![]() |
Franz Magnis-Suseno |
Oleh: Franz Magnis-Suseno
Sering dikatakan bahwa pembangunan masyarakat hanya dapat mencapai momentum apabila didorong oleh sebuah ideologi yang ampuh. Karena, kata mereka, hanya sebuah ideologi dapat membangkitkan motivasi yang diperlukan agar masyarakat bersedia, dengan mengatasi segala rintangan, melibatkan diri dalam pembangunan itu. Apakah anggapan itu benar? Tetapi sebelum pertanyaan ini dapat dijawab, perlu menjadi jelas dulu apa yang dimaksud dengan istilah ideologi? Dua pertanyaan itulah yang mau dibahas dalam karangan ini.1
Pengantar
Istilah ideologi adalah salah satu istilah yang sangat banyak dipergunakan, terutama dalam ilmu-ilmu sosial, akan tetapi juga paling tidak jelas artinya. Menyebutkan sebuah ajaran ”ideologi” merupakan pujian atau celaan? Dan pengertian mana yang betul?
Di Indonesia kita ini pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan ideologi lebih mendesak lagi, karena Indonesia dalam membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mendasarkan diri pada Pancasila yang sering disebut "ideologi negara” kita, akhir-akhir ini dengan menegaskan bahwa Pancasila adalah "ideologi terbuka” dan bukan "ideologi tertutup”. Tetapi apa yang dimaksud dengan sebutan-sebutan itu?
Kerancuan itulah latar belakang pertanyaan pokok makalah ini: Apa yang dimaksud dengan istilah "ideologi”? Uraian akan saya bagi lima. Pertama, saya menggariskan perkembangan penggunaan istilah ”ideologi” dalam sejarah filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Kedua, saya menjelaskan dalam arti-arti apa saja istilah ideologi biasanya dipergunakan dewasa ini. Ketiga, saya mencoba menjelaskan ciri-ciri pelbagai ideologi yang perlu dibedakan. Dalam bagian keempat saya mempertanyakan sejauh mana Pancasila dan agama dapat disebut ideologi. Bagian kelima mengenai fungsi ideologi dalam pembangunan. |
A. SEJARAH ISTILAH ”IDEOLOGI”
(1) Istilah "ideologi” dimasukkan ke dalam khazanah bahasa ilmu-ilmu sosial oleh S.L.C. Destutt de Tracy (1754-1836), seorang politisi dan filsuf. Baginya "ideologi” adalah ilmu tentang idea-idea. (2) Pada bagian pertama abad ke-19 di Jerman para pembela gagasan-gagasan progresif (seperti hak asasi manusia atau negara konstitusional) disebut "ideolog”.
(3) Yang menjadi sangat penting untuk perkembangan kemudian hari adalah paham Karl Marx (1818-1883). Menurut Marx cara manusia berpikir dan menilai, jadi agama, pandangan-pandangan moral, pandangan dunia, nilai-nilai budaya dlsb. mempunyai fungsi mendukung struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat. Pandangan-pandangan itu merupakan "ideologi”. Ideologi bagi Marx adalah "kesadaran palsu”: Kesadaran yang mengacu pada nilai-nilai. moral tinggi dengan sekaligus menutup kenyataan bahwa di belakang nilai-nilai luhur itu tersembunyilah kepentingan-kepentingan egois kelas-kelas berkuasa. Jadi ideologi sebagai teori yang menunjang kepentingan yang tidak dapat dilegitimasikan secara wajar.
(4) Dalam sosiologi, misalnya oleh Vilfredo Pareto (1848-1923), cita-cita luhur dikritik sebagai sekadar alat perjuangan politik dan sosial, yang dalam kenyataan tidak lebih daripada rasionalisasi belakangan claim-claim kekuasaan, kepentingan-kepentingan dan emosi-emosi. Sosiologi Pengetahuan Karl Mannheim (1893-1947) merelatifkan kritik Pareto yang radikal.[3] Baginya sudah wajarlah kalau seluruh pemikiran mengenai realitas sosial tergantung dari konteks sosial dan ditentukan oleh harapan-harapan, kepentingan-kepentingan dan cita-cita masing-masing golongan sosial. Ideologi berwawasan ke belakang. Utopi ke depan.
(5) Kritik ideologi Positivisme bertolak dari anggapan Theodor Geiger (1891-1952) yang menegaskan bahwa penilaian-penilaian, karena tidak dapat dicek pada realitas, tidak dapat benar atau salah, melainkan hanya mengungkapkan perasaan. Kalau penilaian dikemukakan dengan claim atas kebenaran, dia mesti ideologis. Menurut Positivisme etika, filsafat sejarah dan metafisika sejauh dipergunakan untuk membenarkan norma-norma secara objektif, merupakan ideologi.
(6) Pengertian yang paling umum dan paling dangkal yang terutama biasa dalam kalangan ilmuwan sosial adalah “ideologi” sebagai istilah bagi segala macam sistem nilai, moralitas, interpretasi dunia, pokoknya terhadap apa saja yang berupa ”nilai” dan berlawanan dengan "pengamatan”, tanpa nada peyoratif, jadi netral.
B. TIGA ARTI KATA ”IDEOLOGI”
Sesudah kita melihat bagaimana paham ”ideologi” berkembang, maka dalam bagian ini saya mau menjelaskan apa yang pada dewasa ini biasanya dimaksud kalau orang bicara tentang "ideologi”.
Nah, yang paling perlu diperhatikan bahwa ”"ideologi” dipergunakan dalam arti yang berbeda-beda. Tak ada kesatuan pengertian tentang aap yang dimaksud dengan ideologi. Maka kita tidak dapat bicara tentang ”ideologi” kecuali memerincikan dulu apa yang kita maksud. Kalau kita mau menanggapi pendapat orang lain tentang ideologi, kita harus menyelidiki dulu dalam arti apa kata itu dipakai olehnya. Kalau kita tidak memperhatikan hal itu, pembicaraan mesti kacau.
Meskipun istilah ideologi dipergunakan dalam banyak arti, namun pada hakikatnya semua arti itu dapat dikembalikan pada salah satu (atau kombinasi) dari tiga arti berikut ini.
1. Ideologi sebagai kesadaran palsu
Kiranya kata ideologi paling umum dipergunakan dalam arti ”kesadaran palsu”. Itu berlaku baik di kalangan filsuf dan ilmuwan sosial, maupun di sebagian besar masyarakat di Barat. Jadi secara spontan bagi kebanyakan orang kata ideologi mempunyai konotasi negatif, sebagai iclaim yang tidak wajar atau sebagai teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kesentingan pihak yang mempropagandakannya. Minimal ideologi dianggap sebagai sistem berpikir yang sudah terkena distorsi, entah dengan disadari, entah tidak. Biasanya ”ideologi” sekaligus dilihat sebagai sarana kelas atau kelompok yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya secara tidak wajar. Orang yang mempergunakan kata ideologi dalam pengertian ini terdorong untuk menegaskan bahwa cita-citanya, misalnya agamanya, tidak ideologis dan tidak merupakan ideologi.
2. Ideologi dalam arti netral
Arti kedua kata ”ideologi” ini terutama ditemukan dalam negara-negara yang sangat mementingkan sebuah "ideologi negara”, misalnya negara-negara komunis (yang menyebut Marxisme-Leninisme sebagai "ideologi komunisme”, dan mereka tidak malu, melainkan justru bangga, tetapi juga kita di Indonesia. Arti kedua itu netral. Dengan ideologi dimaksud keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap-sikap dasar rohani sebuah gerakan, kelompok sosial atau kebudayaan. Dalam arti ini nilai ideologi tergantung isinya: Kalau isinya baik, ideologi itu baik, kalau isinya buruk (misalnya membenarkan kebencian), dia buruk.
3. Ideologi: Keyakinan yang tidak ilmiah
Masih ada sebuah arti ketiga. Dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang berhaluan positivistik, segala pemikiran yang tidak dapat dites secara matematis-logis atau empiris disebut ideologi. Jadi segala penilaian etis dan moral, anggapan-anggapan normatif, begitu pula teori-teori dan paham-paham metafisik dan keagamaan atau filsafat sejarah, termasuk ideologi. Arti ketiga itu maunya netral, tetapi sebenarnya bernada negatif juga karena memuat sindiran bahwa ”ideologi-ideologi” itu tidak rasional, di luar hal nalar, jadi merupakan hal kepercayaan dan keyakinan subjektif semata-mata, tanpa kebenaran, tanpa kemungkinan untuk mempertanggungjawabkannya secara objektif.
Masalah pengartian terakhir ideologi ini adalah bahwa penggunaan itu sendiri berbau ideologis. Positivisme memberikan kesan bahwa hanya kebenaran analitis atau empiris mempunyai arti kognitif, sedangkan segala hal yang tidak inderawi atau yang menyangkut penilaian bersifat subjektif atau sosiologis semata-mata. Mereka yang tidak menganut positivisme menolak anggapan bahwa pandangan metafisis, etis, dan estetis tidak dapat dipertanggungjawabkan secara objektif dan argumentatif.[4] Oleh karena itu, arti ketiga ini sangat meragukan.
4. Pikiran "ideologis"
Masih ada sebuah kata yang sering dipergunakan dan perlu kita pahami artinya, kata "ideologis”. Apa yang mau kita ungkapkan apabila kita menyebut sebuah argumentasi, sebuah teori, sekelompok nilai atau cita-cita sebagai ideologis? Sesuatu akan kita anggap sebagai ideologis apabila kita menganggapnya telah dicemari oleh pamrih. Sebutan ”ideologis” selalu merupakan tuduhan bahwa argumentasi, atau teori, atau nilai dan cita-cita itu tidak diajukan demi kebenaran dan nilai etisnya, melainkan demi kepentingan non-etis tertentu yang tersembunyi, atau apabila pemikiran dan cita-cita itu hanya pura-pura luhur dan dalam kenyataan hanya menyelubungi kepentingan-kepentingan kekuasaan sebuah kelas sosial atau sekelompok orang.
Berbeda dengan kata "ideologi”, "ideologis” tidak pernah dipakai dalam arti yang positif atau netral, melainkan selalu dalam arti negatif. Menyebutkan cita-cita sebagai ideologis berarti menyangkal bahwa cita-cita itu sungguh-sungguh cita-cita. Ideologi tertutup (lihat di bawah) dianggap selalu bersifat ideologis, sedangkan ideologi terbuka (lih. di bawah) dengan sendirinya tidak ideologis, meskipun dapat disalahgunakan secara ideologis. Cita-cita dan nilai-nilai yang pada hakikatnya baik, dapat juga mempunyai unsur ideologis, atau dapat menjadi ideologis dalam konteks tertentu.
C. TIGA MACAM "IDEOLOGI"
Penjelasan tentang arti kata "ideologis” dan "ideologis” itu perlu kalau kita mau menghindari kerancuan dan salah paham dalam segala pembahasan. Dalam bagian berikut saya akan membedakan tiga macam ideologi. Tiga-tiganya cukup berbeda satu sama yang lain, meskipun tentu saja ada overlapping. Akan kelihatan bahwa penilaian terhadap masing-masing dari tiga macam ideologi itu akan berbeda juga. Tiga macam atau tipe ideologi berikut ini jangan disamakan dengan tiga cara penggunaan kata ideologi di atas. Orang yang memakai cara pertama, akan menolak bahwa tipe kedua boleh disebut ideologi (ia menolak penggunaan istilah "ideologi terbuka”), sedangkan yang memakai cara kedua dan ketiga akan menyebutkan baik tipe pertama maupun tipe kedua sebagai ideologi. Orang yang memakai cara bicara ketiga (yang positivistik), akan menyebutkan semua tiga macam ideologi berikut sebagai ideologi, sedangkan yang memakai cara bicara pertama dan kedua tidak (tetapi mereka dapat menyebutkan adanya segi-segi ideologis dalam tipe ideologi nomor tiga).
1. Ideologi dalam arti penuh
Sebagai contoh ideologi dalam arti penuh atau lengkap dapat diambil Marxisme-Leninisme. Marxisme-Leninisme adalah sebuah teori (1) tentang hakikat realitas seluruhnya (sebuah teori metafisika berisi materialisme dialektis dan ateisme), (2) tentang makna sejarah (bahwa sejarah menuju ke masyarakat tanpa kelas, (3) yang memuat norma-norma ketat tentang bagaimana masyarakat harus ditata (secara ”sosialis”, tanpa hak milik pribadi, seluruh kehidupan masyarakat ditetapkan langsung oleh negara, jadi totaliter), bahkan tentang bagaimana individu harus hidup (tentang gaya rekreasinya, tentang karya seni yang boleh dan yang tidak boleh, tentang bentuk pendidikan, tentang tidak diperbolehkannya pelajaran agama, tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dibaca dlsb. ), (4) yang pada hakikatnya melegitimasikan monopoli kekuasaan sekelompok orang (partai komunis) di atas masyarakat.
Teori seperti Marxisme-Leninisme merupakan ideologi dalam arti yang sepenuh-penuhnya: Yaitu ajaran atau pandangan dunia atau filsafat sejarah yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial, yang diclaim sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi melainkan yang sudah jadi dan harus dituruti.
Ideologi dalam arti sepenuhnya juga disebut ideologi tertutup, karena isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, kebenarannya tidak boleh diragukan. Isinya dogmatis dan apriori dalam arti bahwa ideologi itu tidak dapat dimodifikasi berdasarkan pengalaman.[5] Ideologi total itu tertutup juga dalam arti bahwa ia mengklaim status moral yang mutlak, dengan hak untuk menuntut ketaatan mutlak, dalam arti bahwa ideologi itu tidak boleh dipersoalkan berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral lain. Di tingkat masing-masing orang hal itu berarti bahwa ideologi tidak mengizinkan individu mengambil jarak terhadapnya berdasarkan suara hati. Oleh karena itu ideologi tidak mungkin toleran terhadap pandangan dunia atau nilai-nilai lain (oleh karenaitu, makin ketat sebuah ideologi, makin dia akan menentang agama, karena agama mempunyai acuan lain daripada ideologi itu).
Adalah ciri khas ideologi tertutup bahwa claimnya tidak hanya memuat nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, melainkan bersifat konkret operasional; artinya, ideologi tidak mengakui hak masing-masing orang untuk mempertimbangkan sendiri, berdasarkan suara hatinya, bagaimana sebuah prinsip harus diterapkan dalam situasi kongkret. Ideologi tertutup menuntut ketaatan tanpa reserve.
Salah satu ciri khas ideologi tertutup adalah bahwa dia tidak diambil dari masyarakat, melainkan merupakan pikiran sebuah elite yang harus dipropagandakan dan disebarkan kepada masyarakat. Ideologi tertutup tidak mendasarkan diri pada nilai-nilai dan pandangan moral masyarakat, melainkan sebaliknya baik-buruknya nilai-nilai dan pandangan-pandangan moral masyarakat dinilai dari sesuai tidaknya dengan ideologi itu. Maka ideologi tertutup itu selalu harus dipacu oleh sebuah elit ideologis (karena tidak memperhitungkan motivasi natural dalam masyarakat), ia sering memerlukan paksaan, sifatnya otoriter dan cenderung totaliter.
Marxisme, fasisme, beberapa bentuk sosialisme dan "ideologi keamanan nasional” ala Amerika Latin juga termasuk ideologi tertutup — meskipun memiliki perbedaan-perbedaan formal yang cukup mendalam. Kapitalisme klasik juga termasuk di sini, kapitalisme memang tidak totaliter karena terbatas pada bidang ekonomi dan tetap membiarkan kebebasan masyarakat dan individu dalam bidang-bidang lain, tetapi ia tetap ideologis.
Begitu pula liberalisme dan sikap konservatif dalam politik ada segi ideologisnya. Sejauh liberalisme membela kebebasan dan menuntut agar segala pembatasan kebebasan dipertanggungjawabkan, liberalisme tidak ideologis, melainkan merupakan pembelaan salah satu nilai dan hak asasi manusia yang paling fundamental. Akan tetapi sejauh liberalisme, atas nama kebebasan, menolak campur tangan negara dalam menjamin kesejahteraan ekonomis masyarakat yang berpendapatan rendah (misalnya menolak hak negara untuk, secara adil, menetapkan batas-batas hak milik pribadi dlsb.) liberalisme merupakan sebuah ideologi. Ia tidak hanya membela kebebasan semua pihak, melainkan secara terselubung, dengan memutlakkan kebebasan, menguntungkan mereka yang secara politis, sosial, ekonomis dan budaya kuat kedudukannya dalam masyarakat (karena di mana semua bebas bergerak, yang kuat menghasilkan keuntungan paling besar).
Begitu pula Konservatisme. Konservatisme adalah sikap yang skeptis terhadap perubahan, yang menghargai nilai-nilai tradisional dan hubungan-hubungan sosial yang tumbuh dalam sejarah. Sejauh hanya itu, konservatisme belum mesti ideologis. Akan tetapi apabila konservatisme atas nama hormat terhadap tradisi menolak segala reform dan perubahan, juga yang berdasarkan keadilan dan demi perbaikan nasib masyarakat banyak, dia melayani kepentingan kelas-kelas yang berada dalam kedudukan menguntungkan, misalnya kelas feodal, atau borjuasi tradisional, dan dengan demikian menjadi ideologis.
Kita dapat merangkum bahwa ideologi tertutup bersifat dogmatis eksklusif, intoleran dan totaliter, serta dapat dipergunakan untuk melegitimasikan kekuasaan sebuah elite ideologis. Cacat moral terbesar ideologi dalam arti yang sesungguhnya adalah bahwa dia tidak menghargai suara hati dan tidak bersedia untuk membawahkan tuntutan-tuntutannya pada prinsip-prinsip moral.
2. Ideologi terbuka
Belanda, Italia, Republik Federasi Jerman, dan cukup banyak negara "demokrasi Barat” lainnya mendasarkan penyelenggaraan kehidupan masyarakat pada nilai-nilai dan cita-cita tertentu tentang martabat manusia serta pada sedaftar hak-hak asasi manusia (yang termuat dalam undang-undang dasar negara-negara itu).
Cita-cita etika politik semacam itu bersifat terbuka dalam arti bahwa mereka mengizinkan pelbagai pengejawantahan. Cita-cita itu menjamin kebebasan masyarakat untuk menentukan kehidupannya sendiri, kebebasan beragama dan berpandangan politik. Dalam bahasa logika, cita-cita itu bersifat limitatif dan bekerja melalui falsifikasi (artinya: menetapkan batas-batas kebebasan: asal tetap dalam batas-batas itu, misalnya selama tidak melanggar hak-hak asasi orang lain dan taat pada hukum, orang bebas menentukan kehidupannya). Cita-cita itu tidak dibebankan dari luar kepada masyarakat, melainkan diangkat daripadanya, jadi berupa cita-cita masyarakat sendiri yang disepakati harus dibela. Maka motivasi untuk mengikuti cita-cita itu tidak perlu dipacu, apalagi dipaksakan, karena dengan sendirinya diminati oleh masyarakat. Cukuplah kalau sewaktu-waktu dipertegas kembali dan ditunjuk penerapannya pada pelbagai bidang kehidupan masyarakat.
Rumusan cita-cita semacam itu dalam sebuah "falsafah negara” dapat saja disebut "ideologi terbuka”. Ia terbuka karena hanya mengenai orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan norma-norma politik-sosial selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip moral dan cita-cita masyarakat lainnya. Cita-cita itu bersifat luwes. Operasionalisasinya (realisasinya dalam praktek kehidupan masyarakat) tidak dapat ditentukan secara apriori, melainkan masing-masing harus disepakati secara demokratis. Ideologi terbuka itu bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasikan kekuasaan sekelompok orang.
Dalam "ideologi terbuka” ini termasuk segala macam cita-cita yang memembela hak-hak asasi manusia, keadilan dan demokrasi, begitu pula hak sebuah bangsa untuk menentukan dirinya sendiri.
3. Ideologi implisit
Semua ideologi di atas memiliki satu ciri bersama: Mereka merupakan cita-cita dan nilai-nilai yang secara eksplisit dan verbal dirumuskan, dipercayai atau diperjuangkan. Secara historis ideologi-ideologi eksplisit itu baru muncul bersamaan dengan zaman modern yang ditandai oleh rasionalisme dan sekularisasi (Rupa-rupanya selama masyarakat memahami kehidupannya seluruhnya melalui kacamata agama, belum ada ruang di mana ideologi-ideologi dapat muncul).
Akan tetapi di zaman tradisional pun masyarakat memiliki keyakinan-keyakinan tentang hakikat realitas serta bagaimana manusia harus hidup di dalamnya. Meskipun keyakinan-keyakinan itu sering hanya implisit saja, jadi tidak dirumuskan dan tidak diajarkan, namun keyakinan-keyakinan itu meresapi seluruh gaya hidup, merasa, berpikir, bahkan beragama masyarakat (dan dapat digali melalui analisa sastra, tulisan religius dll. masyarakat itu). Cita-cita dan keyakinan-keyakinan tidak eksplisit itu sering ada segi ideologisnya, karena mendukung tatanan sosial yang ada, jadi memberikan legitimasi kepada kekuasaan sebuah kelas atau lapisan sosial atas kelas-kelas sosial lain. Begitu misalnya pandangan Jawa tentang mikrokosmos (jagad cilik) dan makrokosmos (jagad gedhe) memuat juga paham tentang raja sebagai sumber keselarasan dan kesejahteraan masyarakat dan dengan demikian melegitimasikan sistem kekuasaan monarki absolut. Oleh karena keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai dasar itu melegitimasikan sebuah struktur non-demokratis tertentu, mereka dapat juga disebut ideologi implisit. Maka Heilbroner mendefinisikan ideologi sebagai "the deeply and unselfconsciously held views of the dominant class in any social order” dan sebagai "systems of thought and belief by which dominant classes explain to themselves how their social system operates and what principles it exemplifies”.[7] Sejauh pandangan-pandangan yang tidak disadari secara eksplisit itu membenarkan struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat yang tidak adil, pandangan-pandangan itu ideologis dan dengan demikian dinilai negatif.
D. PANCASILA DAN AGAMA
Sesudah melihat beberapa cara mempergunakan kata ideologi dan beberapa macam ideologi, barangkali ada baiknya kalau kita bertanya: Apakah Pancasila merupakan sebuah ideologi?
Jawaban yang secara resmi diberikan adalah: Pancasila adalah ideologi terbuka. Harapan saya bahwa uraian di atas memperlihatkan bahwa jawaban ini memang tepat. Pancasila berwujud nilai-nilai dasar serta prinsip-prinsip kehidupan bersama masyarakat yang telah disepakati bukan sebagai teori dari luar yang dipropagandakan melankan sebagai perumusan nilai-nilai dan cita-cita yang memang hidup dalam masyarakat, dalam konteks ketekadan bersama bangsa Indonesia untuk membentuk negara kesatuan. Pancasila tidak memuat unsur-unsur totaliter apriori sama sekali, melainkan merupakan perumusan nilai-nilai masyarakat dalam konteks tantangan pembangunan bangsa dan negara.
Tetapi bagaimana hal agama? Apakah agama termasuk ideologi? Jawabannya tergantung dari apa yang kita maksud dengan ideologi. Bagi seorang positivis, agama dengan sendirinya termasuk ideologi. Begitu juga bagi mereka yang menganggap agama sebagai pemikiran palsu. Tetapi dua pandangan ini sendiri ideologis karena tidak ditentukan oleh ciri khas agama, melainkan oleh pandangan apriori tentang agama.
Apakah agama adalah ideologi dalam arti yang sepenuhnya, ideologi tertutup? Jawaban atas pertanyaan ini tergantung dari agama itu sendiri, atau, lebih tepat, dari bagaimana agama itu dipergunakan oleh manusia-manusia yang menganutnya. Agama yang menghormati suara hati dan kebebasan setiap orang, baik anggotanya maupun orang di luar agama itu, untuk menentukan dirinya sendiri, jadi yang semata-mata bekerja melalui daya rohaninya, tidak bersifat ideologis, tidak totaliter dan oleh karena itu tidak merupakan ideologi (dalam arti yang sesungguhnya dan sepenuhnya). Agama yang semata-mata menggunakan kekuatan rohani untuk mempengaruhi manusia tidak dapat dipergunakan sebagai legitimasi kekuasaan manusia atas manusia. Tetapi semakin agama mempergunakan tekanan, paksaan, bujukan, sarana-sarana material, politik dan kekerasan, agama menjadi ideologi dalam arti yang buruk, malah lebih buruk daripada ideologi-ideologi sekuler, karena mendasarkan pemerkosaan terhadap kebebasan manusia untuk selalu mengikuti suara hatinya pada claim Ilahi.
Apakah agama dapat dianggap ideologi terbuka? Jawaban ini pun tergantung dari paham orang yang bertanya. Saya sendiri akan menolak anggapan ini karena, pertama, saya tidak suka dengan istilah ideologi dalam arti apa pun dan oleh karena itu tidak rela menyebutkan agama sebagai ideologi (jadi: saya takut bahwa bagaimana pun juga nada buruk tidak dapat dilepaskan dari istilah ideologi). Kedua, karena agama memang lebih daripada sebuah sistem berpikir atau sistem nilai-nilai saja. Agama pertama-tama adalah sebuah kepercayaan yang diterima manusia dari Allah, bukan pikiran manusia tentang Allah. Jadi paling-paling dapat dikatakan bahwa agama sebagai implikasinya memuat nilai-nilai dan cita-cita yang berfungsi sebagai ideologi terbuka.
Jadi pertanyaan semula barangkali dapat dijawab begini: Hendaknya agama selalu setia pada hakikat rohaninya dan menolak segala godaan untuk menjadi ideologis karena, kalau begitu, ia mengkhianati dirinya sendiri.
E. IDEOLOGI DAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT
1. Pembangunan dan cita-cita masyarakat
Apakah pembangunan perlu dipacu dengan sebuah ideologi? Pertanyaan ini perlu dipresiskan. Ideologi macam apa yang dipertanyakan? Kiranya jelas bahwa setiap orang, begitu pula seluruh masyarakat hanya akan melibatkan diri dalam pembangunan apabila mempunyai motivasi untuk berbuat demikian. Maka sudah jelas bahwa pembangunan akan semakin berhasil semakin masyarakat melihat pembangunan sebagai realisasi nilai-nilai dan harapan-harapannya. Pembangunan akan semakin berhasil merangsang partisipasi aktif dan kreatif masyarakat, semakin pembangunan itu sesuai dengan cita-cita masyarakat. Maka jelaslah bahwa pembangunan perlu didasarkan pada nilai-nilai dan harapan-harapan yang hidup dalam masyarakat.
Tetapi biasanya pertanyaan di atas dimaksud dalam arti yang lebih spesifik: Apakah pembangunan perlu dipacu oleh sebuah ideologi dalam arti sesungguhnya, oleh sebuah ideologi yang tajam, yang di atas kita deskripsikan sebagai ideologi tertutup (beberapa tahun lalu di kalangan kaum cendekiawan kita dapat bertemu dengan pertanyaan ini dalam bentuk: Apakah Pancasila sudah cukup sebagai ideologi pembangunan?)?
2. Pembangunan berdasarkan ideologi yang keras
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita sekarang berada dalam posisi yang lebih menguntungkan daripada dua atau lima tahun yang lampau. Waktu itu sering ditunjuk pada Uni Soviet dan RRC, tetapi juga pada Nicaragua Sandinista dan beberapa negara di Afrika (misalnya Tanzania) yang semuanya mempergunakan ideologi dalam arti tertutup atau cenderung tertutup (Tanzania).
Sekarang negara-negara itu tidak lagi menjadi contoh, karena sebuah kenyataan yang sebenarnya menyedihkan: Pembangunan di semua negara itu — tentu dengan alasan spesifik nasional yang tidak presis sama — gagal, bahkan gagal hampir total. Tanzania dengan Sosialisme Ujamaa-nya tidak berhasil memecahkan masalah-masalahnya, sosialisme Birma menjadi simbol kekolotan dan kekejaman yang mempermiskin negara yang pernah makmur itu. Perekonomian Uni Soviet berada dalam krisis yang amat gawat dan mendasar. Sedangkan RRC sudah lama mencari jalan ke luar dari krisis ekonomi dengan mengizinkan kembalinya ekonomi pasar secara terbatas (Bahwa banyak negara berkembang semula memilih jalan ideologis, yang biasanya berarti sosialisme, dapat dimengerti: Pembangunan di negara-negara bekas jajahan memang memerlukan perencanaan dari atas dalam takaran besar, elite politik pribumi, dengan mengikuti pendapat para penjajah sebelumnya, berpendapat bahwa masyarakat luas belum memiliki mentalitas dan wawasan yang diperlukan untuk pembangunan, dan oleh karena itu harus, tentu demi ”kemajuannya” sendiri, dipacu dan seperlunya dipaksa dari atas: 30 tahun kemudian kelihatan bahwa pemacuan dan pemaksaan masyarakat oleh elitenya sendiri saja tidak dapat berhasil, a.l. karena secara implisit berdasarkan sikap tidak hormat terhadap martabat masyarakat).
Saya tidak dapat memasuki contoh-contoh itu lebih lanjut. Faktor yang mempersatukan negara-negara itu adalah adanya ideologi negara yang keras, yang tertutup (Sosialisme Ujamaa Tanzania adalah ideologi negara cukup lunak, tetapi otoriter). Sedangkan negara-negara yang agak berhasil adalah negara-negara Barat yang semua tidak berideologi keras, serta negara-negara Asia Timur (Korea dll.) yang otoriter tetapi tanpa ideologi negara yang signifikan. India pun relatif berhasil, tanpa sebuah ideologi keras.
Alasan mengasa ideologi tertutup justru counter productive terhadap pembangunan sebetulnya tidak sulit dicari. Pembangunan yang ideologis selalu merupakan pembangunan eliter dan dari atas, asyakah elite itu elite teknokratis, komunis, Sandinis atau lain-lain. Selalu sebuah pola pembangunan dipaksakan dari luar kepada masyarakat. Ideologi tertutup adalah sarana legitimasi kekuasaan eliter. Ia bisa dipakai untuk mengancam masyarakat, tetapi justru tidak untuk merangsang partisisasi yang bersemangat dan sukarela. Jadi ia mematikan semangat masyarakat. Masyarakat semata-mata diperlakukan sebagai bahan atau sarana dengannya elite ideologis merealisasikan tujuan-tujuannya. Bahwa tujuan-tujuan itu di-klaim demi masyarakat sendiri, atau demi proletariat, atau demi orang kecil, hanyalah omongan belaka. Masyarakat pada hakikatnya selalu merasa disuruh bekerja paksa, disuruh berkurban, disuruh taat, pokoknya selalu disuruh saja oleh mereka yang di atas, misalnya oleh partai komunis. Pembangunan itu pembangunan berdasarkan rasa takut. Pembangunan semacam itu tidak dapat mengembangkan dinamika masyarakat sendiri. Hasil pembangunan ideologis itu akhirnya hanya dinikmati oleh elite yang berkuasa.
Oleh karena itu, kiranya pertanyaan di atas harus dijawab, bahwa pembangunan berdasarkan ideologi tertutup merupakan sebuah ilusi yang berbahaya dan bertentangan dengan harkat masyarakat. Pembangunan berdasarkan sebuah ideologi (tertutup) perlu ditolak. Kalau toh dicoba, maka pada permulaan, selama intimidasi oleh elite ideologis masih efektif, akan ada hasilnya (seperti di Uni Soviet di bawah Stalin), tetapi semangat membangun masyarakat sendiri tidak dapat dirangsang dengan cara itu.
3. Pembangunan dan ideologi terbuka
Lain hal pembangunan berdasarkan ideologi terbuka. Ideologi terbuka dibedakan dari ideologi keras atau tertutup karena ia bukan sistem pikiran sebuah elite yang dari luar dipaksakan pada masyarakat, melainkan terdiri dari nilai-nilai dan harapan-harapan masyarakat sendiri. Nilai-nilai dan harapan-harapan itu dirumuskan secara eksplisit, misalnya sebagai pendahuluan undang-undang dasar negara, dan dengan demikian merupakan acuan resmi pembangunan.
Ideologi terbuka semacam itu mendukung pembangunan. Dalam dua arti. Yang pertama sudah saya jelaskan sub nr. 1 di atas: Pembangunan mesti makin berhasil makin dirasakan oleh masyarakat sebagai sarana perealisasian cita-cita dan harapan-harapannya. Jadi ideologi terbuka tidak meletakkan sesuatu dari luar kepada masyarakat, melainkan memobilisasikan motivasi yang sudah ada di dalamnya.
Kedua, ideologi terbuka mengungkapkan nilai-nilai masyarakat secara eksplisit. Oleh karena itu, dia dapat berfungsi sebagai korektif dan pacuan pembangunan. Ideologi terbuka tidak menetapkan sasaran-sasaran dan strategi pembangunan operasional, melainkan tujuannya dalam bentuk nilai-nilai. Maka ia berfungsi sebagai acuan kritis terhadap penetapan sasaran-sasaran, strategi dan sarana pembangunan agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur masyarakat.
Penutup
Sebagai akhir renungan tentang ideologi dan pembangunan ini saya ingin kembali ke negara kita. Pembangunan di negara kita berlandaskan Pancasila. Pancasila bukan ideologi tertutup, melainkan terbuka. Ia merupakan perumusan nilai-nilai dan cita-cita masyarakat Indonesia dalam dimensi politik. Justru sebagai itu Pancasila sangat efektif sebagai landasan pembangunan. Pembangunan yang berdasarkan Pancasila di satu pihak dapat memobilisasikan motivasi yang secara potensial ada dalam masyarakat, di lain pihak akan menolak segala cara yang tidak sesuai dengan kepribadian dan cita-cita bangsa Indonesia tentang kemanusiaan universal.
Dan itu berarti bahwa kita, bangsa Indonesia, tidak memerlukan sebuah ideologi pembangunan tambahan lagi. Ideologi pembangunan tambahan hanya akan memecah-belahkan bangsa, akan membawa pemerkosaan, pemaksaan dan totalitarisme, serta akan memantapkan kembali sebuah sistem kekuasaan eliter. Menurut hemat saya kita boleh yakin bahwa Pancasila merupakan syarat bahwa pembangunan dapat disetujui oleh seluruh bangsa dan bahkan mampu untuk merangsang partisipasinya.
____________
Catatan kaki:
1. Bagian I sampai IV karangan ini saya bawa pada tanggal 18 Juli 1991 dalam Program Penyegaran Ilmu-ilmu Sosial Kontemporer yang diselenggarakan oleh Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.
2. Uraian bagian ini mengikuti karangan H. Schneider "Ideologi” dalam A. Klose, W. Mantl, V. Zsifkovits (peny.]: Katholisches Soziallexikon, Innsbruck/Wien/Munchen/Graz/Wien/Koln: Tyrolia-Styria 1988, kolom 1139-1146.
3. Lih. Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, Yogyakarta: Kanisius 1991: buku ini adalah terjemahan terbitan karya terpenting Mannheim dalam bahasa Inggris Ideology and Utopia. An Introduction to the Sociology of Knowledge, London: Routledge&Kegan Paul 1979 yang sendiri terjemahan dua tulisan asli Mannheim tahun 1929 dan 1931.
4. Penolakan dogma positivisme itu adalah isi utama karya paling fundamental Karl R. Popper: The Logic of Scientific Discovery (a.l. London 1972) (tulisan ini terjemahan dari buku asli dalam bahasa Jerman: Logik der Forschung, 1934): tentang pikiran Karl Popper lihat: Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R. Popper, Jakarta: Gramedia 1989.
5. Hal mana juga berarti bahwa ia tidak dapat bersifat ilmiah, karena ciri khas sifat ilmiah adalah bahwa ia terus menerus harus disesuaikan dengan perkembangan pengertian para ilmuwan. Itulah yang menjadi hakikat "perselisihan revisionisme” pada akhir abad yang lalu antar E. Bernstein yang menuntut agar Marxisme diperlakukan sebagai teori ilmiah dar oleh karena itu perlu disesuaikan (direvisi) dengan perubahan situasi, dan Karl Kautsky yang menegaskan bahwa Marxisme itu memuat kebenaran yang tidak dapat direvisi.
6. Segi ideologis kapitalisme bukan tekanan pada kebebasan dalam berekonomi, melainkan penolakan terhadap perlindungan dan pengimbangan kedudukan terhadap pihak yang lemah ekonominya dalam masyarakat, dengan demikian kapitalisme melegitimasikan struktur kekuasaan yang berdasarkan modal.
7. Robert L. Heilbroner, The Nature and Logic of Capitalism, New York/London 1985, hlm. 107.
__________________
Sumber tulisan:
Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. 227-242.
0 komentar:
Posting Komentar