alt/text gambar

Minggu, 13 April 2025

Topik Pilihan: , ,

Melakukan High Politics, Menghindari Low Politics: Tentang Bekal bagi Politisi Muhammadiyah

 

M. Amien Rais

Oleh: M. Amien Rais


Dakwah sebagai rekonstruksi sosial 

Pada kesempatan ini saya akan menjelaskan apa yang saya maksud dengan high politics dalam kaitannya dengan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang mengemban misi dakwah. 

Bagi saya, ada hubungan organik yang sangat erat antara dakwah dan politik. Muhammadiyah itu mempunyai semboyan dakwah, yakni amar ma'ruf nahi munkar, menganjurkan kebajikan, mendorong kebajikan, sekaligus mencegah kejahatan atau kemunkaran. Nah, dakwah seperti dimengerti Muhammadiyah tentu bersifat multi dimensional, dalam arti dakwah adalah sebuah rekonstruksi sosial agar tercapai kehidupan yang lebih baik di masa depan dibandingkan dengan yang ada sekarang ini. 

Sebagai rekonstruksi sosial, dakwah mempunyai dua wajah yang selalu bersamaan yaitu amar ma'ruf nahi munkar. Nah rekonstruksi sosial itu termasuk kehidupan berpolitik, di samping kehidupan pendidikan budaya, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Dalam kaitan ini kalau Muhammadiyah ber-amar ma'ruf nahi munkar di bidang politik, maka yang dilakukan itu adalah langkah-langkah yang bermuatan moral etis, dengan kata lain Muhammadiyah memang menjauhi politik praktis yang berkonotasi perebutan “jatah” kekuasaan yang dapat menyandungkan Muhammadiyah itu sendiri pada suatu keadaan yang tidak diinginkan. 

Apalagi kalau diingat bahwa politik praktis itu esensinya adalah konflik kepentingan. Seperti memperebutkan sejumlah kursi di DPR atau mengincar jabatan-jabatan eksekutif maupun menuntut fasilitas di dalam melancarkan usaha-usaha pribadi yang ada kaitannya dekat dengan birokrasi, itu adalah politik praktis. Muhammadiyah memang tidak menginginkan menggiatkan politik praktis itu demi tujuan jangka panjang Muhammadiyah.

Karena itu saya mengatakan mengambil sikap yang tegas terhadap korupsi atau membela secara tegas penegakan keadilan sosial atau menganjurkan pentingnya rule of law, maka langkah-langkah itu, artinya politik yang berdimensi moral atau etis yang saya sebut sebagai high politics, bukan low politics. Biasanya ada yang menanyakan kalau sekadar mengambil posisi dan melakukan himbauan-himbauan, apakah sudah efektif? Muhammadiyah tidak berbicara efektif atau tidaknya, karena memang tugas dari Muhammadiyah itu tidak melakukan langkah-langkah di dalam power politic. Memang kritik itu ada betulnya, kalau hanya mengimbau, kemudian memberikan contoh, dan memberikan anjuran-anjuran, peringatan-peringatan moral dan etis, apakah masih bisa efektif? Jawabannya wallahu a'lam, memang belum tentu. 

Tetapi Muhammadiyah tahu batas kemampuan dirinya. Kalau Muhammadiyah melangkah ke arah permainan politik kekuasaan itu memang bisa terjerumus ke jurang yang tidak akan bisa bangkit. Jadi inilah rahasia kelestarian Muhammadiyah, di mana sebagai gerakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar, tetap melakukan high politics menghindari low politics

Apakah itu artinya high politics itu sudah dilakukan Muhammadiyah sebelumnya. Itu tergantung. Memang Muhammadiyah sudah melakukan hanya intensitasnya yang berbeda dari waktu ke waktu. Dan, itu selalu dilakukan. Sebagai contoh, ketika SDSB sedang merajalela maka ketua Muhammadiyah memberikan surat yang sangat bijak dan halus kepada pemerintah supaya SDSB sebaiknya ditutup saja, dengan segala argumen-argumennya. Kelihatannya hanya mengirim sepucuk surat, tapi ini high politics. Atau pada zaman Orde Lama Muhammadiyah di dalam seluruh dakwah dan tablighnya itu mengingatkan bahaya Komunis. 

Membawa akhlaqul karimah dalam politik praktis 

Kemudian dalam pandangan Muhammadiyah low politics itu, ya...tidak apa-apa. Itu sesuatu yang wajar, hanya kalau Muhammadiyah berusaha memberikan pedoman bagi para anggotanya yang bergerak di politik praktis itu. Mereka selalu ingat bahwa dalam politik praktis harus membawa akhlaqul karimah. Jadi jangan menggunting dalam lipatan, jangan memakan bangkai teman sendiri dan lain-lain, itu adalah “pelajaran-pelajaran” penting dalam low politics, yang dibekalkan kepada politisi Muhammadiyah. 

Jadi, low politics juga ada dua jenis. Politik rendah yang Machiavelistic yang bertujuan menghalalkan segala macam cara, kemudian akan berdampak negatif kepada masyarakat. Dan, low politics yang tetap dalam paradigma akhlaqul karimah

Walaupun demikian Muhammadiyah tidak ikut low politics, karena konsentrasi misinya pada bidang pendidikan, syiar Islam, layanan masyarakat dan penyantunan kaum dhu'afa. Meskipun begitu, kita tidak menutup mata terhadap lingkungan politik yang sedang berjalan. Karena tidak mungkin kita hidup di dalam lingkungan yang vakum terhadap politik yang real. 

Kemudian lobbying juga menjadi jalan politik Muhammadiyah. Cuma kalau lobby yang dikerjakan Muhammadiyah jelas bukan untuk mencari jatah kekuasaan, tetapi mengarahkan kebijakan-kebijakan yang semoral dan seetis mungkin.

Apakah Muhammadiyah di level bawah akan sanggup melakukan hal-hal seperti itu. Kenapa tidak? Misalnya Pimpinan Muhammadiyah di Wilayah bisa saja membangun suatu hubungan yang baik dengan gubernur dan bisa memperbincangkan segala masalah yang menyangkut umat Islam di wilayah itu. Juga untuk level daerah dengan bupati dan para aparatnya. Sehingga bisa bertukar pikiran mengenai berbagai hal. 

Kalau begitu high politics itu lebih menguntungkan. Tapi, saya tidak mengatakan low politics itu tidak penting, penting juga, hanya Muhammadiyah tidak dilahirkan untuk bergerak dalam low politics. Jadi kalau ada pimpinan Muhammadiyah membawa ke low politics, itu berarti tidak paham hakikat Muhammadiyah. Kalau saya sebagai unsur PP Muhammadiyah mendekat-dekatkan Muhammadiyah ke salah satu orpol, itu berarti awal dari kiamat Muhammadiyah.

Kalau begitu secara organisasional bagaimana maksudnya. Prinsipnya jelas Muhammadiyah tidak boleh di-”jual” kepada siapa pun, kepada apa pun, sampai kapan pun juga. 

M. Amien Rais, cendekiawan muslim


(Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung: Membumikan Tauhid Sosial, Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Bandung: Penerbit Zaman Wacana Mulia, 1998, hlm. 146-149) 

Amien Rais di rumah pribadinya



0 komentar:

Posting Komentar