A.S. Laksana
Ia membangun dunianya dengan kata-kata dan mencoba menyelamatkan Peru dengan kata-kata itu.
Dalam beberapa tahun belakangan, ia adalah singa terakhir dari ledakan sastra Amerika Latin, orang terakhir yang bertahan dari konstelasi nama-nama yang pernah membakar dunia sastra: García Márquez, Cortázar, Fuentes. Tapi tidak seperti mereka, Vargas Llosa tak pernah benar-benar menjadi bagian dari gerakan mana pun. Ia alergi pada label, memusuhi romantisme, dan curiga pada utopia. Ketika yang lain bermain-main dengan realisme magis, ia mengejar presisi. Ketika Márquez bergelut dengan arwah, Vargas Llosa mencermati kekuasaan dan pelapukannya yang menyedihkan.
Ia lahir, secara tak mengenakkan, pada 28 Maret 1936, di Arequipa, Peru, sebuah negeri yang, menurutnya, tak mampu mencintai dirinya sendiri, dan diasuh oleh keluarga yang enggan berkata jujur. Ayahnya, Ernesto Vargas, menghilang dari kehidupan ibunya sebelum Mario lahir, lalu muncul kembali sebelas tahun kemudian dengan mulut keras dan tindakan kejam.
Anak itu mengira ayahnya sudah meninggal, sebab keluarga ibunya mengatakan begitu. Dan, dalam beberapa hal, ia tidak salah menganggap ayahnya sudah meninggal. Pria yang kembali itu tidak membawa kasih sayang; ia muncul dengan perintah. Ia melarang anaknya membaca novel karena kegiatan itu terlalu feminin, menampar anaknya karena menulis cerita, dan mendaftarkannya ke sekolah militer. “Ayahku mencoba membunuh penulis dalam diriku,” kata Vargas Llosa kemudian. “Untungnya, ia gagal.”
Sekolah militer tidak membuatnya patuh; ia membuatnya presisi. Dari kebrutalan dan kebosanan di Akademi Leoncio Prado lahirlah The Time of the Hero (1963), novel yang pedas dan membuat para perwira di akademi membakarnya di depan umum. Vargas Llosa terus menulis.
Jika masa kecilnya adalah kebisuan, masa dewasanya adalah luapan. Memasuki usia dua puluhan, ia melahap sastra—Flaubert, Faulkner, Balzac, Sartre, Camus—dan memuntahkannya kembali dengan aksen Peru. The Green House (1966), narasi liar yang dipenuhi rumah bordil, pendeta, dan legenda Amazon, menunjukkan bahwa ia bukan hanya membaca para maestro, tapi juga menyerap teknik mereka. Lewat Conversation in the Cathedral (1969), novel 600 halaman tentang korupsi dan keputusasaan, ia menjadi pencatat yang teliti dan sekaligus dokter bedah bagi negerinya.
Ia percaya bahwa menulis adalah bentuk perlawanan. “Apa itu sastra,” tulisnya, “jika bukan pemberontakan terhadap tirani kenyataan?” Dan gagasannya tentang pemberontakan tidak berhenti di halaman buku.
Pada 1960-an, ia sempat terpikat pada Fidel. Seperti banyak anak muda Amerika Latin saat itu, ia melihat Kuba sebagai pemutusan bersih dari oligarki dan kebusukan. Tapi pesona itu berakhir pahit ketika Castro memenjarakan penyair Heberto Padilla. Sementara yang lain berusaha membenarkan tindakan Castro, ia bicara lugas: Revolusi yang membungkam para penyairnya bukanlah revolusi.
Persahabatannya dengan García Márquez, yang seperti ikatan persaudaraan, berakhir dengan sebuah pemukulan. Malam itu, Februari 1976, di lobi gedung bioskop di Mexico City, Vargas Llosa berjalan mendekati Gabo dan memukul wajahnya dengan keras. “Ini untuk yang sudah kamu lakukan pada Patricia,” hardiknya. Márquez terhuyung ke belakang, hidungnya berdarah. Tidak pernah ada penjelasan tentang apa yang telah dilakukan oleh Márquez terhadap Patricia. Mereka tak pernah bicara lagi sejak itu—satu orang memikul lebam, yang lainnya memikul amarah.
Pada 1980-an ia mengubah dirinya menjadi lebih pahit—seorang idealis yang kecewa, tetapi tetap berpikir, dan terus menulis. Ia menolak sosialisme, mendekap liberalisme, dan mulai menulis esai-esai dengan judul seperti “Against Socialism Forever”, tetap dalam caranya yang lugas dan tak pernah berputar-putar dengan kiasan.
Ia lebih memilih apa adanya ketimbang disukai, dan ia menulis seolah-olah kehidupan bergantung kepada tulisan-tulisannya. Novel demi novel, semuanya terobsesi pada tema yang sama: korupsi di dalam kekuasaan yang merayap pelan-pelan seperti hantu, kesepian dalam kepemimpinan, dan ketundukan yang menghancurkan manusia. The War of the End of the World (1981), eposnya tentang pemberontakan Canudos di Brasil, barangkali adalah novelnya yang terbaik—panjang, brutal, dan sama sekali tidak sentimental. Tak ada orang suci di dalamnya, hanya manusia. Dan, jauh di dalam dirinya, ia mencintai manusia, bahkan saat mereka hancur.
Namun menulis saja tampaknya tidak cukup.
Pada 1990, ketika Peru di ambang kehancuran, dengan inflasi melonjak dan kelompok teroris menebar ketakutan, Vargas Llosa mencalonkan diri sebagai presiden dan menawarkan liberalisme klasik: deregulasi, supremasi hukum, dan keterbukaan. Ia berkampanye dengan celana jins dan amarah, dan terdengar seperti nabi pasar bebas tepat pada saat pasar mulai kehilangan pamornya. Lawan utamanya, seorang agronom tak dikenal bernama Alberto Fujimori, menawarkan janji-janji samar, nama belakang Jepang, dan tanpa ideologi. Fujimori menang.
Vargas Llosa, kalah dan pahit, terbang ke Eropa bersama istrinya dan tak pernah kembali lagi ke politik Peru. Ia sudah mencoba mengubah negerinya melalui novel, kemudian melalui politik, dan keduanya gagal mengubah Peru, tetapi novel-novelnya tetap hidup dan ia terus menulis, tetap tentang korupsi dan kekuasaan.
Para kritikus menganggap beberapa karya terakhirnya terasa sekadar formalitas, seperti variasi dari melodi lama. Vargas Llosa telah menjadi penulis yang tak lagi disentuh editor. Ia menerbitkan memoar, esai, polemik, dan bergabung dengan Akademi Kerajaan Spanyol. Hadiah Nobel 2010 atas "pemetaan struktur kekuasaan dan gambaran tajam atas perlawanan, pemberontakan, dan kekalahan individu" menjadi pengakuan yang terlambat untuk anak muda pemarah yang menulis dengan keyakinan bahwa tulisan adalah cara untuk mengubah dunia.
Setelah itu, namanya sering muncul di media-media gosip karena meninggalkan Patricia, istri yang sudah 50 tahun menemaninya, demi Isabel Preysler, seorang sosialita yang lebih dikenal karena tiga suaminya yang terdahulu, salah satunya Julio Iglesias. Para penggemarnya angkat bahu, dan meyakini bahwa Vargas Llosa telah membuat kesalahan. Ia meninggalkan istri yang telah membuatnya lebih teratur, menjadikannya penulis yang lebih baik, membantunya tetap menjadi pria yang utuh selama puluhan tahun; istri yang, tanpanya, ia akan habis terbakar sebelum usia 40.
Tapi ia bukan orang yang gampang merasa keliru. Pandangan politiknya tetap keras kepala. Ia memuji Margaret Thatcher, memperingatkan bahaya “populisme kultural,” dan mengecam politik identitas dengan semangat seseorang yang tak pernah benar-benar memahami mengapa orang membutuhkan lebih dari sekadar kebebasan dan sastra.
Setelah lama menjadi pengkritik otoritarianisme, terutama lewat karya dan sikap politiknya, Vargas Llosa mengejutkan banyak orang ketika mulai mendukung Keiko Fujimori, terutama dalam pemilihan presiden Peru 2021. Ayah Keiko, Alberto Fujimori, dikenal menjalankan pemerintahan yang represif, membubarkan parlemen, dan melanggar HAM.
Vargas Llosa pernah sangat keras mengkritik rezim Fujimori senior, bahkan menjadikan pengalamannya melawan rezim itu sebagai tema esai dan wawancara selama bertahun-tahun. Namun saat menghadapi pilihan antara Keiko dan lawan politiknya yang berhaluan kiri, Pedro Castillo, ia mendukung Keiko—dengan alasan pragmatis: “Komunisme lebih buruk.”
Ia mengecewakan banyak pengagumnya yang melihat dukungan itu sebagai bentuk kemunduran dari prinsip-prinsip yang selama ini ia bela. Sebagian menyebutnya sebagai “realisme pahit,” sebagian lain menyebutnya sebagai “pengkhianatan intelektual.”
Vargas Llosa, seperti biasa, tidak meminta maaf. Ia jarang meminta maaf dan tidak pernah mencabut kata-katanya. Ia tampaknya lebih tertarik untuk bersikap jelas ketimbang dimengerti.
Ia membenci eufemisme, mengejek jargon, dan tetap percaya bahwa tulisan bisa membentuk dunia—meski semakin sedikit orang yang membaca. Ia mengajarkan bahwa fiksi adalah alat untuk memahami kebohongan yang kita jalani dalam hidup. Ia percaya pada novel sebagai tindakan perlawanan sipil.
Dan ia percaya pada Peru, secara keras dan perih, dan mengatakan bahwa setiap penulis punya negeri tak terlihat, tempat yang coba mereka bentuk ulang melalui paragraf demi paragraf. Baginya, negeri itu selalu Peru: negeri yang rusak, mustahil diperbaiki, tetapi mustahil ditinggalkan.
Ia terus menulis karena meyakini bahwa “menulis adalah cara melawan kematian”, dan ia meninggal pada 13 April 2025 di usia 89. Ia kalah dalam pertempuran melawan kematian, tetapi tidak dalam peperangan. Novel-novelnya masih bernapas, kalimat-kalimatnya masih melangkah ke mana-mana, dan Peru dalam fiksinya—kejam, jenaka, tragis, absurd—masih lebih nyata daripada negara mana pun versi politisi.
Dengan pendirian yang keras kepala, tidak selalu bijak, dan sering mengecewakan orang banyak, ia tetap istimewa sebagai penulis. Ia menunjukkan bahwa sastra bukan pelarian, tapi konfrontasi, dan bahwa cerita, jika dituturkan dengan baik, bisa mempermalukan tiran, memikat pikiran, dan hidup lebih lama daripada monumen.
0 komentar:
Posting Komentar