![]() |
Nani Efendi |
Oleh: Nani Efendi
Dalam banyak Latihan Kader di HMI, boleh dikatakan cukup jarang dibahas Bab VI NDP, karena penjelasannya panjang
dan penulisannya juga agak rumit. Padahal, Bab VI ini sangat penting untuk memberikan wawasan sosial politik dan ekonomi bagi kader-kader HMI. Karena bab ini saya anggap sangat penting, maka saya berupaya untuk menyederhanakan tata bahasanya agar mudah dipahami. Berikut ini saya coba sempurnakan
penulisannya. Saya buatkan juga sub-sub judul agar penjelasannya lebih sistematis.
Berikut hasil penyempurnaan penulisan dari saya:
Dalam Bab V telah dijelaskan tentang hubungan antara
individu dengan masyarakat di mana kemerdekaan dan pembatasan kemerdekaan
saling berhubungan. Perbaikan kondisi masyarakat tergantung pada pengaturan manusia
sendiri dan upaya-upaya bersama. Jika kemerdekaan setiap pribadi tak diatur (dibatasi)
sedemikian rupa, artinya diberikan secara absolut, maka keinginan setiap pribadi
yang bermacam-macam itu akan menciptakan kekacauan atau anarkhi (Qs. Al Lail/92:8-10).
Ia akan menghancurkan masyarakat dan meniadakan kemanusiaan.
Oleh karena itu, perlu ditata sebaik mungkin agar keadilan dalam masyarakat dapat
tercipta (Qs. Al Maidah/5:8). Agar tidak terjadi apa yang diistilah oleh Thomas Hobbes,
seorang filsuf Inggris, “homo homini lupus” (manusia adalah serigala
bagi manusia lain). Istilah itu untuk menggambarkan situasi masyarakat yang diwarnai
oleh persaingan dan peperangan. Semua orang bisa menjadi musuh antar mereka.
Manusia yang satu bisa menghancurkan manusia lain demi mencapai tujuan. “Bellum
omnium contra omnes” (perang semua melawan semua). Yang kuat akan menang
atas yang lemah.
Kondisi seperti itu tentu tak boleh dibiarkan. Kehidupan sosial perlu ditata secara baik agar tercipta ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Nah, siapa yang harus menegakkan keadilan dalam masyarakat? Sudah barang pasti ialah masyarakat sendiri.
Tapi dalam prakteknya diperlukan adanya satu kelompok
dalam masyarakat yang karena kualitas-kualitas yang dimilikinya senantiasa
mengadakan usaha-usaha menegakkan keadilan itu dengan jalan selalu menganjurkan
sesuatu yang bersifat kemanusiaan serta mencegah terjadinya sesuatu yang
berlawanan dengan kemanusiaan. Bahasa al Qur'annya “amar ma’ruf nahi munkar”.
(Qs. Ali Imran/3:104, berbunyi: “Waltakum mingkum ummatuy yad'ụna
ilal-khairi wa ya`murụna bil-ma'rụfi wa yan-hauna 'anil-mungkar, wa ulā`ika humul-mufliḥụn;
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung.”).
Kualitas yang harus dipunyai oleh orang-orang itu ialah rasa
kemanusiaan yang tinggi sebagai pancaran kecintaan yang tak terbatas pada
Tuhan. Di samping itu, diperlukan kecakapan yang cukup. Kelompok orang-orang
itu adalah pimpinan masyarakat; atau setidak-tidaknya mereka adalah orang-orang
yang seharusnya memimpin masyarakat. Memimpin adalah menegakkan keadilan,
menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya, dan dalam jangka waktu yang
sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai
manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial.
Negara adalah bentuk organisasi masyarakat yang utama. Dalam
negara ada pemerintah yang diberikan kekuasaan oleh masyarakat melalui
mekanisme demokrasi. Pemerintahlah yang pertama berkewajiban menegakkan
kadilan.
Maksud semula dan fundamental daripada didirikannya negara
dan pemerintah ialah untuk melindungi manusia yang menjadi warga negara
daripada kemungkinan perusakkan terhadap kemerdekaan dan harga diri sebagai
manusia. Untuk menghindari apa yang diistilah oleh Thomas Hobbes di atas, yakni
“homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lain).
Tapi, sebagaimana dijelaskan di atas, di samping peran negara
(pemerintah), setiap individu—dalam fungsinya sebagai khalifah fil ard—memikul tanggung
jawab menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang baik melalui mekanisme demokrasi.
Sebagaimana Rasulullah mengatakan: “kullukum raain wakullukum mas uulun ‘an
raiyyatih.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pemerintah haruslah lahir dari masyarakat sendiri yang diberikan
wewenang melalui mekanisme demokrasi. Kekuatan yang sebenarnya di dalam negara
ada ditangan rakyat, dan pemerintah harus bertanggung jawab pada rakyat. Pemerintah
harus menjalankan kebijakan atas persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah (Qs.
As-Syura 42:38, berbunyi: “…dan [bagi] orang-orang yang memenuhi seruan
Tuhan dan menegakkan shalat, sedang urusan mereka [diputuskan] dengan jalan
musyawarah antara mereka.”).
Menegakkan keadilan salah satunya ialah membatasi
kepentingan-kepentingan pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu). Menegakkan
keadilan adalah amanat rakyat kepada pemerintah yang musti dilaksanakan (Qs. An
Nisaa’/4:58, berbunyi: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah
kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah
kamu tetapkan secara adil.”).
Ketaatan rakyat kepada pemerintah yang adil merupakan ketaatan kepada diri sendiri yang wajib dilaksanakan. Didasari oleh sikap hidup yang benar, ketaatan kapada pemerintah termasuk dalam lingkungan ketaatan kepada Tuhan (Kebenaran Mutlak) dan Rasulnya (pengajar tentang Kebenaran) (Qs. An Nisaa/4:59, berbunyi: Athi’ullah…dst). Pemerintah yang benar dan harus ditaati ialah mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan YME (Qs. Al Maidah/5:45).
Menegakkan keadilan ekonomi
Penegakkan keadilan yang terpenting dan berpengaruh ialah
menegakkan keadilan di bidang ekonomi atau pembagian kekayaan di antara anggota
masyarakat. Keadilan menuntut agar setiap orang dapat bagian yang wajar dari
kekayaan atau rezeki. Dalam masyarakat yang tidak mengenal batas-batas
individual, sejarah merupakan perjuangan dialektis yang berjalan tanpa kendali
dari pertentangan-pertentangan golongan yang didorong oleh ketidakserasian
antara pertumbuhan kekuatan produksi di satu pihak dan pengumpulan kekayaan
oleh golongan-golongan kecil dengan hak-hak istimewa di lain pihak (Qs. Al Hasyr/59:7,
berbunyi: “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya
saja di antara kamu.”). Karena kemerdekaan tak terbatas mendorong timbulnya
jurang-jurang pemisah antara kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam. Proses
selanjutnya—bila sudah mencapai batas maksimal—pertentangan golongan itu akan
menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan
peradabannya (Qs. Al Israa’/17:16).
Adalah sebuah keniscayaan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan
antara manusia dalam hal kemampuan fisik maupun mental. Tapi dalam masyarakat
yang tidak adil, kekayaan dan kemiskinan terjadi dalam kualitas dan proporsi yang tidak
wajar. Ketidakadilan ekonomi merupakan bentuk kezaliman. Orang-orang kaya
menjadi pelaku daripada kezaliman sedangkan orang-orang miskin dijadikan
sasaran atau korbannya.
Oleh karena itu sebagai yang menjadi sasaran kezaliman, orang-orang
miskin berada di pihak yang benar. Pertentangan antara kaum miskin menjadi
pertentangan antara kaum yang menjalankan kezaliman dan yang dizalimi.
Dikarenakan kebenaran pasti menang terhadap kebhatilan, maka pertentangan itu
disudahi dengan kemenangan tak terhindar bagi kaum miskin, kemudian mereka
memegang tampuk pimpinan dalam masyarakat (Qs. An Nisaa'/4:160-161; Qs. Asy Syu'araa'/26:182-183; Qs. Al Baqarah/2:279; Qs. al Qashash/28:5).
Dalam masyarakat yang adil mungkin masih terdapat golongan
kaya dan miskin, tapi hal itu terjadi dalam batas-batas kewajaran dan
kemanusian dengan perbedaan kekayaan dan kemiskinan yang tidak terlalu besar disparitasnya.
Hal itu sejalan dengan Islam: dibenarkannya pemilikan pribadi (private
ownership) atas harta kekayaan dan adanya perbedaan-perbedaan tak terhindar
dari pada kemampuan-kemampuan pribadi, fisik, maupun mental (Qs. Ar Ruum/30:37). Walaupun demikian
usaha-usaha ke arah perbaikan dalam pembagian rejeki ke arah yang merata tetap
harus diupayakan oleh masyarakat.
Kapitalisme
Kejahatan di bidang ekonomi yang menyeluruh adalah
penindasan oleh sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, dengan mudah
seseorang dapat memeras orang-orang yang berjuang mempertahankan hidupnya
karena kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara tidak sah, berkat
kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerjanya dan hidup kepada mereka.
Oleh karena itu, menegakkan keadilan mencakup pemberantasan
kapitalisme dan segenap usaha akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil
masyarakat (Qs. Al Baqarah/2:278-279). Sesudah syirik, kejahatan terbesar kepada kemanusiaan
adalah penumpukan harta kekayaan beserta penggunaanya yang tidak benar,
menyimpang dari kepentingan umum, tidak mengikuti jalan Tuhan (Qs. al Humazah/104:1-3).
Maka menegakkan keadilan inilah membimbing manusia ke arah
pelaksanaan tata masyarakat yang akan memberikan kepada setiap orang kesempatan
yang sama untuk mengatur hidupnya secara bebas dan terhormat (amar ma'ruf) dan menentang
terus menerus segala bentuk penindasan kepada manusia kepada kebenaran asasinya
dan rasa kemanusiaan (nahi munkar).
Dengan perkataan lain, harus diadakan restriksi-restriksi dalam
cara-cara memperoleh, mengumpulkan dan menggunakan kekayaan itu. Cara yang
tidak bertentangan dengan kamanusiaan diperbolehkan (yang ma'ruf dihalalkan)
sedangkan cara yang bertentangan dengan kemanusiaan dilarang (yang munkar
diharamkan) (Qs. Ali 'Imran/3:110).
Pembagian ekonomi secara tidak benar itu hanya ada dalam
suatu masyarakat yang tidak menjalankan prisip Ketuhanan YME. Mengaku
berketuhanan YME tapi tak melaksanakan keadilan ekonomi, sama saja nilainya
dengan tidak berketuhanan. Sebab nilai-nilai dikatakan hidup jika dinyatakan dalam
amal perbuatan (Qs. Ash Shaff/61:2-3).
Dalam suatu masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan sebagai
satu-satunya tempat tunduk dan menyerahkan diri, manusia dapat diperbudaknya
antara lain oleh harta benda. Tidak lagi seorang pekerja menguasai hasil
pekerjaanya, tetapi justru dikuasai oleh hasil pekerjaan itu. Produksi seorang
buruh memperbesar kapital majikan dan kapital itu selanjutnya lebih memperbudak
buruh. Demikian pula terjadi pada majikan bukan ia menguasai kapital tetapi
kapital itulah yang menguasainya. Kapital atau kekayaan telah menggenggam dan
memberikan sifat-sifat tertentu seperti keserakahan, ketamakan dan kebengisan.
Shalat sebagai pendidikan progresif
Oleh karena itu, menegakkan keadilan bukan saja dengan amar
ma'ruf nahi munkar sebagaimana dijelaskan di atas, tapi juga melalui pendidikan
yang intensif kepada pribadi-pribadi agar tetap mencintai kebenaran dan
menyadari secara mendalam akan adanya Tuhan. Shalat merupakan suatu bentuk
edukasi, suatu pendidikan yang kontinyu, yang dapat mencegah manusia dari
perbuatan keji dan munkar. (Qs. al Ankabuut/29:45).
Jadi, shalat merupakan penopang hidup yang benar. “Shalat
adalah tiang agama. Siapa mengerjakannya berarti menegakkan agama. Siapa
meninggalkannya berarti merobohkan agama.” (HR-Baihaqi). Shalat menyelesaikan
masalah-masalah kehidupan, termasuk pemenuhan kebutuhan yang ada secara
instrinsik pada rohani manusia yang mendalam, yaitu kebutuhan sepiritual berupa
pengabdian yang bersifat mutlak (Qs. Luqman/31:30).
Pengabdian yang tidak tersalurkan secara benar kepada tuhan
YME tentu tersalurkan ke arah sesuatu yang lain. Dan membahayakan kemanusiaan.
Dalam hubungan itu, di bab-bab awal NDP terdapat penjelasan tentang syirik yang
merupakan kejahatan fundamental terhadap kemanusiaan.
Zakat: solusi bagi kesenjangan ekonomi
Zakat merupakan solusi terakhir masalah perbedaan kaya dan
miskin itu. Zakat dipungut dari orang-orang kaya dalam jumlah presentase
tertentu untuk dibagikan kepada orang miskin (Qs. at Taubah/9:60). Zakat dikenakan hanya atas
harta yang diperoleh secara benar, sah, dan halal saja. Sedang harta kekayaan
yang haram tidak dikenakan zakat tetapi harus dijadikan milik umum guna manfaat
bagi rakyat dengan jalan penyitaan oleh pemerintah.
Oleh karena itu, sebelum penarikan zakat dilakukan terlebih
dahulu harus dibangun suatu masyarakat yang adil berdasarkan ketuhanan Tuhan
Yang Maha Esa. Masyarakat yang tidak lagi memperoleh kekayaan secara haram, atau
memperoleh dengan cara penindasan atas manusia oleh manusia (Qs. al Baqarah/2:188).
Tidak hanya mengatur bagaimana harta kekayaan itu diperoleh,
tapi juga diatur bagaimana harta kekayaan itu digunakan. Pemilikan pribadi
dibenarkan dalam batas yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Jika bertentangan
dengan, pemerintah berhak mengajukan konfiskasi.
Seorang dibenarkan mempergunakan harta kekayaan dalam batas-batas tertentu, yaitu dalam batas tidak kurang tapi juga tidak melebihi rata-rata penggunaan dalam masyarakat (Qs. al Furqan/25:67). Penggunaan yang berlebihan (tabzier atau israf) bertentangan dengan perikemanusiaan (Qs. al Israa'/17:26-27). Kemewahan selalu menjadi provokasi terhadap pertentangan golongan dalam masyarakat yang dapat berakibat destruktif (Qs. al Israa'/17:16).
Sebaliknya penggunaan kurang dari rata-rata masyarakat
(taqti) merusakkan diri sendiri dalam masyarakat disebabkan membekunya sebagian
dari kekayaan umum yang dapat digunakan untuk manfaat bersama (Qs. Muhammad/47:38).
Pada hakekatnya seluruh harta kekayaan ini adalah milik
Tuhan (Qs. Yunus/10:55). Manusia seluruhnya diberi hak yang sama atas kekayaan itu dan
harus diberikan bagian yang wajar daripadanya (Qs. Al A'raaf/7:10).
Pemilikan oleh seseorang (secara benar) hanya bersifat
relatif sebagai mana amanat dari Tuhan. Penggunaan harta itu sendiri harus
sejalan dengan yang dikehendaki tuhan, untuk kepentingan umum (Qs. al Hadiid/57:7). Maka
kalau terjadi kemiskinan, orang-orang miskin diberi hak atas sebagian harta
orang-orang kaya, terutama yang masih dekat dalam hubungan keluarga (Qs. al Ma'aarij/70:24-25).
Negara dan masyarakat berkewajiban untuk melindungi
kehidupan keluarga dan memberinya bantuan dan dorongan. Negara yang adil
menciptakan persyaratan hidup yang wajar sebagaimana yang diperlukan oleh
pribadi-pribadi agar dia dan keluarganya dapat mengatur hidupnya secara
terhormat.
Pemerintah mesti berupaya memperluas akses atau kesempatan
yang sama dalam memperoleh pendidikan, kecakapan yang wajar, kemerdekaan beribadah, dan pembagian kekayaan bangsa yang pantas.
Referensi:
NDP HMI versi Nurcholish Madjid
Qs. Al Lail/92:8-10
Qs. Al Maidah/5:8
Qs. Ali Imran/3:104, berbunyi: “Waltakum mingkum ummatuy yad'ụna ilal-khairi wa ya`murụna bil-ma'rụfi wa yan-hauna 'anil-mungkar, wa ulā`ika humul-mufliḥụn; Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Qs. As-Syura 42:38, berbunyi: “…dan [bagi] orang-orang yang memenuhi seruan Tuhan dan menegakkan shalat, sedang urusan mereka [diputuskan] dengan jalan musyawarah antara mereka.”).
Qs. An Nisaa’/4:58, berbunyi: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil.”
0 komentar:
Posting Komentar