alt/text gambar

Selasa, 15 April 2025

Topik Pilihan:

BUKU-BUKU KIRI MENYERBU PASAR



(Kompas, 15 April 2000)


Ketetapan MPRS yang melarang penyebaran ajaran marxisme-leninisme atau komunisme sedang dalam pembahasan dicabut atau dipertahankan. Kejaksaan Agung juga belum mencabut larangan atas pengedaran roman tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Namun, tumpukan buku-buku seperti Madilog Tan Malaka dalam dua versi penerbitan sampai Pemikiran Karl Marx Franz Magnis-Suseno, begitu mudah ditemukan di toko-toko buku.


Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Rumah Kaca Pramoedya Ananta Toer atau serial kitab klasik Pandangan Hidup Menuju Republik Indonesia, dan Massa Aksi dari Tan Malaka, dapat diperoeh di toko buku Hotel Indonesia.


Nama penerbit-penerbit buku itu banyak yang baru. Bentang Komunitas Bambu 2000, Teplok Press, LKiS, Insist Press, Litera Indonesia, Mata Banga, dan sebagainya.


Penerbit Teplok Press sampa hari ini masih dikelola amatiran. Namun dengan gairah pasar terhadap bahan bacaan kiri, penerbit yang bermarkas di bilangan Cililitan Jakarta semakin dikenal. Dialah yang menerbitkan salah satu buku Madilog dan Kajian Kritis Das Kapital karya Karl Marx buah pikiran Anthony Brewer.Dengan tebal 385 halaman dan harga Rp 28.000, cetakan pertama buku yang disebut terakhir ini habis dalam tempo empat bulan.


"Kami dalu mendapatkannya dalam bentuk fotokopian, beredar dari tangan ke tangan,” kata Direktur dan Koordinator Pemasaran Teplok Press Jacky Abdul Rachman. 


Teplok Press bercikal bakal dari keterlibatan Jacky dan seorang aktivis organisasi nonpemerintah lainnya, Agus Edi Santoso alias Agus Lenon, dalam sebuah dalam sebuah kelompok studi yang menaruh minat pada pembahasan Marxisme dan kajian-kajian kiri lainnya. Sudah sejak tahun 1989 mereka aktif menyebarkan bahan-bahan itu dari tangan ke tangan. "Kadang-kadang kami bersama-sama ke Bogor atau naik gunung kadar untuk diskusi Marxisme," kata Agus Lenon. 


Kelompok studi mereka memakai nama Teplok karena sering harus harus menggunakan alat penerangan berbahan bakar minyak tanah itu dalam diskusi-diskusi. "Inilah tempat anak-anak sedari dulu mencari bahan-bahan Marxisme. Beberapa kali digrebek, kami lolos terus ,” kata Jacky. 


Sebelum menerbitkan buku-buku kiri, Teplok menerbitkan Demokrasi untuk Indonesia Hasan Tiro yang dicetak sampai 6.000 eksemplar, 500 di antaranya diedarkan di luar negeri. Sekarang selain mempersiapkan cetakan kedua Madilog dan Kudeta Angkatan Darat Geof- frey B Robinson, penerbit ini siap meluncurkan Revolusi Rakyat Che Guevara. 


Laris manis. Itulah yang meyakinkan percetakan memberi kesempatan utang kepada Teplok setiap menerbitkan buku. Di pihak lain, untuk mempercepat pemasukan uang demi membayar utang, penerbit ini kerap menawarkan rabat sampal 60 persen. "Yang penting, buku cepat habis, kami bisa menerbitkan buku lain," kata Jacky sambil menambahkan, banyak pula tanpa bayar karena masih menganggap kegiatan penerbitan ini kerjaan aktivis.   


                                                  ***      


Rumah pondokan di gang sempit di bilangan Samirono Yogya itu kini tak sekadar tempat diskusi, tapi juga kantor penerbit baru bernama Yayasan Litera Indonesia. Dimotort empat mahasiswa, Litera telah mengedarkan 1.500 eksemplar Catatan Revolusioner Che Guevara. Cetakan kedua buku setebal 122 halaman itu sedang dipersiapkan. “Dalam waktu dekat, kami akan menerbitkan kritik Marx terhadap konsep negara Hegelian dan riwayat hidup Haji Misbach,” kata Cahyo, satu dari keempat mahasiswa tadi.  


Yayasan Litera Indonesia, menurut Ananto, salah satu pendiri, lahir dari modal dengkul. Peralatan kantor tak punya. Komputer dipinjam. Dana untuk mencetak diutang. “Kecuali naskah dan semangat membuka wacana baru. Itu saja," katanya. 


Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta rajin pula menerbitkan buku-buku kiri. Setelah berhasil mencetak ulang Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernismi, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi (1993) LKiS memutuskan akan lebih banyak menerbitkan buku-buku kiri. Buku karya Kazuo Shimogaki yang pertama mereka terbitkan tabun 1990 dan diberi kata pengantar oleh Gus Dur, memang sudah memasuki cetakan keempat.


"Sejak itu kami gencar menerbitkan buku-buku bernafaskan kiri," kata Pemimpin Redaksi LKiS, Hairus Salim Has. Keputusan ini tidak keliru sebab Berbareng Bergerak: Sepenggal Riwayat Hidup Semaoen (2000), Dialog Paulo Freire: Sekolah Kapitalisme yang Cilik (1998), dan Geger Tengger (1999), ikut memasuki cetakan kedua atau ketiga. LKiS kini mempersiapkan buku pemikiran Karl Marx dan riwayat hidup Tan Malaka. 


Buku Pemikiran Karl Marx: Dari Utopianisme ke Revisionisme karya Franz Magnis-Suseno yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, yang semula merupakan diktat kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, kini telah menjadi buku favorit bagi kalangan muda yang tergabung dalam kelompok studi berbagai kota selama belasan tahun terakhir. 


Sambutan pasar ternyata luar biasa. Bulan Maret lalu buku seharga Rp 25.000 ini memasuki cetakan keempat dan sudah 20.550 eksemplar yang terjual. “Rasanya tak ada buku berbahasa Indonesia yang enak dibaca untuk mengetahui pemikiran Karl Marx selain buku Romo Magnis ini,” kata Diran, mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. 


Yang tak kalah menarik, penerbit yang dimotori oleh sejumlah dosen Universitas Gadjah Mada, Insist Press, bulan April ini akan menerbitkan Marx untuk Pemula dalam versi komik. Buku setebal 155 halaman karya Rius dartiSpanyol ini menceritakan Marx dan ajaran filsafat sosialnya. Sebelumnya Insist menerbitkan Kejahatan Hutang Luar Negeri, Sekolah itu Candu, dan Teologi Pembebasan. 


                                                 ***    


Penerbit Mata Bangsa yang berbasis di Yogya, malah mau menerbitkan terjemahan The Indonesian Killings of 19651966: Studies from Java and Bali karya Robert Gribb yang mengemukakan pembantaian massal orang-orang Partal Komunis Indonesia pascapemberlakuan Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 dan terjemahan Indonesian Communism under Soekarno dari Rex Mortimer. "Naskah ini boleh jadi akan membuat kuping Orde Baru merah,” kata seorang pengelola Mata Bangsa yang tak bersedia namanya diungkapkan.  


Eforia menerbitkan buku-buku yang menurut selera Orde Baru terlarang untuk selama-lamanya “menghasilkan” dua versi Madilog karya Tan Malaka. Pusat Data Indikator menerbitkannya dalam suntingan bahasa Indonea masa kini, sementara Teplok Press menerbitkannya dalam terjemahan Melayu. 


Entah karena alamat Teplok yang di Cililitan itu dekat dengan kawasan Kalibata, di mana Tan Malaka menulis buku ini antara tanggal 15 Juli 1942 dan pertengahan tahun 1943, Sejarah Madilog yang ditulis Tan Malaka sendiri di halaman-halaman awal buku termasyhur itu mengalamai “editing Tan Malaka entang dari mana”. Di halaman (v) buku Madilog, terbitan Teplok itu tertulis, “Ditulis di Rawajati dekat pabrik sepatu Kalibata, Cililitan, Jakarta. Tepatnya di belakang Kalibata Mall sekarang”. Kapan pula Tan Malaka mengetahui bahwa sometime akan dibangun Kalibata Mall di sana? 


                                                    ***    


Yogya kelihatannya pusat pemikiran kiri.Tak hanya buku yang diterjemahkan, diterbitkan. Buletin, newsletter, sampai selebaran, semarak pula di kota yang mengawall gelombang gerakan mahasiswa yang akhirnya membuat Soeharto tersungkur pada 21 Juni 1998 lalu.  


Partal Rakyat Demokratik (PRD) menerbitkan buletin Pembebasan dengan motto "Suara sosial demokrasi kerakyatan" seharga Rp 2.500 yang edisi terakhimya mengangkat ajakan penolakan harga bahan bakar minyak dan tarif listrik. Gerakan Keadilan Sosial menerbitkan Terang. Buletin Bentang terbitan Keluarga Aktivis Mangkubumen Universitas Widya Mataram Yogya mengajak rakyat menolak praktik kapitalisme dalam pendidikan. Lembaga Budaya KerakyatanTaring Padi menerbitkan Terompet Rakyat dengan fokus perlawanan terhadap imperialisme, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) menerbitkan Pelopor yang mengungkapkan abad baru penindasan. 


Sejumlah mahasiswa yang bekerja untuk advokasi sosial bagi petani di Desa Dadapan,Timbulharjo, Sewon, Bantul, menerbitkan newsletter bernama Angkringan yang digulirkan secara berkala dengan tiras hanya 150 eksemplar "Lucu efektif, sekaligus menarik," kata Nasir, salah satu penggerak Angkringan.


Buku-buku kiri sedang menyerbu pasar, sebagian langsung disergap dan habis. Hanya oleh mereka yang aktif dalam kelompok-kelompok studi? Sekali-kali pergilah ke toko-toko buku yang terdapat di beberapa mal Jakarta. Eksekutif muda berdasi dengan wewangian Dunhill atau Hermes, misalnya, maupun yang berblue jeans, tak sedikit menenteng beberapa buku kiri di depan kasir. (ryi/wis/wal) 


Sumber: Kompas, 15 April 2000

0 komentar:

Posting Komentar