![]() |
Referensi: Harun Nasution tentang aliran-aliran dalam Islam. Sebuah kajian dalam Ilmu Kalam |
Harun Nasution menulis tentang munculnya paham Ahlussunnah wal Jama'ah sebagai berikut:
Ahlussunnah wal Jama'ah dalam teologi Islam adalah kaum Asy'ariah dan kaum maturidi. Abu al-Hasan 'Ali Ibn Isma'il al-Asy'ari lahir di Basrah tahun 873 M dan wafat di Bagdad pada 935 M. Pada mulanya ia adalah murid al-Jubba'i dan salah seorang terkemuka dalam golongan Mu'tazilah sehingga menurut al-Husain Ibn Muhammad al-'Askari, al-Jubba'i berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya.[9]
Tetapi oleh sebab-sebab yang tidak begitu jelas,[10] al-Asy'ari, sungguh pun telah puluhan tahun menganut paham Mu'tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu'tazilah. Sebab yang biasa disebut, yang berasal dari al-Subki dan Ibn 'Asakir, ialah bahwa pada suatu malam al-Asy'ari bermimpi, dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW, mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadis-lah yang benar, dan mazhab Mu'tazilah salah. Sebab lain ialah karena al-Asy'ari berdebat dengan gurunya al-Jubba'i dan dalam perdebatan itu guru tak dapat menjawab tantangan murid.
Salah satu perdebatan itu, menurut al-Subki, sebagai berikut:
Al-Asy'ari: Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut: Mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat?
al-Jubba'i: Yang mukmin mendapat tingkat baik dalam surga, yang kafir masuk neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
Al-Asy'ari: Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surga, mungkinkah itu?
al-Jubba'i: Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang Serupa itu.
Al-Asy'ari: Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: Itu bukanlah salahku. Jika sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu.
al-Jubba'i: Allah akan menjawab: "Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu Aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggung jawab.”
Al-Asy'ari: Sekiranya yang kafir mengatakan: "Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya Engkau tidak jaga kepentinganku?"
Di sini al-Jubba'i terpaksa diam.[11]
Terlepas dari soal sesuai atau tidak sesuainya uraian-uraian al-Subki di atas dengan fakta sejarah, jelas kelihatan bahwa al-Asy'ari sedang dalam keadaan ragu-ragu dan tidak merasa puas lagi dengan aliran Mu'tazilah yang dianutnya selama ini. Kesimpulan ini diperkuat oleh riwayat yang mengatakan bahwa al-Asy'ari mengasingkan diri di rumah selama lima belas hari untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu'tazilah. Sesudah itu ia keluar rumah, pergi ke mesjid, naik mirnbar dan menyatakan:
”Hadirin sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk berpikir tentang keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang diberikan masing-masing golongan. Dalil-dalil yang dimajukan, dalam penelitian saya, sama kuatnya. Oleh karena itu, saya meminta petunjuk dari Allah dan atas petunjuk-Nya saya sekarang meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan-keyakinan baru yang saya tulis dalam buku-buku ini. Keyakinan-keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju ini."[12]
____________
Catatan kaki:
9. Dikutip dalam Zuhr al-Islam, 65.
10. Alasan-alasan yang biasa dikemukakan tidak memuaskan, baik bagi pengarang-pengarang Islam maupun pengarang-pengarang Barat. Bagi Ahmad Amin, uraian yang diberikan tidak meyakinkan (Zuhr al-Islam IV/65). Ahmad Mahmud Subhi mencatat bahwa alasan-alasan yang ada, dimajukan oleh pengikut-pengikut al-Asy'ari dan oleh karena itu orang harus berhati-hati dalam menerimanya (Fi 'Ilm al-Kalam, 91). 'Ali Mustafa al-Ghurabi berpendapat: Keadaan al-Asy'ari 40 tahun menjadi penganut Mu'tazilah membuat kita tidak mudah percaya bahwa al-Asy'ari meninggalkan paham Mu'tazilah hanya karena dalam perdebatan, "al-Jubba'i tak dapat memberikan jawaban-jawaban yang memuaskan (Tarikh al-Firaq, 223)
11. Terjemahan bebas dari teks yang dikutip dalam Fi 'Ilm al-Kalam. 182.
12. Terjemahan bebas dari teks yang dikutip dalam Zuhr al-Islam, 67.
_______
Sumber: Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 65-67.
0 komentar:
Posting Komentar