alt/text gambar

Kamis, 17 April 2025

Topik Pilihan:

Untuk Apa Mempersoalkan Realitas?

F. Budi Hardiman


Oleh: F Budi Hardiman


Marilah kita mulai dengan satu pertanyaan: manfaat apakah yang dapat kita peroleh dari belajar filsafat? Kalau pertanyaan ini sungguh kita sampaikan kepada seorang yang pernah belajar filsafat, barangkali jawabannya tidak seperti yang kita harapkan. Pertanyaan tentang "manfaat" meminta jawaban yang bersifat praktis dan konkret. Jawaban atas pertanyaan tentang apa gunanya sebatang pensil adalah 'untuk menulis'. Persis jawaban semacam ini tidak dapat diberikan oleh orang yang belajar filsafat. Filsafat, misalnya, tak dapat menghasilkan teknologi seperti yang dengan sangat gemilang dibuktikan oleh ilmu-ilmu alam. Filsafat juga tidak dapat secara langsung menghasilkan penataan sosial, seperti yang bisa dilakukan sosiologi atau ekonomi. Mengharapkan sebuah efek material tertentu dari filsafat tampaknya tidak pada tempatnya. Akan tetapi, apakah betul bahwa filsafat lantas tidak berguna. 

Menyelami Realitas 

Awal dari filsafat adalah bertanya, bertanya tentang apa saja atau singkatnya, mempersoalkan realitas. Dua unsur yang terpenting di dalam berfilsafat adalah ”mempersoalkan” dan ”realitas”. Kedua kata ini tidak segera menjadi jelas. Kalau Anda melihat tetangga Anda miskin sejak lama, belum tentu realitas itu membuat Anda mempersoalkannya. Bertahun-tahun Anda hidup sekampung dan memandang keadaannya sebagai nasib yang sudah selayaknya. Mungkin Anda melihat orang itu malas dan tidak pandai mengatur hidupnya, atau ia dilahirkan dari keluarga buruh tani yang melarat. Lantas ”kewajaran” membuat keadaannya dapat dimengerti. Kemiskinan menjadi sesuatu yang sudah barang tentu. Orang kebanyakan mengambil sikap semacam ini. Namun, kalau pada suatu hari Anda melihatnya mengundang banyak orang untuk merayakan pesta pernikahan putrinya di gubuknya dengan biaya yang cukup tinggi baginya, dan di hari lain Anda melihat beberapa penagih utang menggedor pintu gubuknya, Anda mulai menyangsikan ”kewajaran” itu. Anda mulai mempersoalkan realitas yang Anda lihat, entah dengan mencari kaitan-kaitannya dengan hal-hal lain, atau mencari sebab. 

Namun, itu belum ”mempersoalkan” yang dimaksudkan di sini. Hal seperti itu juga dilakukan orang di jalan. Kalau dari 'data' itu Anda terus mencari penjelasan tentang kaitan dan sebab itu, ada harapan Anda akan menembus gejala dan menemukan realitas. Akan tetapi, jalan ke sana tidak sederhana. Kita harus berjumpa dengan pribadi itu, bertanya dan mendapat jawaban. Bukan hanya itu, kalau kita sungguh mau memahami (Verstehen) realitas yang disebut dengan kata ”kemiskinan” itu, kita tidak bisa sekadar meneropongnya dari luar, meskipun pada tahap tertentu kita memang harus meneropong untuk mengetahui sesuatu. Lebih lagi, kita perlu ambil bagian dalam realitas itu. Misalnya, ikut berbagi harapan, perasaan, perjuangan, cita-cita, kekecewaan, dan seterusnya. Singkatnya, memahaminya ”dari dalam”. Lalu, lewat proses, kemiskinan bukan hanya tampak sebagai barang yang berdiri di luar kita dan orang itu, melainkan melekat pada diri manusia ini. 

Hasil peneropongan kita ”dari luar” itu tentu sangat berguna. Dengan itu, kita membandingkan, mencari kaitan, mencari sebab, menelusuri sejarah, dan seterusnya, dengan hal-hal lahiriah lainnya. Misalnya, kita menemukan struktur-struktur yang membuat orang itu miskin, entah struktur sosial, politis, ataupun budaya. Kalau kita menjelaskan struktur-struktur yang bisa diuji secara empiris itu, kita mendapatkan sebuah analisis empiris tentang realitas itu. Itulah refleksi tahap pertama yang Anda lakukan untuk mempersoalkan kewajaran itu. 

Pemahaman kita "dari dalam” mengungkap lebih banyak lagi. Misalnya, Anda akan menemukan kompleks perasaan-perasaan, keinginan-keinginan, atau pikiran-pikiran yang berkaitan dengan kemiskinan itu. Singkatnya, kemiskinan ternyata bukan soal material yang objektif, melainkan juga menembus penghayatan batin dan kesadaran tetangga Anda itu. Anda menemukan struktur-struktur dalam dari kemiskinan itu. Ini pun sebuah refleksi tahap pertama, hanya kali ini Anda melakukannya dari segi dalam, sedang yang sebelumnya dari segi luar. 

Kalau sekarang kita menyelam terus ke dalam realitas batin, dan juga meliput sampai seluas-luasnya realitas lahiriah, kita mulai melakukan refleksi tahap kedua. Harapan kita adalah menemukan struktur-struktur umum yang paling luas dan niscaya yang berdiri di luar orang itu, yang berkaitan dengan kemiskinannya, dan menemukan struktur-struktur subjektif paling dalam yang berkaitan dengan kesadaran orang itu, yang juga berkaitan dengan keadaan miskinnya. Dengan harapan pertama itu, kita mungkin akan menemukan sejarah kita, susunan kelas masyarakat kita, tuntutan-tuntutan kebudayaan kita, dan seterusnya. Dari yang terakhir, kita mungkin akan memperoleh persepsi-persepsi, cara berpikir, sikap-sikap, disposisi-disposisi, cita-cita, dan seterusnya yang bukan hanya dimiliki oleh orang tertentu itu, melainkan juga oleh manusia Indonesia, atau bahkan manusia pada umumnya. 

Kemudian, dari kemiskinan partikular itu yang menyangkut individu tertentu, kita bisa dibawa lewat "petualangan mempersoalkan” ke kemiskinan general, kemiskinan bangsa ini. Tentu saja perjalanan itu bukan semacam safari untuk menonton ”hewan-hewan kemiskinan” di dalam masyarakat, melainkan sebuah perjuangan dan pergumulan mencari data, mempersoalkan, bertindak, merefleksikan, menguji, menemukan berbagai tilikan, memilih, terlibat, dan semua ini didorong oleh sebuah keprihatinan dasar untuk memihak manusia yang perealisasian dirinya dan kemerdekaannya terhambat oleh realitas konkret emepiris itu. Kaitan integral dari realitas yang paling partikular ke yang paling total, dari kesadaran yang paling subjektif sampai ke ideologi yang paling objektif, situasi yang "paling total dan paling radikal” itu, adalah jawaban sebagai hasil refleksi tahap kedua. Lantas, Anda mulai menyadari bahwa " mempersoalkan” bukan soal yang gamblang dan gampang. 

Realitas dan Interpretasi 

Bagaimana dengan ”realitas” sendiri? Istilah ini pun tidak segera menjadi jelas. Peristiwa bencana alam yang menimpa tetangga Anda dulu sehingga turut membuatnya miskin adalah sebuah realitas. Lalu, sikap terhadap peristiwa itu, misalnya memandangnya sebagai takdir yang menentukan kemiskinannya, juga sebuah realitas. Demikian juga, pesta perkawinan yang mahal untuk menampilkan diri sebagai warga terhormat itu pun sebuah realitas. Jaringan lintah darat yang menghisap tetangga itu, sampai pada ajaran-ajaran guru-gurunya, pidato-pidato para pejabat, khotbah-khotbah para tokoh agama, pergaulan dengan teman-teman sekampungnya juga realitas. Perang Teluk, susunan ekonomi dunia, tertib moral internasional, ekspor migas, nonmigas, pajak, pungutan, budget negara, devisa, modal, dan distribusi semuanya ini yang turut mempermudah atau mempersulit masyarakat Indonesia, warga kampungnya, dan akhirnya "nasib”-nya, juga sebuah realitas. Ternyata, kata ”realitas” masih membutuhkan banyak keterangan. 

Peristiwa bencana alam merupakan realitas yang berbeda dari realitas-realitas yang lain, misalnya, khotbah-khotbah, pidato-pidato, jaringan lintah darat, dan seterusnya. Ini sangat jelas. Yang satu adalah peristiwa alam, sedang yang lain adalah peristiwa manusiawi. Yang satu realitas alamiah, sedang yang lain adalah realitas sosial. Yang satu terjadi karena proses-proses alamiah, sedangkan yang lain terjadi karena proses-proses hubungan antarmanusia. Kedua realitas ini berada di luar diri tetangga Anda itu. Namun, bagaimana dengan sikapnya, pandangannya, pikirannya, perasaannya terhadap realitas objektif itu? Ini pun realitas jenis lain lagi, yaitu realitas yang berada di dalam dirinya yang menyangkut kehendak dan kesadarannya. Jadi, ternyata realitas yang Anda persoalkan itu yang bernama ”kemiskinan” bisa memiliki macam-macam arti. Realitas itu bisa berarti realitas alamiah, realitas sosial, realitas mirip-alam, realitas sebagaimana adanya, realitas yang seharusnya, realitas sebahaimana kita menafsirkannya, dan seterusnya. Antara orang yang mempersoalkan dan realitas itu sendiri ada hubungan timbal-balik.

Secara praktis kita hidup di dalam realitas majemuk itu, seperti hidup dalam jaring-jaring yang kusut. Duduk di bangku kuliah dan mencamkan isi kuliah bisa berarti berusaha memahami jaring-jaring yang kusut itu, bagaimana kekusutannya, untuk merapikannya atau ”menata”-nya. Namun, penataan pun sebuah pembentukan realitas, setidaknya dalam kesadaran. Apa yang diperoleh dalam kesadaran bisa terlahir ke luar kesadaran. Dengan menata kekusutan itu dalam pikiran, atau menganalisisnya, kita bisa bertindak dengan pikiran itu untuk mewujudkan penataan itu. Realitas negara Pancasila dalam kesadaran sebagian diusahakan terlahir ke luar kesadaran, yaitu sistem-sistem sosio-politis masyarakat dan negara Indonesia yang sekarang kita alami ini. 

Menafsirkan apa itu ”realitas” menjadi sangat penting untuk mewujudkan realitas itu sendiri, teristimewa dalam realitas sosial. Di dalam situasi masyarakat kontemporer ini, suara ilmu-ilmu sosial-budaya dalam menafsirkan realitas itu tentu lebih diyakini daripada suara man in the street. Namun, tafsiran itu, atau tepatnya, tafsiran-tafsiran itu, tidak dikeluarkan dari satu suara. Ada banyak suara yang berebut menyerbu untuk menafsirkan satu realitas. Tidak semuanya dianut. Namun, semua mengklaim diri sebagai suara yang paling benar, penafsiran yang paling sahih atas realitas itu, atau singkatnya paling objektif. Artinya, penafsiran itulah yang paling sesuai dengan realitas apa adanya, tidak tergantung pada sang penafsir sendiri. Dalam kasus tetangga Anda itu, ilmu sosial, psikologi, antropologi, ekonomi, dan seterusnya akan " memotret” kemiskinannya apa adanya. 

”Potret” semacam ini tentu sangat penting untuk menggambarkan mekanisme-mekanisme objektif yang menjalankan realitas itu. Jadi, kalau lembaga-lembaga negara, ormas-ormas, orpol-orpol, pranata-pranata budaya, sosial, agama dalam negara kita, dan seterusnya ”dipotret”, kita akan menemukan bagaimana semuanya itu berhubung-hubungan menjalin satu realitas, realitas sosial itu. Potret "objektif” semacam ini tentu penting, tetapi sebagaimana halnya potret, menangkap salah satu momen dari realitas itu. Lain halnya, jika realitas itu di-”film”-kan. Lalu, kita akan melihat aliran peristiwa yang menuju pada realitas itu. Dalam kasus tetangga Anda, peristiwa bencana alam itu, para penagih utang, pesta perkawinan, dan seterusnya saling berkaitan dari waktu ke waktu. Namun, ”film” ini pun, sebagaimana disajikan oleh historiografi atau ilmu sejarah, bisa merupakan sebuah film yang berjalan menurut skenario pembuatnya, bukan menangkap realitas apa adanya. Lantas juga ada masalah objektivitas dalam ilmu sejarah. 

Satu hal yang bisa kita pegang adalah bahwa realitas itu bukan sekadar mirip sebuah ”potret” melainkan juga ”film” dinamis bergerak, mengalir, atau singkatnya, selalu berada dalam "proses menjadi”. Penafsiran-penafsiran ilmu-ilmu sosiohistoris terhadap realitas itu memiliki dua pengandaian. Pertama, tafsiran-tafsiran itu dianggap lepas dari penafsirannya, atau "objektif ”. Kedua, realitas yang ditafsirkan dipandang sebagai ”fakta” yang tidak boleh dinilai, kalau tak mau dikatakan sebagai "wajar terjadi”. Keluar dari dua pengandaian ini, seorang ilmuwan sosial bisa beralih fungsi menjadi man in the street. Namun, penafsiran ”faktual” macam ini memang menjadi ciri refleksi tahap pertama yang telah kita singgung di atas. Dalam arti tertentu, masyarakat kontemporer ditandai oleh keyakinan yang cukup besar akan, kalau tak mau dikatakan memutlakkan penafsiran-penafsiran macam ini. Lalu yang paling "berkuasa” untuk menafsirkan realitas sebagai realitas adalah ilmu-ilmu pengetahuan, dan pada taraf tertentu jadilah realitas itu menurut penafsiran yang diyakininya. 

Patologi ”Realitas” 

Mempersoalkan realitas tidak hanya sampai di situ. Tidak disangkal pentingnya penafsiran faktual oleh ilmu-ilmu sosial dan sejarah itu tetapi tidak cukus. "Fakta” itu sejauh menyangkut masyarakat dan manusia bukan hanya realitas yang ada sekarang, melainkan juga punya masa lampau dan masa depan. Masa lalu dan masa depan ini mensituasikan fakta itu pada keadaannya sekarang. Ada sebuah proses pembentukan realitas yang telah dimulai sejak masa lampau, sedang berlangsung dan menuju ke masa depan tertentu. Kemiskinan tetangga Anda itu terbentuk lewat proses pembentukan yang lama sejak masa silam, sekarang masih berkubang dalam kemiskinan itu. Bagaimana dengan masa depannya? Kalau Anda adalah manusia yang mempunyai perasaan (dan bukan ilmuwan positif memotret fakta statis, tentu Anda ”berharap” situasi tetangga Anda akan berubah menjadi lebih baik di masa depan. Persis harapan ini bisa mendorong suatu bentuk ”mempersoalkan realitas” yang sangat kritis. 

Menempatkan realitas sosial dalam konteks waktu dan menemukan proses pembentukannya bisa menjadi pengetahuan yang kritis. Dalam kasus realitas sosial, kita tak dapat mengabaikan sebuah kegiatan untuk meneliti kesadaran manusia dan bagaimana kaitannya dengan pembentukan realitas itu sehingga realitas ciptaannya itu menjadi "objektif ”. Misalnya, sebelum Perang Teluk dimulai, telah ada kondisi-kondisi historis yang meruncing pada perang itu, dan sebelum Perang Teluk menjadi fakta objektif yang berbalik menguasai individu-individu, ada kehendak-kehendak tokoh-tokoh politis, seperti Sadam dan Bush, yang membentuk situasi objektif itu. Perang bisa tak terkendali oleh mereka yang membuatnya. Dalam hal ini ”mempersoalkan realitas” menjadi kritis kalau kita ”curiga” terhadap realitas. Apa yang kita amati itu bukan suatu realitas sebagaimana yang diharapkan, bahkan sebuah realitas yang "patologis”. 

Realitas yang patologis”, seperti ketimpangan sosial, ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, kekerasan, dan seterusnya, dapat dibayangkan sebagai sebuah film tentang psikologi atau abnormalitas, singkatnya: sebuah cerita tentang hambatan-hambatan perealisasian diri manusia. Karena itu juga, proses pembentukan realitas patologis itu mengalami kendala-kendala yang menggiring pada realitas yang ada sekarang, yang tidak dipersoalkan oleh ilmu-ilmu faktual itu. Sebagian besar kendala menyangkut kesadaran tokoh-tokoh film itu beserta figuran-figurannya. Kesadaran tak pernah dijumpai dalam bentuk murni dalam arti ”kebenaran murni”. Selalu ada kaitannya dengan konteks praksis sosial tertentu. Dalam kasus tetangga Anda itu, pidato, khotbah, bencana, sistem ekonomi, dan seterusnya turut membentuk kesadarannya. Singkatnya, apa yang disebut sebagai "realitas” oleh ilmu-ilmu faktual itu pun membentuk kesadarannya. Kalau kesadaran itu melestarikan realitas patologis itu, kesadaran itu menghambat perealisasian dirinya. Dalam masyarakat, kesadaran menjadi kolektif, lalu sejauh melestarikan realitas sosial patologis, kesadaran pun menghambat perealisasian masyarakat. Kesadaran kolektif yang patologis ini ”objektif”, dapat memaksa individu "berpikir” menurut tuntutan isinya. Itulah ideologi. 

Struktur-struktur dasariah dari bentuk-bentuk kesadaran patologis itu dan kaitannya dengan praktek-praktek yang membentuk realitas patologis itu tidak dapat diketahui oleh ilmu-ilmu faktual yang mengejar objektivitas. Disposisi dasar ilmu-ilmu itulah yang tidak memungkinkannya, yaitu "menyalin” fakta. Lantas tentu ada sebuah bentuk pengetahuan yang memiliki disposisi dasar yang lain, yaitu "mencurigai” fakta itu dan "mengharapkan perubahannya”. Bentuk pengetahuan yang kritis ini justru tidak mengklaim dirinya objektif dalam arti bebas dari penafsir realitas, melainkan justru dimungkinkan dan dibentuk oleh sebuah kepentinangan yang radikal dalam diri penafsirnya, yaitu kepentingan untuk menyingkirkan kendala-kendala perealisasian diri manusia itu. Singkatnya, bentuk pengetahuan ini terkait dengan kepentingan untuk membebaskan. 

Tentu bentuk pengetahuan ini pada tahap tertentu menghargai tafsiran faktual dari ilmu-ilmu sosio-historis, tetapi pada refleksi tahap keduanya, pengetahuan ini pada gilirannya juga "mencurigai” tafsiran faktual itu. Tafsiran-tafsitan faktual-ilmiah itu telah berhasil meliput realitas seluas-luasnya, tetapi tidak mencurigai sifat patologis dari realitas itu dan juga tidak mencurigai bahwa dirinya dapat berfungsi sebagai alat untuk melestarikan realitas patologis itu. Tugas dari bentuk pengetahuan kritis ini adalah baik menyingkapkan ciri-ciri patologis realitas itu maupun memperlihatkan fungsi tafsiran-tafsiran faktual-ilmiah dalam melestarikan realitas patologis itu. 

Lalu, kita bisa memperinci macam-macam bentuk tafsiran ilmiah-faktual yang terwujud dalam ilmu-ilmu sosial-sejarah, sistem moral, sistem budaya, sistem politik, sistem pengetahuan, legitimasi-legitimasi, teologi, asumsi kurikulum, sebut saja serangkaian matakuliah dan ilmu-ilmu yang bersifat ”faktual” tentang realitas sosial. Kita juga dapat menderet hal-hal lain, seperti anggapan umum, sistem kepercayaan, pandangan hidup, dan seterusnya. Semua yang dapat membentuk "realitas patologis” itu dapat menjadi sasaran pengetahuan kritis itu. 

Bukan mustahil berbagai macam tafsiran ”faktual” dan ilmu-ilmu pengetahuan beserta praktek-praktek yang diyakininya membentuk kemiskinan dan penderitaan tetangga Anda yang malang itu. Kalau Anda dan dia, dan saya, mencurigai secara kritisa apa yang diyakini sebagai ”realitas” sehingga disposisi yang ”emansipatoris” ini mampu menunjukkan bahwa realitas itu adalah terhambatnya perealisasian diri masyarakat dan manusia atau singkatnya ”realitas patologis”, kita sungguh mulai "mempersoalkan realitas”. Kalau ini kita lakukan secara metodis dengan pertanggungjawaban rasional, pengetahuan kita menjadi kritis. Lalu, bentuk pengetahuan yang kritis baik terhadap realitas maupun tafsiran-tafsiran ilmiah atasnya inilah filsafat yang diharapkan dapat berdiri di tengah-tengah ilmu-ilmu pengetahuan. 

Namun dalam arti ini, filsafat bukan menjadi semacam puncak ekstasis rasional ilmu-ilmu, mahkota ilmu-ilmu, atau ratu ilmu-ilmu, status simbolis yang boleh diagungkan, meski tak punya tangan untuk berbuat. Filsafat kritis yang dimaksud di sini memiliki fungsi reflektif dan pragmatis, yaitu menempatkan klaim-klaim analitis ilmu-ilmu pengetahuan dalam rangka ”proses transformasi abadi” masyarakat dan umat manusia. Dengan demikian, filsafat memberikan insight teoretis-etis bagi ilmu-ilmu pengetahuan dan masyarakat. 

Perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang menjanjikan sampai dewasa ini bukannya menghabisi persoalan-persoalan manusia, justru membuka persoalan-persoalan baru, termasuk persoalan tentang model-model realitas yang ”dikehendaki” dan faktor-faktor manusiawi yang tersirat dalam klaim-klaim ”ilmiah” itu. Memaksa realitas dengan memodelkannya dengan satu model adalah penyempitan, pengeringan, pelenyapan nuansa-nuansa, pelumpuhan, dan penyumbatan "napas" yang membahayakan umat manusia. Adalah tugas filsafat di tengah ilmu-ilmu, mengembalikan kecanggihan-kecanggihan konseptual yang berlebihan pada pangkalnya yang sederhana namun fundamental, menyingkapkan kaitan klaim "objektif" itu dengan matra kekuasaan dan kepentingan, dan pada gilirannya membantu proses pemahaman-diri dan peningkatan-diri masyarakat. ”Mempersoalkan realitas”, kalau demikian, dulu, hari ini, dan semoga juga di masa depan, merupakan kegiatan dasar yang selalu berkembang yang bukannya tanpa manfaat praktis. Seperti halnya hidup yang tidak dikaji adalah hidup yang tidak layak dihidupi, pada akhirnya realitas yang tidak dipersoalkan adalah realitas yang tidak layak dihayati.

(F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, h. 13-20). 

Tulisan ini sudah diterbitkan dalam Majalah Basis, Juli 1991

Catatan: 

Tugas filsafat adalah mengembalikan kecanggihan konseptual kepada pangkalnya yang sederhana (NE). 

0 komentar:

Posting Komentar