alt/text gambar

Jumat, 18 April 2025

Topik Pilihan:

MENYAMBUT ROMAN “SAMAN”



Oleh: YB Mangunwijaya

(Kompas, 5 April 1998)


Roman Saman buah imajinasi Sdr (atau Ibu?) Ayu Utami memang seperti dikatakan Mas Sapardi Djoko Damono, dahsyat. Sungguh saya bersyukur tidaklah benar apa yang bertubi digerutukan para komentator sastra, seolah-olah Indonesia sudah tidak punya karya sastra bermutu; dengan tudingan mempersalahkan rezim yang serba represif, memperbodoh, tidak kondusif bagi apresiasi sastra serta segala yang indah yang berkualitas dan sebagainya. Justru zaman-zaman paling gelaplah (misalnya selama revolusi ’45-’50), di benua mana pun alamiah sering melahirkan karya-karya sastra unggul. Itu tergantung pada para penulis sendiri (dan seluruh kompleks dunia penerbitan). Saman contohnya.


Pada awal membaca halaman-halaman pertama saya masih jengkel karena yang dilukiskan kok itu-itu lagi, perempuan muda tertarik kepada lelaki maskulin yang sudah beristri. Lalu saya baca halaman-halaman terakhir yang juga penuh erotika blak-blakan yang sudah lazim di dalam sastra Barat sekarang atau Amerika Latin tetapi di Indonesia masih tabu. Apa tidak ada tema lain? 


Akan tetapi, setelah cermat saya baca halaman demi halaman, kekecewaan saya semakin pudar dan berubah menjadi kekaguman. Magnific, superb, splendid, sehingga sulit berhenti membaca. Sungguh “gila”, dari mana luasnya, dalamnya dimensi-dimensi problem dan gagasan serta kekayaan simbolisasi makna yang tertuang dalam 137 halaman kuarto spasi rangkap oleh penulis perempuan yang baru berusia 30 tahun? Amazing. 


Memukau pelukisan sisi-sisi psikologi remaja dan dewasa kembang, konteks politik keji yang disebut pembangunan dan tragedi kemasyarakatannya, filsafat hidup, tafsiran teologik, konflik-konflik serta damba-rindu yang merintih, dan terutama bahasa prosanya yang puitis menggenangi mengangini cerita Indonesia kontemporer ini; lebih tepat lokal pasca-Indonesia dengan wawasan global. Yang sudah lama dinanti-nanti harus menyusul fase susastra angkatan-angkatan pendahulunya yang masih berbudaya agraris. Di Indonesia kini. Yang serba dangkal, serta suka yang instan. 


Memang alam ceritanya masih itu-itu, gedongan, kaum muda golongan menengah taruhlah borjuis kaya baru, tetapi tidak hanya itu. Sisi kerakyatan emansipatorik bahkan revolusioner dans l’esprit engag_tidak absen; meskipun agak fantastis tetapi tak mengapa, fiksi lebih menghendaki pelambangan peristiwa yang menunjuk ke makna adi-peristiwa (beyond). Lagi terduga, alam kasta borjuisi itulah yang paling dikenal penulis. Bukan noda bukan dosa. 


Dua kriteria bahasa bagus (standar tetapi kreatif inovatif) dan penyajian (struktur kolase ruang-waktu serta dialog introvert ekstrovert kompleks ternyata selaras dengan isi cerita, lokasi dan budaya zamannya) dipenuhi gemilang. Kriteria ketiga (sebetulnya pertama dan yang paling menentukan) isi, yang semula saya sangsikan, ternyata mengagumkan. Maafkan pujian-pujian ini mungkin mencurigakan karena berbunga superlatif. Berlebihan? Biarin, karena dalam situasi dn kondisi kemarau panjang Indonesia sekarang, sungguh segar sehat mengairi damba dahaga. Tetapi sebetulnya obyektif memang begitu. 


                                               *** 


Jika Mas sapardi berkomentar bahwa ia, “Khawatir... jika novel ini diterbitkan, jangan-jangan pengarang lain kemudian diam-diam merasa perlu untuk belajar menulis bahasa Indonesia lagi,” saya jujur mengatakan: bukannya diam-diam, melainkan terang-terangan saya sungguh belajar banyak dari prosa Sdr (Ibu?) Ayu Utami yang dihembusi ruh puisi itu. Ditambah tantangan problematika antropologik dan filsafi tentang “siapa kau manusia” serta pertanyaan-pertanyaan teologis yang digejolakkan. 


Ataukah mungkin, karena Saman ditulis seorag perempuan, denga daya observasi mendetail tetapi fungsional simbolis serta daya imajinasi mendalam yang mampu mengintuisi beyond tadi, dan yang niscaya sulit teresonansi oleh kami penulis lelaki (dan tua seperti saya ini)? 


Yang jelas, roman yang dicurahkan dari lubuk rasa dan bahasa penghayatan seorang perempuan (kecuali kalau nama ini nama samaran seorang penulis lelaki) Ayu Utami ini benar-benar suatu kontribusi yang amat berharga bagi khasanah sastra Orde Baru. 

Ada beberapa pondasi data dan bahan peristiwa yang masih perlu dikoreksi, tetapi novel memang bukan reportase. 


Hanya saja, dan ini menyangkut pihak pembaca, novel ini dapat dinikmati dan berguna sejati hanya bagi pembaca yang dewasa, bahkan amat dewasa. Dan jujur. Khususnya mengenai dimensi-dimensi politik, antropologi sosial, dan teristimewa lagi, agama dan iman yang tersurat tersirat di ditu. Jadi sebenarnya bukan bacaan untuk sembarang orang dan khususnya bukan untuk pejabat negara maupun agama yang konservatif. 


Menurut penulisnya, karya bejudul Saman ini baru fragmen dari suatu keseluruhan cerita bulat yang masih akan dilanjutkan. Jadi bisa-bisa “angka nilainya” belum final. Masih menunggu rampung jadinya patung. Kita tunggu penuh harapan. Namun selesai atau belum, terima kasih tulus atas anugerah perkayaan dari salah seorang trubus generasi muda susastra bernama Ayu Utami tentulah dengan ikhlas kita sampaikan. Lugu sederhana atau galan elegan komplet, dengan karangan bunga (dan, paling tidak dalam hati, ciuman kontemporer pasca-indonesia). 


“Post scriptum”

Tiada gading tanpa retak. Akhiran (sementara) roman Saman amat lemah dari segi psikologi figur Saman. Memang tokoh Saman lebih simbol daripada sosok yang psikologis konsisten dapat dipertanggungjawabkan. Nama-nama Laila, Yasmin, Cok, Shakuntala, Saman (mungkin Sihar) pun saya baca memuat kadar perlambang yang tinggi. Memang roman adalah fiksi, bukan psychological record seorang analis, tetapi toh simbolisasi hubungan Saman-Yasmin yang tercuat dalam (fragmen) roman ini, apalagi dalam curahan diary antarmereka, rasanya gewolt dalam bahasa Jerman, atau dalam bahasa Indonsia pasar: terlalu dibikin-bikin. Satu dua bintik semacam sensasionalisme pada perasaan saya mengurangi kebagusan cerita, tetapi sama sekali bukan nila yang mencerminkan seluruh belanga. Karena Saman hanya fragmen suatu roan yang belum selesai, dan sudah diterangkan sebelumnya oleh penulisnya bahwa figur Saman tidak akan memainkan peran penting, maka penilaian tentulah masih mengambang. 


Sumber: Kompas, 5 April 1998

0 komentar:

Posting Komentar