![]() |
Al. Andang L. Binawan |
Oleh: Al. Andang L. Binawan
Salus populi suprema est lex (Cicero, de Legibus, 53 52 SM)
Kalimat Latin di atas, yang biasanya dilekatkan pada mulut Marcus Tullius Cicero atau yang lebih dikenal dengan Cicero, seorang negarawan dan orator Romawi kuno (3 Januari 106 SM —7 Desember 43 SM) dalam bahasa Indonesia berbunyi 'kemaslahatan masyarakat adalah hukum yang tertinggi'. Tampak ada pengandaian kaitan erat antara hukum dan masyarakat. Dalam konteks pembicaraan buku ini, tampak pula kaitannya dengan ruang publik, karena masyarakat adalah 'isi' konkret dari ruang publik itu.
Untuk selanjutnya, tulisan dalam bagian ini pun berdasar pada sebuah gagasan sederhana bahwa ruang publik adalah sebuah ruang (baik dalam arti spasial, temporal maupun virtual) perjumpaan (dengan kompleksitas interaksinya) antar pribadi manusia dengan kebebasannya, dengan keunikannya, dan juga dengan segala dimensi nya. Ada perjumpaan silaturahim atau perkawanan. Ada perjumpaan politis. Ada perjumpaan ekonomis. Ada pula perjumpaan kultural. Memang, lalu bisa menjadi pertanyaan apakah sebuah rumah pribadi bisa disebut ruang publik karena di dalamnya terjadi juga pertemuan antar pribadi. Dalam pemahaman umum, rumah pribadi adalah ruang privat. Dalam sebuah rumah pribadi, hanya ada perjumpaan terbatas, baik orangnya maupun dimensinya. Hanya orang tertentu yang bisa memasukinya. Selain itu, diandaikan bahwa perjumpaan yang terjadi di dalamnya adalah perjumpaan silaturahim, perjumpaan personal, bukan ekonomis, apalagi politis.
Menentukan batas ruang publik dengan ruang privat ini memang tidak mudah. Perlu ada garis batas yang cukup tegas, supaya tidak ada tumpang tindih dan kekacauan. Mengingat bahwa kepentingan menarik pembedaan ini berlangsung untuk banyak sekali kasus dan juga untuk waktu yang panjang, yang diperlukan bukan hanya perjanjian sementara antara pihak-pihak terkait melainkan sebuah hukum yang bersifat tetap dan berlaku umum.
Hukum memang menjadi sebuah keniscayaan bagi, dan dalam, sebuah ruang publik; bukan hanya untuk membedakannya dari ruang privat, melainkan juga untuk mengelola perjumpaan antar pribadi itu. Hanya, perlu diingat bahwa dalam perkembangannya, pribadi yang dimaksud bukan hanya pribadi perseorangan melainkan juga pribadi yuridis (badan hukum) serta elemen-elemen sosial lainnya. Fokus perhatian hukum adalah individu atau pribadi manusia yang berjumpa di ruang publik itu. Keniscayaan hukum di ruang publik bertolak dari sini. Karena itu, tulisan singkat ini akan mencoba mendalami keniscayaan itu dari sisi sosio-historisnya dan kemudian dari sisi kemanusiaannya. Kemudian, dicoba juga untuk memahami keniscayaan itu di ruang publik baru yang makin berkembang.
Keniscayaan Sosio-Historis
Dalam konteks perbincangan tentang ruang publik, hukum lalu bisa diartikan sebagai sebuah sarana mengelola perjumpaan antar pribadi tadi, agar masing-masing pribadi tetap bisa hidup bersama tanpa saling mengganggu. Tetapi, tidak hanya itu, hukum pun diharapkan bisa mendorong agar perjumpaan itu bisa lebih bermakna bagi hidup bersama, yang pada gilirannya juga mendukung hidup perseorangan. Bisa dikatakan, hukum adalah batas dan sekaligus kerangka dasar dari sebuah ruang publik. Dengan demikian hukum bisa sekaligus mencerminkan suatu 'fakta' dan juga cita-cita.
Dalam sejarah panjang manusia pun keniscayaan ini tampak nyata. Hukum menjadi salah satu pokok penting kenampakan perkembangan budaya manusia, sementara budaya terkait erat dengan pengelolaan ruang publik. Dewasa ini dikenali setidaknya ada tiga buah budaya manusia di ruang publik yang berfungsi sebagai 'penghubung' antar pribadi dalam ruang publik itu, yaitu bahasa, hukum, dan uang. Bisa dikatakan, bahasa menjadi penghubung antar pribadi di ruang publik yang bersifat kultural. Hukum menjadi penghubung di ruang publik politik, dan sementara itu uang menjadi penghubung di ruang publik ekonomis.
Jika ditelusur, meski tidak ada yang tahu kapan persisnya, hukum baru lahir setelah bahasa. Diandaikan bahwa bahasa, seperti yang kita pahami sekarang, lahir bersama lahirnya homo sapiens, meski dalam arti tertentu homo erectus pun mempunyai 'bahasa'-nya sendiri.[1] Tentu, saat itu juga benih hukum sudah ada, tetapi hukum dalam pengertian kita sekarang kemungkinan besar baru lahir sesudahnya, ketika hidup bersama perlu ditata secara lebih sistematis. Menurut catatan, Codex Ur Nammu (circa tahun 2050 SM) dan diikuti juga oleh Codex Hammurabi (circa 1790 SM) adalah hukum tertulis tertua yang relatif utuh dan bisa dibaca. Pun, bangsa Yunani kuno jelas sudah mengenal hukum. Refleksi tentang politik dan hukum dari para filsuf mereka, seperti Socrates, Plato dan Aristoteles, dan kemudian dalam masyarakat Romawi kuno dikenal Cicero (106-43 SM) dengan karya karyanya,[2] jelas menampakkan hal ini. Sementara itu, uang, sebagai 'bahasa' ruang ekonomis, baru mulai dikenal sesudahnya.
Hukum, dengan segala variannya, berkembang seiring dengan perkembangan kesadaran individu yang saling berjumpa di ruang publik itu. Secara singkat bisa dikatakan bahwa kesadaran individu, terutama tentang harkat dan martabatnya—yang tentu juga tidak muncul ex nihillo—mempengaruhi dinamika perjumpaan di ruang publik, yang pada gilirannya mempengaruhi pemahaman dan bentuk hukum. Tanpa perlu masuk lebih jauh tentang sejarah hukum, cukup dikatakan bahwa setiap bentuk masyarakat, dengan ruang publiknya, niscaya membutuhkan sarana bantu bernama hukum. Sejauh ini, dalam literatur anthropologi belum ditemukan masyarakat yang tanpa hukum atau aturan.
Dalam sejarah manusia, setidaknya ada tiga perkembangan besar tentang pemahaman hukum yang yang dipengaruhi kesadaran diri manusia itu. Perkembangan pertama, yang lebih kurang terjadi sampai abad pertengahan Masehi, terjadi dalam masyarakat tradisional yang relatif homogen. Di sini, harkat dan martabat masing masing individu terkait erat dengan kedudukannya dalam masyarakat yang hierarkis. Dalam banyak perkara, hukum mengatur, dan bahkan melanggengkan, susunan hierarki ini.
Dalam ruang publik yang relatif homogen dan belum begitu kompleks, serta sekaligus hierarkis ini, hukum menjadi keniscayaan karena sudah diterima secara turun temurun. Hukum diterima karena 'kesucian'-nya dan kesucian ini dikaitkan pada yang ilahi. Bobot sifat keilahian hukum pun masih tampak kala hukum kodrat[4] dipahami sebagai dasar hukum masyarakat. Kaitan antara hukum dan moral sangat kental, nyaris berimpit, dan karena itu dalam banyak perkara hukum bersifar deduktif. Ungkapan Horatius, ”Leges sine moribus vanae” (kutipan dari kumpulan puisi Carmina-nya, ditulis kira kira tahun 23 SM, yang lebih-kurang berarti "Hukum tanpa moral adalah kesia-siaan.”) bisa mengungkapkan pandangan itu. Bahkan, pada masa sesudahnya, hal yang mirip diungkapkan oleh St. Agustinus (354 430 M), dan kemudian diulang oleh St. Thomas Aguinas (1225-1274 M), yang mengatakan "Lex iniustia non est lex.” yang lebih kurang berarti, "Hukum yang tidak adil bukanlah hukum.”
Perkembangan kedua terjadi pada masa modern, yang diawali dengan revolusi industri pada abad ke-18. Era ini dimulai dengan penemuan mesin cetak oleh Johan Gutenberg (lengkapnya Johannes Gensfleisch zur Laden zum Gutenberg, 1398 1468) pada tahun 1439. Perkembangan ini kemudian diikuti oleh penemuan mesin uap oleh James Watt yang kemudian dipakai sebagai penggerak lokomotif (1784), yang biasa disebut sebagai awal revolusi industri.
Perkembangan teknologi itu bisa dikatakan sebagai awal masa modern karena mendorong kesadaran baru tentang harkat dan martabat pribadi vis a vis masyarakat. Dengan adanya mesin cetak, gagasan gagasan bisa disebar lebih jauh. Di lain pihak, orang juga lebih mudah mendapatkannya. Buku-buku makin masuk ke ruang pribadi. Dengan ini, secara perlahan, orang mulai mengambil jarak dari pandangan pandangan tradisional, termasuk hukum. Orang makin kritis, dan mulai mempertanyakan keniscayaan tradisional. Otoritas penafsiran suatu tradisi mulai 'digerogoti'. Kemudian, adanya alat transportasi yang lebih maju, batas batas teritorialitas hukum pun mulai didobrak. Manusia mulai bisa mengambil jarak secara geografis dari masyarakatnya.
Pun, berkat pengaruh perkembangan teknologi tadi, pada masa ini kesadaran harkat dan martabat masing-masing pribadi berubah. Bentuk relasinya dengan sesama dalam masyarakat juga lalu berubah, sehingga hukum yang berlaku juga berubah. Muncul kesadaran kesetaraan pada masing-masing pribadi pada zaman modern ini. Dalam perkembangannya, disadari bahwa manusia adalah makhluk rasional dengan kebebasannya masing-masing. Masing-masing pun menyadari otonominya. Pun, yang satu setara dengan yang lain. Perkembangan paham tentang harkat-martabat pribadi tercermin paling jelas dalam slogan liberte, egalite et fraternite dari Revolusi Perancis.
Ruang publik kemudian tampak sebagai ruang bersama, ruang perjumpaan pribadi-pribadi yang setara. Masyarakat hierarkis mulai didekonstruksi. Hukum adalah hasil dari negosiasi dan kesepakatan antar pribadi. Pemahaman hukum sebagai kontrak sosial jelas sekali pada banyak pemikir politik, lebih-lebih Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704) dan J.J. Rousseau (1712-1778). Ketiganya sangat eksplisit menyebutkan perlunya kontrak sosial dalam masyarakat. Diandaikan, keniscayaan yang bersifat ilahi mulai ditinggalkan. Paham ini, terutama karena menekankan otonomi masing-masing pribadi, selanjutnya berujung pada konsep minimal state atau negara sebagai (sekedar) penjaga malam (nightwatch state). Tampak, kesucian hukum tidak lagi digantungkan di atas langit, pada nilai moral, melainkan didaratkan di bumi, karena bertumpu pada kesepakatan itu. Kaitan hukum dengan moral menjadi lebih longgar, karena diyakini tidak ada moralitas tunggal. Terkait dengan hal itu, berkembang pula pada abad ke-18-19 paham konstitusionalisme, yang ada dalam bingkai paham nation-state.
Dalam ranah filsafat hukum, yang kemudian berkembang pada masa ini adalah paham positivisme, yang terutama dipelopori oleh John Austin (1790—1859)[7] dan kemudian dilanjutkan, salah satunya, oleh Herbert Lionel Adolphus Hart (H.L.A. Hart 1907-1992).[8]
Pokok penting dari gagasan mereka adalah bahwa hukum, terutama demi kepastian, harus dipisahkan dari moralitas. Hukum menjadi hukum karena 'mekanisme' yang ada dalam dirinya.
Pengandaian tentang ruang publik yang berdasar pada pengandaian kesetaraan individu mulai 'dicurigai' oleh para sosiolog, terutama oleh Karl Marx, dengan menerbitkan das Kapital pada tahun 1867. Era perkembangan paham hukum yang ketiga mulai muncul. Pencermatan analisis sosiologis Marx itu mendorong orang melihat lebih jeli dinamika yang terjadi di ruang publik dan hukumnya. Kesetaraan yang selama ini diandaikan ternyata hanya mitos. Keridakseimbangan kepemilikan modal dan sumber-daya lain, termasuk teknologi, tidak memungkinkan adanya perjumpaan yang setara.
Dalam kacamata Marxian, tidak ada ruang publik netral. Tampak di dalamnya l'exploitation de I'homme par I'homme, yang kuat menindas yang lemah, kaum borjuis menindas kaum proletar. Kesetaraan adalah mitos, dan sebagian justru dimungkinkan oleh hukum. Memang, dalam ketidakkesetaraan itu negosiasi pembuatan hukum dan penerapannya juga tidak seimbang. Meski begitu, hukum tetap dipandang penting, tetapi harus dikritisi supaya tidak sekedar menjadi pagar dan alat mereka yang lebih kuat. Dalam alur pandangan ini, teori hukum kritis (critical legal studies), seperti yang dilakukan Roberto Mangabeira Unger (1947- ),[9] muncul ke permukaan. Paham ini meletakkan kesucian hukum bukan semata-mata pada kesepakatan, melainkan dalam kesejahteraan umum, atau setidaknya kehidupan bersama, yang perlu dijamin. Paradigma itulah yang perlu dipakai untuk menafsirkan hukum.
Yang mau digaris bawahi dari paparan di atas adalah bahwa perubahan kesadaran tentang harkat martabat manusia mempengaruhi dinamika perjumpaan atau interaksi antar pribadi di ruang publik, yang pada gilirannya mempengaruhi paham dan bentuk hukum. Meski demikian, sebenarnya hal yang sebaliknya juga terjadi, yaitu bahwa hukum mempengaruhi perkembangan dinamika ruang-publik dan pada gilirannya juga mempengaruhi kesadaran tentang harkat-martabat pribadi manusia. Paparan Harold Joseph Berman dalam bukunya Law and Revolution: The Formation of the Western Legal Tradition (1983) bisa memberi gambaran tentang peran hukum dalam perkembangan masyarakat di Eropa, terutama mulai dari abad pertengahan sampai abad modern. Dengan itu pun digaris-bawahi peran penting hukum, bukan hanya bagi masing-masing orang dan pengaturan ruang publik, melainkan juga bagi perkembangan atau kemajuan masyarakat itu.
Keniscayaan Manusiawi
Karena hukum adalah salah satu hasil dari kebudayaan manusia, keniscayaan keberadaannya tentu hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan hakikat manusia itu sendiri. Setidaknya ada tiga situasi manusia yang mendasari keniscayaan hukum tadi. Yang pertama adalah manusia dalam relasinya dengan dirinya sendiri. Yang kedua adalah relasinya dengan manusia lain. Sementara itu yang ketiga adalah manusia dalam relasinya dengan dunianya.
Situasi pertama dilandasi pemahaman bahwa manusia adalah makhluk yang 'terlempar ke dunia'.[10] Karena itu, manusia adalah makhluk yang tak cukup diri. Berbeda dengan binatang yang lahir dalam keadaan relatif sempurna, manusia dilahirkan dalam keadaan lemah. Yang ada pada manusia pada saat lahir baru berupa potensi, jadi perlu dikembangkan. Pembelajaran termasuk di dalamnya. Pengembangan potensi itu menjadi mutlak bagi keberadaannya di dunia. Tanpa pengembangan, manusia mati. Dalam perkembangannya kemudian, dorongan untuk mengatasi kekurangan alamiah inilah yang menumbuhkan kebudayaan, termasuk teknologi. Di sini, kebebasan menjadi syaratnya. Kebebasan adalah sebuah ruang untuk berkembang.
Demi survival-nya itu pula, manusia mempunyai instink memperhatikan kepentingannya sendiri. Di lain pihak, ternyata manusia juga mempunyai dorongan dasar untuk berjumpa dengan orang lain. Istilah zoon politikon (Aristoteles) terasa memadatkan pandangan tentang hal ini. Banyak filsuf lain juga merefleksikannya, tentu dengan tekanan yang berbeda beda. [11] Dari berbagai pandangan itu, terutama terkait dengan paradoks self centrism tadi, bisa dikatakan bahwa manusia terdorong berjumpa dengan sesamanya pertama-tama bukan demi relasi itu sendiri, atau demi sesamanya, melainkan demi pertumbuhan kelengkapan dirinya. Hal ini mendasari situasi kedua di atas.
Paradoks lain adalah bahwa perjumpaan dengan orang lain ternyata di satu sisi membatasi kebebasannya, dan di sisi lain menimbulkan ketidakpastian, atau bahkan kekhawatiran.[12] Ketidakbebasan terjadi karena ada keterbatasan ruang dan waktu. Kehadiran orang lain, apalagi kalau makin banyak, membuat ruang, dan sumber daya, bahkan juga waktu, harus dibagi-bagi. Syarat untuk pertumbuhan diri mulai berkurang. Situasi ketiga terjadi, dan ini pulalah yang menimbulkan ketidakpastian.
Selain itu, ketidakpastian juga muncul dari uniknya setiap pribadi manusia dengan segala kepentingannya yang dalam banyak hal tidak bisa diprediksi. Pun, kekhawatiran akan makin besar ketika orang lain bukan sekedar mengurangi kebebasan tetapi berpotensi merampas kebebasan yang ada. Singkat kata, dalam situasi makin banyak orang, 'kebebasan untuk' (freedom for) menjadi mengecil. Kemudian, dalam situasi orang tidak setara, terutama bagi yang kurang kuat, 'kebebasan dari” (freedom from) menjadi tidak terjamin. Bukan hanya ketidakpastian yang terjadi, melainkan juga kekhawatiran dan keterancaman.
Ancaman bagi seseorang itu dialami terutama ketika ada ketidakseimbangan kekuatan, baik kekuatan fisik, moral, politis, maupun ekonomis. Dari refleksi panjang, tampak bahwa setiap kekuatan adalah kekuasaan, dan setiap kekuasaan cenderung disalahgunakan untuk kepentingan si pemilik kekuatan atau pemegang kekuasaan. Sampai hari ini tidak ada yang menggugurkan tesis Lord Acton bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely. Karena perbedaan kekuatan dan kekuasaan adalah nyata dan tak bisa dinafikan dari ruang publik, hukum lalu berperan untuk mengelolanya. Hukum dijadikan batas agar penyalahgunaan diminimalkan. Hukum pun dipandang sebagai panduan agar kekuasaan dijalankan sesuai tujuan.
Dalam paham dasar tentang manusia dan lingkungannya itu, keniscayaan hukum bagi manusia bisa dipahami. Hukum menjadi struktur eksternal yang melengkapi kekurangan internal manusia, terutama ketika manusia itu mau tak mau masuk dalam ruang publik dan berjumpa dengan sesamanya. Kebanyakan manusia tidak serta-merta, atau secara instinktual, memperhatikan kepentingan orang lain. Hukum lalu menjadi alat bantu eksternal untuk mengatasi kelemahan ini karena bisa memaksa orang untuk memperhatikan orang lain. Pun, kepastian atau prediktabilitas yang dibawa hukum bisa membantu manusia mengatasi ketidakpastian dan kecemasan berhadapan dengan keunikan dan ancaman orang lain. Pendeknya, hukum adalah bagian hakiki dari hidup manusia yang bisa membantunya mengelola kepentingan-kepentingan dan kebebasannya vis a vis orang lain. Tanpa hukum, tak terbayangkan bagaimana manusia bisa hidup. Persis di sinilah letak kesucian hukum bagi manusia.
Tegangan Sosiologis
Leges humanae nascuntur, vivunt, et moriuntur. Hukum itu lahir, hidup dan mati. Begitu pemeo Latin, mengatakan. Tidak diketahui, memang, dari mana sumbernya, tetapi karena mengenal konsep 'matinya hukum', diperkirakan pemeo ini paling tua berasal dari abad pertengahan. Pengandaiannya, di masa itulah mulai muncul paham pembedaan legislator dan eksekutor, meski belum setajam perbedaan di abad modern. Lahir, hidup dan matinya hukum tergantung pada mereka. Pandangan ini tentu menggantikan pandangan lama bahwa hukum itu bersifat ilahi, sehingga sifatnya suci, dan karena itu abadi.
Meski tidak terlalu jelas asalnya, pemeo itu mengemas sebuah kebijaksanaan untuk zaman modern. Pemeo itu bisa ditafsirkan bahwa selayaknya, berdasar keniscayaannya, hukum perlu dijaga agar hidup. Itulah sebabnya ada pemerintah dan para pengadil, termasuk polisi. Memang, matinya hukum-hukum tertentu bersifat 'alamiah' juga, tetapi jika dibiarkan saja hukum juga mati. Lebih dari itu, supaya bisa hidup dan dihidupi dengan baik, hukum yang dilahirkan selayaknya juga hukum yang baik. Keniscayaan tidak serta-merta membuat hukum yang dilahirkan itu baik. Untuk melahirkan hukum yang baik di zaman ini perlu telaah mendalam terhadap pandangan tentang ruang publik. Keniscayaannya memang praktis tak diragukan lagi, tetapi untuk melahirkan hukum yang baik sekarang ini setidaknya dihadapkan pada dua tegangan besar. Yang pertama bersifat sosiologis, dan yang kedua bersifat filosofis.
Secara sosiologis, ruang publik dewasa ini sudah begitu kompleks dan wajahnya telah banyak berubah. Panjang ceritanya, tetapi, setidaknya ada tiga frase yang sering dipakai orang untuk melukiskan keadaan masyarakat (pasca) modern ini, yaitu low trust society, the world is flat dan runaway world. Frase pertama, yang biasanya dikaitkan dengan Francis Fukuyama,[13] secara singkat menggambarkan bagaimana kohesi sosial dalam masyarakat makin pudar. Sebabnya cukup jelas. Di satu sisi bisa tergambar makin otonomnya masing-masing pribadi atau kelompok. Di sisi lain tercermin pula kekhawatiran setiap pribadi atau kelompok terhadap ancaman dari pribadi atau kelompok lain. Termasuk di dalamnya adalah lemahnya saling-percaya antara pribadi atau kelompok dengan lembaga pemerintah. Kemudian, frase kedua, yang biasanya diacukan ke Thomas Friedman,[14] menggambarkan bagaimana kesetaraan di ruang publik, terlebih dalam dunia perdagangan atau bisnis, sangat dimungkinkan. Dengan kata lain, bisa pula ditafsirkan bahwa dewasa ini masyarakat tidak lagi bersifat hierarkis. Keduanya tentu terkait, karena selama ini hierarki (yang tradisional) mengandaikan trust.
Lepas dari optimisme yang termuat dari kedua frase pertama tadi, ada situasi sosiologis yang memang perlu dicermati untuk menghidupkan hukum. Situasi makin rapuhnya kesaling-percayaan (trust) dalam masyarakat justru memperkuat kemendesakan hukum. Hukum menjadi makin niscaya sebagai penghubung antar pribadi atau kelompok yang makin tidak, atau setidaknya sulit, terhubung. Di lain pihak, hukum membutuhkan hierarki karena membutuhkan otoritas untuk menjalankannya. Karena itu, perlu sandaran yang lebih kokoh dari hukum agar bisa hidup, tidak sekedar pada hierarki tradisional.[15]
Yang dimaksud dengan hierarki tradisional adalah hierarki yang bersifat kultural, termasuk keagamaan, dan juga politis. Meski secara teoretis dunia ini datar” (the world is flat), dalam kenyataan tetap saja ada hierarki, yang lebih ditopang oleh perbedaan kondisi ekonomi. Banyak perusahaan multi nasional yang secara finansial jauh lebih kuat dari sebuah negara. Hierarki ekonomis ini jelas mengancam, atau setidaknya menggugat, keberadaan hukum yang melulu disandarkan pada otoritas politis.
Tantangan lain dari hukum adalah kondisi sosial yang tercermin dari frase ketiga, runaway world. Frase yang biasa dikaitkan dengan Anthony Giddens[16] itu menggambarkan dunia yang tunggang langgang, masyarakat yang bergerak cepat. Salah satu konsekuensinya adalah perubahan yang juga cepat. Situasi ini tentu tidak menguntungkan untuk hukum yang membutuhkan stabilitas. Memang, biasa dikatakan bahwa lex semper reformanda, hukum selalu harus diperbarui, tetapi, demi kepastian, hukum tidak bisa diubah setiap saat atau dalam jangka waktu singkat. Mencari titik-tengah antara pembaharuan dan kepastian bukanlah perkara mudah. Ini adalah tantangan tersendiri.
Tegangan Filosofis
Secara filosofis, sudah disebut di atas, setidaknya ada dua kubu pandangan. Yang pertama biasanya dilekatkan pada kubu liberal dengan konsep hukum minimal-nya. Kubu kedua cenderung melihat hukum yang baik adalah hukum maksimal. Kubu kedua ini biasanya dilekatkan pada kaum sosialis.
Perbedaan kedua kubu sangat jelas. Kubu liberal melihat setiap pribadi manusia itu bebas, otonom, rasional dan karena itu setara. Tampak ada apresiasi yang sangat tinggi terhadap setiap pribadi, sehingga muncul pengandaian lain bahwa masing masing akan bisa mengatur dirinya. Tak perlu ada 'rekayasa' dari luar. Dalam arti tertentu, dengan meminjam istilah Adam Smith, akan ada invisible hand dalam ruang publik liberal ini. Begitulah lebih kurang optimisme kaum liberal. Sementara itu, kubu sosialis melihat bahwa masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Bisa dikatakan, masyarakat adalah entitas tersendiri, meski berperan besar terhadap pertumbuhan masing masing pribadi anggotanya. Selain itu, dipahami juga bahwa di tengah masyarakat ada berbagai perbedaan yang bisa mengancam baik kebersamaan itu maupun pribadi lain. Singkatnya, ada ketidaksetaraan. Dalam ungkapan lain, ada pesimisme terhadap relasi antar pribadi. Di sini, hukum lalu berfungsi untuk membentuk dan mengarahkan kebersamaan itu supaya juga sungguh bisa menjamin keberadaan dan kebaikan masing masing pribadi. Itulah yang dimaksud dengan hukum maksimal.
Selain hukum yang ada di negara-negara sosialis, salah satu contoh konsep yang dekat dengan paham hukum maksimal adalah konsep law as a tool of social engineering (hukum sebagai sarana rekayasa sosial) dari Roscoe Pound.[17] Dalam pandangan itu tampak ada pengandaian bahwa ruang publik tak bisa dibiarkan begitu saja. Hukum bukan sekedar sebagai pagar pembatas, melainkan juga sebagai pegangan atau panduan bersama, supaya perilaku masing masing pribadi atau kelompok yang saling berjumpa bisa sesuai dengan kepentingan bersama.
Kedua paham mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing masing. Tidak gampang dikompromikan. Bagi kubu sosialis, pandangan liberal tentang hukum menjadi terlalu minimal. Di situ, tampak ada memberi peluang besar bagi yang kuat untuk berkembang lebih kuat lagi. Sangat dikhawatirkan bahwa potensi dari yang lebih kuat menindas yang kurang kuat menjadi lebih besar. Penindasan sangat mungkin dilakukan dengan hukum. Dapat dibayangkan dengan relatif gampang bahwa ketidak-seimbangan bargaining position dalam negosiasi legislasi akan membuat hukum sekedar dijadikan pagar yang lebih menguntungkan pihak yang kuat vis a vis pihak yang lemah. Dalam ketidak-seimbangan itu pula tafsir dan penerapan hukum tidak mungkin netral.
Demikianpun, bagi kubu liberal, paham hukum maksimal dari kubu sosialis mengandung kelemahan besar. Dalam hukum maksimal, otoritas besar diberikan kepada negara, sementara para pelaku negara adalah juga manusia. Seiring dengan paham power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely, potensi penyalahgunaan wewenang itu akan sangat besar pula. Selain itu, bagi kaum liberal, wewenang yang terlalu besar jelas akan menciptakan hierarki dan mengingkari paham kesetaraan yang diyakini.
Kesucian 'Baru'
Di tengah tegangan itu, menjelang pertengahan abad lalu, positivisme hukum membawa korban. Paham ”Befehl ist Befehl,” atau perintah adalah perintah, pernah menjadi pembenaran bagi kaum Nazi yang dipimpin Adolf Hitler untuk membantai orang orang Yahudi. Dunia terhenyak, dan tersadar bahwa keniscayaan sosiologis hukum ternyata tidak mencukupi. Karena ini, orang lalu mencoba menggali kembali tradisi. Ditemukan kemudian, bahwa memang hukum tidak bisa dilepaskan dari kemanusiaan dan kepentingan umum. Nilai kemanusiaan itulah yang harus dilindungi oleh hukum, bukan hanya kepentingan pribadi atau kelompok penguasa. Singkat kata, hukum tidak bisa dipisahkan sama sekali dari moral.[18]
Karena makna kemanusiaan bisa begitu luas, apalagi jika mau mengakomodasi semua tradisi, lahirlah paham tentang hak-hak asasi manusia, yang—meskipun bernilai moral—pada dasarnya bersifat kompromis dan minimal. Maksudnya, nilai nilai yang terkandung di dalamnya diupayakan sekomprehensif mungkin, meski tetap menampung unsur-unsur dari berbagai pandangan. Inilah yang termuat dalam Universal Declaration of Human Rights, yang dideklarasikan pada tahun 1948. Kompromi itu makin nyata ketika nilai-nilai itu mulai diterjemahkan dalam kalimat yuridis. Kompromi di sini tidak dalam arti peioratif karena lebih bermakna titik tengah dari berbagai tegangan. Dalam hal ini, munculnya dua babon (induk) hukum internasional tentang hak asasi manusia, yaitu ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) dan ICESCR (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights) menampakkan kompromi itu. Yang pertama memang diusulkan oleh kubu liberal sedang yang kedua diusulkan oleh kubu sosialis.
Perkembangan ini menumbuhkan optimisme karena kesucian hukum di zaman modern mendapatkan pendasaran yang lebih pasti. Nilai nilai moral yang menggarisbawahi harkat-martabat pribadi manusia bisa dirumuskan secara lebih obyektif. Seruan agar setiap hukum di muka bumi 'berjiwa' hak asasi manusia sangat kentara dalam desakan kepada setiap negara, setidaknya negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, agar UDHR bisa menjadi as a common standard of achievements for all peoples and all nations.[19] Selain itu, paduan dua pandangan dalam dua kovenan internasional hak asasi manusia di atas (ICCPR dan ICESCRI) bisa pula dilihat secara lebih positif, yaitu memberi keseimbangan pada bobot kemanusiaan.
Tekanan akan dimensi individual (khususnya aspek politik) seorang pribadi manusia seperti yang tampak dalam ICCPR dilengkapi dengan dimensi sosial (khususnya aspek sosial, budaya dan ekonomis). Dengan itu, diharapkan kesucian hukum tidak hanya bersifat obyektif yang statis melainkan juga dinamis.
Menjadi makin jelas pula bahwa jika hukum adalah keniscayaan ruang publik, hak-hak asasi manusia adalah keniscayaan hukum di ruang publik (pasca) modern itu.[20] Dengan kesucian hukum 'baru' itu diharapkan bahwa ruang publik bisa tertata lebih baik. Kebebasan bisa terkelola dengan lebih memuaskan banyak pihak, dan masing-masing pribadi bisa tumbuh sebagai manusia yang dicita-citakan. Memang, masih banyak hal harus diperbaiki supaya hak asasi manusia bisa sungguh dipergunakan sebagai parameter 'kesucian' hukum di ruang publik. Masih banyak kritik, juga celah dan kelemahan yang membuat hukum internasional tentang hak asasi manusia belum diterima sepenuhnya dan belum bisa diterapkan secara efektif.[21] Meski begitu, hukum internasional tentang hak asasi manusia, dari International Bill of Rights (UDHR, ICCPR dan ICESCR) beserta turunannya, tetap layak diperlukan baik sebagai batas dari batas hukum nasional maupun sebagai panduan hukum nasional, termasuk 'hukum' yang berlaku dalam ruang publik yang lingkupnya lebih kecil, seperti dalam lingkup sekolah atau RT/RW.
Pada akhirnya, tetap harus diingat juga bahwa meski hak asasi manusia adalah isi kesucian baru suatu hukum, tidak berarti bahwa hukum yang belum mengakomodasi hak hak asasi manusia dipandang tidak suci dan seenaknya dilanggar. Hukum tetap 'suci' karena mengemban amanah membentuk ruang publik. Artinya, meski belum sempurna, hukum yang ada tetap perlu dijalani dan diterapkan. Sambil menjalankannya, perspektif pembaruan hukum, atau dalam semangat lex semper reformanda, hukum yang berlaku tetap dihormati.[22] Dalam hal ini, pepatah Latin kuno kembali bisa dijadikan rujukan: lex necessitatis est lex temporis: i. e., instantis, yang lebih kurang berarti "hukum keniscayaan adalah hukum waktu, yaitu waktu masa kini”. Terjemahan bebasnya bisa berbunyi: hormatilah hukum yang berlaku, karena itu niscaya bagimu dan niscaya pula bagi hidup bersamamu!
Daftar Pustaka
Allen, C.K. Law in the Making. Oxford: Clarendon Press, 1964.
Atiyah, P .S. Law and Modern Society. Oxford: Oxford University Press, 1995.
Berman, Harold Joseph. Law and Revolution: The Formation of the Western Legal Tradition. Cambridge, MA: Harvard University Press, 983.
Crowe, Michael Bertram. The Changing Profile of the Natural Law. The Hague: Martinus Nijhoff, 1977.
Dworkin, R. M., ed. The Philosophy af Law. Oxford: Oxford University Press, 1977.
Friedman, Thomas. The World Is Flat: A Brief History af the Twenty First Century. Farrar Straus Giroux, 2005.
Friedrich, Carl Joachim. The Philosophy of Law in Historical Pers pecrive. Chicago: Thee University of Chicago Press, 1984.
Fukuyama, Francis. Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity. New York, Free Press, 1995.
Giddens, Anthony. Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives. London: Profile, 1999.
Pound, Roscoe. An Introduction to the Philosophy of Law. New Haven: Yale University Press, 1954.
Rawls, John. The Law of Peoples. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999.
Susskind, Richard. The Future of Law: Facing the Challenges of Information Technology. Oxford: Clarendon Press, 1996.
Unger, Roberto Mangabeira. The Critical Legal Studies Movement. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986.
Catatan kaki
1. Terrance Deacon, dalam bukunya, The Symbolic Species: The Co-Evolution of Language and the Brain, mengatakan, "In this context, then, consider the case of human language. It is one of the most distinctive behavioral adaptations on the planet. Languages evolved in only one species, in only one way, without precedent, except in the most general sense. And the differences between languages and all other natural modes of communicating are vast. (Seperti dikutip oleh Brad Harrub Ph.D., Bert Thompson, Ph.D., and Dave Miller Ph.D. dalam artikel mereka The Origin of Language and Communication, dalam http://www.trueorigin.org/language01.asp, diakses Kamis, 14 Januari 2010 jam 11.35.)
2. Misalnya De Re Publica (Tentang Hal-hal Publik, 54 51 B.C), de Legibus (Tentang Hukum, 51 8.C. ff), and De Officiis (Tentang Kewajiban kewajiban, 44 B.C). Dalam hal ini, perlulah dikatakan bahwa judul buku De Re Publica yang ditulis Cicero tidak bisa begitu saja diterjemahkan sebagai "Tentang Republik" karena tidak berbicara secara khusus tentang bentuk negara sebagai republik seperti dipahami sekarang. Res publica di sini lebih berarti hal-hal atau perkara perkara publik (publik affairs).
3. Belum ada kesepakatan para peneliti tentang kapan uang mulai dikenal. Yang jelas, dalam Codex Ur Nammu yang telah disebut di atas uang sudah disebutkan sebagai alat pem bayaran.
4. Paham hukum kodrat memang bisa ditarik dari pemikiran para filsuf Yunani, dan kemudian dikembangkan oleh para teolog Kristen pada masa Gereja Perdana dan para kanonis pada abad pertengahan mengembangkannya secara yuridis. Pendalaman secara filosofis makin tampak dalam para teotog (sic! Perlu diingat bahwa pada waktu itu teologi dan filsafat berimpit, apalagi dengan pemeo philosophia ancilla teologiae est, atau filsafat adalah pelayan teologi.) Skolastik. Refleksi lebih sistematis dan komprehensif dilakukan Thomas Aguinas, dan karena itu paham hukum kodrat banyak dikaitkan dengan pemikirannya. Perkembangan paham hukum kodrat bisa dilihat dalam buku The Changing Profile of the Natural Law oleh Michael Bertram Crowe (The Hague: Martinus Nijhoff, 1977).
5. Dari bukunya yang berjudul De Libero Arbitrio, 5, yang ditulis kira-kira tahun 387 M.
6. Bandingkan Leviathan nya Hobbes (1651), Two Treatises of Government-nya Locke (1689) dan Du Contrat Social atau The Social Contract (1762).
7. Salah satu karyanya yang terkenal dan mencerminkan pandangannya relatif utuh adalah The Province of Jurisprudence Determined (1832),
8. Karya monumentalnya adalah The Concept of Law (1961).
9. Karyanya yang paling banyak diingat orang adalah The Critical Legal Studies Movement (1986).
10. Pemahaman ini terinspirasi oleh konsep Martin Heidegger (1889 1976) tentang “keterlemparan" (dalam bukunya Being and Time (Sein und Zeit, 1927) ), meski tidak sepenuhnya Galam pengertian Heidegger itu.
11. Martin Buber (1878-1965) misalnya, memiliki pandangan bahwa manusia mempunyai dorongan untuk berelasi dengan orang lain dalam konsep I-thou-nya.
12. Gagasan ini muncul karena teringat refleksi tentang kekhawatiran sebagai bagian eksistensi manusia yang ditulis oleh Soren Kierkegaard (1813 1855) dalam bukunya Begrebet Angest (The Concept of Anxiety) pada tahun 1944.
13. Paparan tentang hal ini ada dalam bukunya Trust: The Social Virtues and The Creation af Prosperity (New York, Free Press, 1995). Pemahaman atas istilah di atas tidak sepenuhnya mengikuti paparan Fukuyama.
14. Frase itu jelas dalam judul bukunya: The Worig Is Flat: A Brief History of the Twenty First Century (Farrar Straus Giroux, 2005). Meski Friedman memahami datarnya dunia terkait dengan pasar yang makin terkait karena sarana telekomunikasi, kalimat the world is flat bisa pula mengingatkan bahwa karena sarana telekomunikasi yang makin canggih itu monopoli informasi tidak lagi dimungkinkan, sehingga hierarki dalam masyarakat makin memudar. Ada garis bawah pada kesetaraan di dalamnya.
15. Richard Susskind, seorang ahli IT (information tecinology) pernah menulis buku berjudul The Future of Law: Facing the Challenges of Information Technology (Oxford: Clarendon Press, 1996). Dia menawarkan beberapa kemungkinan bagaimana membuat inovasi hukum dengan kemajuan teknologi informasi itu. Sayangnya, karena latar belakang keahliannya, dia baru membahas perkara-perkara teknis terkait dengan hukum, Dengan kata lain, telaah yang lebih filosofis, dengan bahan yang dia tawarkan, mungkin bisa lebih membuka cakrawala hukum.
16. Istilah itu juga muncul dalam buku yang ditulisnya, Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives (London : Profile, 1999).
17. An Introduction to the Philasophy of Law (New Haven: Yale University Press, 1954). Ia menulis antara lain, "For present purposes I am content to see in legal history the record of a continually wider recognizing and satisfying of human wants or claims or desires through social control: a more embracing and more effective securing of social interests: a continually more complete and effective elimination of waste and precluding of friction in human enjoyment of the goods of existence in short, a continually more efficacious social engineering." (hlm. 47).
18. Ronald M Dworkin adalah seorang pengkritik keras aliran positivisme ini. Dalam artikelnya "Is Law A System of Rules” (dalam R. M. Dworkin, ed., The Philosophy of Law, Oxford: Oxford University Press, 1977) Dworkin mempertanyakan sejumlah pokok pikiran positivisme, terutama yang dipaparkan H.L.A. Hart.
19. Ditetapkan sebagai kesepakatan bersama dalam Genera! Assembly resolution 217 A (II) pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam perkembangannya sampai 15 Januari 2010, ada 165 negara yang meratifikasi ICCPR dan ada 160 negara yang meratifikasi ICESCR. (Perkembangan jumlah negara yang meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional tentang hak-hak asasi manusia bisa dilihat di http://treaties.un.org.).
20. Tanpa mau mengurangi maksud pemaparannya, Patrick .S. Atiyah, seorang akademisi dan ahli hukum dari Universitas Oxford juga dalam posisi ini, ketika dia mengatakan, "that there are certain basic human rights which ought not to be at the mercy of a government or legislature: that governments and legislatures derive their powers from the people, and that the people cannot be assumed to have granted away unlimited and despotic powers just because they have elected a parliament (by a proces set by parliament itself)....“ dalam bukunya Law and Modern Society (Oxford: Oxford University Press, 1995), hlm. 157. John Rawls, filsuf hukum itu, juga menggarisbawahi hal ini. Dikatakannya bahwa "human rights area class of rights that play a special role in a reasonable Law of People: they restrict the justifying reasons for war and its conduct, and they specify limits to a regime's internal autonomy." Dalam bukunya The Law of Peoples, Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999) hlm. 79.
21. Kritik utama dari universalitas hak-hak asasi manusia tentu datang dari kaum relativis, baik relativis budaya, agama maupun gender. Sementara itu, celah dan kelemahan penerapan tampak nyata karena relatif lemahnya otoritas 'pemaksa' hukum itu.
22. Dalam hal ini, para hakim dan penafsir hukum lain punya peran besar dalam "menemukan" dan mengembangkan hukum. Dengan mengikuti tradisi sistem hukum sipil (civil law system) Napoleonik, tradisi hukum Indonesia mengenal penafsiran hukum oleh hakim yang dilandasi Oleh pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis.
Andang Listya Binawan, lahir di Yogyakarta, 1963. Setelah menyelesaikan S1 filsafat pada STF Driyarkara (1989) dan S1 teologi di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (1994), menyelesaikan program licentiat/S2 'hukum gereja' di The Chatholic University of America, Washington, DC, A.S. (1994-1996) dengan tesis The Prohibition and Permission for Political Involvemen by Clergy in the 1983 Code. Sempat mengikuti program master 'etika terapan' di Katholieke” Universiteit Leuven, Belgia (1997-1998). Pernah membantu Institut Sosial Jakarta dan Tim Relawan Kemanusiaan pasca Kerusuhan (1998-1999) di Jakarta. Meraih gelar doktor di bidang 'hukum gereja' di Katholieke Universiteit Leuven, Belgia (1999-2002) dengan disertasi berjudul Religious Freedom in Indonesia during the New Order Era. Sempat mengambil internship program for human rights di Pax Romana, Geneva, Swiss (2002). Sekarang mengajar di STF Driyarkara Jakarta dan membantu Persatuan Advokat Indonesia (sejak 2007). Mendirikan GEMASH (Gerakan Masyarakat Peduli Sampah) Jakarta. Area minatnya: persoalan keluarga, hukum, dan lingkungan hidup.
Sumber: Al. Andang L. Binawan, "Kesucian Hukum di Ruang Publik", dalam F. Budi Hardiman (ed), Ruang Publik: Melacak "Partisipasi Demokratis" dari Polis sampai Cyberspace, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 349-368
0 komentar:
Posting Komentar