Grundlinien der Philosophie des Rechts (1821), Frankfurt: Suhrkamp 1970, pasal 137. 

Aristoteles, Ethica Nikomacheta, I. 2. 

Lihat misalnya Jurgen Habermas, Technik und Wissenschaft als 'Ideologie', Frankfurt: Suhrkamp 1968: salah satu buku kunci aliran Erlangen adalah Paul Lorenzen/Oswall Schwemmer, Konstruktive Logik, Ethik und Wissenschaftstheorie, Mannheim 1975: 

Uraian paling sistematis tentang masalah ini terdapat dalam Otfried Hoffe, Strategien del Humanitat. Zur Ethik offentlicher Entscheidungsprozesse, Freiburg-Miinchen: Karl Alber 1975: lih. juga H. Peukert, Wissenschaftstheorie-Handlungstheorie-Fundamentale Theologie, Analysen zu Ansatz und Status theologischer Theoriebildung, Diisseldorf: Patmos 1976. 

_________________

Sumber tulisan:

Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. 27-40



0 komentar:

Posting Komentar