alt/text gambar

Jumat, 18 April 2025

Topik Pilihan:

“Saya Cuma Seorang Tukang Azan": Tentang Kritik dengan Ikhlas dan Logika yang Jernih

M. Amien Rais


Oleh: M Amien Rais


Banyak orang bertanya mengapa saya kerap melontarkan pernyataan tentang soal-soal yang dianggap sensitif semacam suksesi, pencalonan presiden dan lain-lain. Ada juga yang menganggap saya agak emosional dengan pernyataan-pernyataan yang cenderung keras beberapa waktu yang lalu. Sebagian lagi memandang komentar-komentar saya sekadar untuk memanaskan Pemilu. 

Ketika saya di ICMI, sering dalam diskusi terbuka Pak Habibie mengatakan, “Pak Amien itu kan pakar. Sebagai pakar, punya pikiran-pikiran akademis yang sangat bagus, tapi mungkin belum tentu dapat dilemparkan ke publik. Sehingga, ini bisa menimbulkan kontroversi.” Mungkin dua tiga kali Pak Habibie mengimbau seperti itu, tapi tidak pernah beliau misalnya melarang atau mengoreksi.

Di Muhammadiyah pun saya mendapat dua masukan yang berbeda. Sebagian teman menasehati saya agar lebih baik diam saja, karena diam itu emas. Mereka mengingatkan saya, “Pak Amien, ingat Iho, Muhammadiyah sejak dulu tenang-tenang.” Tidak usah mempedulikan apa yang sedang terjadi, apalagi Muhammadiyah itu jatidirinya adalah gerakan dakwah, pendidikan, sosial, dan semacam gerakan moral. 

Ada juga yang mengatakan, Muhammadiyah itu sudah pas meneriakkan koreksi-koreksi besar-besaran, sementara masyarakat sendiri belum siap untuk bisa menerima koreksi blak-blakan. Jadi, ini juga menyangkut masalah-masalah yang cukup taktis dan bisa menyentuh kepentingan tertentu, lantas orang yang mungkin selama ini simpatik kepada Muhammadiyah bisa saja lantas punya pendirian lain. 

Tidak Punya Kalkulasi Politik 

Nabi Muhammad mengajarkan, jika melihat kemunkaran ubahlah dengan tangan. Jika tidak mampu dengan tangan, ya dengan lisan. Dan, mengubah dengan bisikan hati merupakan selemah-lemah iman. Ajaran inilah yang menjadi missi Muhammadiyah yang lazim disebut amar ma'ruf nahi munkar.

Bagi saya sendiri, hidup tidak hanya mengajak pada kebajikan, tapi juga untuk melawan kemunkaran atau kezaliman. Maka dari awal sampai akhir, saya tidak punya kalkulasi politik apalagi punya kepentingan dengan setiap lontaran pendapat dan sikap saya. Tidak ada sedikit pun yang mendorong-dorong, memanasi atau mempengaruhi saya. I have no interest, whatever. Betul-betul dari lubuk hati yang paling dalam. 

Saya yakin, sebagian besar orang berbicara tentang hati nurani. Tahun 1993, ketika saya melontarkan isu suksesi, banyak teman yang mengatakan, saya membawa kartu mati. Mereka katakan, saya pasti habis pada Muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh, tahun 1996. Ternyata, di luar dugaan, saya malah dipilih oleh 97,5℅ dari peserta muktamar. Kemudian, waktu Muktamar ICMI, suara saya termasuk big three atau big four. Artinya, teman-teman ICMI itu bicara hati nurani. 

Muhammadiyah bagi saya adalah sebuah stasiun. Saya tidak punya potongan jadi birokrat, atau ingin posisi keduniawian di Jakarta. Kalau saya punya perhitungan, tentu tidak seperti sekarang ini. Saya akan menimbang bagaimana reaksi kelompok A, B, atau C, lalu saya akan menjadi super hati-hati. 

Demi Ber-Amar Ma'ruf Nahi Munkar 

Menjadi orang Islam di Indonesia adalah posisi yang paling enak, dibandingkan dengan orang Islam di Arab Saudi atau di Amerika Serikat misalnya. Di Arab Saudi relatif tidak banyak tantangan dan masalah. Mereka dengan sendirinya sudah langsung bisa membaca al-Quran, naik haji, segala fasilitas pendidikan dan kesehatan terjamin. Sebaliknya, sekularitas dan permisivitas yang hidup dalam masyarakat Amerika membuat orang merasa berat untuk beriman. 

Tapi untuk menegakkan Islam di Indonesia itu, tidak seringan di Arab dan tidak seberat di Amerika Serikat. Di Indonesia, perjuangan menegakkan amar ma'ruf nahi munkar (memerintahkan yang baik dan melarang keburukan) sekaligus, selalu mengundang risiko. Kalau amar ma ruf itu saja memang tidak berisiko, tapi mengajarkan nahi munkar efeknya cepat atau lambat akan bersinggungan dengan kekuasaan. 

Memerintahkan yang baik itu bagus, tanpa risiko. Tapi kalau nahi munkar, melarang supaya tidak melakukan yang terlarang atau hal yang buruk, akan berhadapan dengan yang senang melakukannya. Jadi, penuh risiko.

Kesulitan ini muncul terutama karena Orde Baru mempunyai dua nilai minus, yakni korupsi dan kolusi serta ketimpangan sosial yang tajam. Jika kita mau mengingatkan orang bahwa nilai minus itu perlu segera dibereskan, kita akan bersinggungan dengan kekuasaan. 

Maka ketika saya menyampaikan isu-isu besar, saya merasa cuma seorang tukang azan yang berusaha mengumandangkan: ini ada masalah besar, mari kita berjamaah dari berbagai unsur kekuatan bangsa, secara inter-group, inter-etnis, inter-agama, inter-ras. 

Bagaimana kita bisa menanggulangi bersama masalah-masalah utang yang mulai berat. Itu tidak mungkin dipikul sendirian. Dalam al-Quran dikatakan, wama alaika illal balagh. Tidak ada kewajibanmu kecuali menyampaikan. Jadi, Muhammadiyah mempunyai moral obligation, kewajiban untuk menyampaikan, inilah masalahnya. Jika Muhammadiyah sendiri menggalang kekuatan, itu sudah masuk tataran ke politik praktis. 

Sahabat saya, Din Syamsudin, secara berkelakar mengatakan, “Mas Amien ini seperti tukang azan, tapi jamaahnya tidak ada yang datang.” Katanya, risiko jadi tukang azan itu tidak akan jadi imam. Saya kira, kelakar ini ada betulnya. Saya memang tukang azan. Saya azan, itu berarti tugas. Jadi, tugas sudah saya tunaikan. Kemudian, tugas para negarawan, politikus, intelektual, ulama, tokoh partai, dan LSM, yang memperhatikan azan saya, untuk bagaimana membuat langkah-langkah yang lebih teduh dan realistis untuk menggarap isu-isu besar itu. 

Nothing to loose” dan tidak Membangun Kekuatan Politik 

Namun saya juga tidak pernah percaya bahwa sebuah statement bisa mengguncangkan secara dramatis keadaan yang ada dan mengganggu stabilitas. Tesis saya tidak mungkin bisa memobilisasi gerakan di akar rumput. Yang bisa mengguncangkan adalah keadaan objektif yang mungkin makin parah, lantas proses alienasi dari mayoritas yang membisu yang makin kencang. Hal ini bisa disulut dengan isu-isu apa pun, yang lantas bisa mengguncangkan.

Atas kritik-kritik itu, kadang-kadang terlintas di benak saya soal risiko politik, misalnya saya dicatat, ditahan, atau di penjara. Tapi saya yakin, saya juga cukup berhati-hati untuk tidak menghina siapa pun, untuk tidak melanggar pasal-pasal KUHP, dan saya sepertinya juga bukan asal bunyi, tidak waton sulaya. Sebagai seorang akademikus, saya tentu mencoba, kalau membuat statement apa pun juga, punya dasar-dasar fakta yang ada, juga dengan logika yang jernih. 

Maka ketika saya ditelepon oleh beberapa teman, dan mereka bertanya apa betul saya diinterogasi Jaksa Agung? Saya tertawa terkekeh-kekeh. Saya bilang, “Anda kan telepon dari Jakarta, saya sekarang ini ada di rumah, dan saya belum pernah ke Jakarta. Jadi, kalau saya diperiksa Jaksa Agung, kan saya sudah sekota dengan Anda.” Rumor itu memang keras sekali. Dikatakan, saya sudah diinterogasi, kemudian saya ini bisa dikenai pasal-pasal haatzaai artikelen. Dasar saya itu ikhlas, saya tidak membangun kekuatan politik. Jadi, saya tenang-tenang saja. Nothing to loose and I have nothing to give.

(Sumber tulisan: Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung: Membumikan Tauhid Sosial, Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Bandung: Penerbit Zaman Wacana Mulia, 1998, hlm. 217-221) 



0 komentar:

Posting Komentar