alt/text gambar

Kamis, 17 April 2025

Topik Pilihan:

AYU TAK MAMPIR DI PRABUMULIH


Majalah GATRA menilai bahwa "Roman Saman karya Ayu Utami dipuji-puji. Padahal plotnya tak meyakinkan. Latar ruang dan waktunya belum meraih realisme magis."

GATRA adalah majalah "pecahan" TEMPO yang didirikan sebagian wartawan yang hengkang dari TEMPO--seperti halnya juga majalah EDITOR. Sebagai pembaca, saya merasakan: bila EDITOR masih "senafas"--bila tidak memakai kata seideologi"--dengan TEMPO, maka GATRA dalam banyak hal: ideologi atau sudut pandang-nya merupakan "antitesa" TEMPO. Saya memang tidak menemukan ulasan novel Saman dari majalah TEMPO, namun saya duga mingguan ini pastilah memberi nilai yang bagus. 


AYU TAK MAMPIR DI PRABUMULIH


(GATRA, 18 April 1998)


SAMAN adalah karya pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1997 yang menggemparkan. Tak kepalang, Prof Dr Sapardi Djoko Damono, salah seorang juri, memuji fragmen dari novel Laila Tak Mampir di New York karya Ayu Utami itu sebagai memamerkan teknik komposisi yang, setahu Sapardi, belum pernah dilakukan pengarang lain di Indonesia, dan di luar negeri. Ada perpaduan antara narasi, esai, dan puisi. 

Dapatkah Saman disebut sebagai benih dari suatu magnum opus (karya agung) dalam sejarah sastra dunia? Terlalu dini untuk menjawabnya. Meskipun dewan juri--Sapardi, Dr Faruk HT, Dr Ignas Kleden--telah memilih roman 137 halaman itu sebagai yang terbaik, menyisihkan 70 finalis lain, Maret lalu. 

Kegemparan juga melanda juri lain. Faruk H.T., dosen Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, kaget ketika mengetahui bahwa penulisnya ternyata bukan Nirwan Dewanto, Goenawan Mohamad, atau Y.B Mangunwijaya, yang telanjur direka-reka Faruk sebagai pengarang Saman. Maklum, dalam proses penilaian, juri hanya berhadapan dengan teks karya. Nama pengarang sengaja disembunyikan. 

Memang, secara intuitif, Faruk merasakan bahasanya indah dan mengalir. Transisi antarkalimat, antarparagraf, dan antarbab, masuknya enak. Metaforanya yang orisinal muncul bukan karena keterampilan berbahasa saja, melainkan juga karena refleksinya tentang laki-laki dan perempuan, cinta, dan kekuasaan amat mengagetkan. 

Roman itu bagai sebuah multitamasya. Ada desa terpencil. Rinci, meyakinkan. Ada ladang minyak di lepas pantai, yang jarang disentuh novel, dan amat detail. Belum lagi dunia pastor, yang kontroversial. Lalu, lari ke New York, balik ke Jakarta. Ada pula dunia wanita yang tak semata objek patriarki. 

Kesan panoramik itu juga melenturkan gagasan feminis, postmodernism, politik, tak lagi dalam bentuk abstraksi, melainkan terlukis kongkret. Tak dijejali teori-teori membosankan. Faruk tak menyangka bahwa kemampuan Ayu sekelas dengan bahasa Catatan Pinggir, esai yang dulu ditulis Goenawan Mohamad di Majalah Tempo. 

Ketika membaca bagian minyak, Faruk mencermati, “Wah, ini Nirwan”--kritikus dan alumnus Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung--karena detail betul”. Saat membaca perihal pastor, Faruk mengira, “Jangan-jangan Romo Mangun.” Faruk mengaku belum pernah mengenal Ayu, juga tulisannya. “Wah tenyata saya begitu bodohnya, sehingga tidak mengenal Ayu,” kata salah seorang pengamat sastra Indonesia terkemuka itu. 

Tentang orisinalitas roman ini itu, meskipun hal ini di luar kriteria penjurian, Faruk menilai tak soal seandainya merupakan karya kolektif. Bahkan seandainya karya orang lain, jika pengarangnya ikhlas, sah-sah saja. “Pokoknya, tidak mencuri,” kata Faruk. Bisa saja seorang pengarang berdiskusi dengan ahlinya. Kalau seorang menulis soal kilang minyak, kemudian berdiskusi dengan ahlinya, tak jadi soal. 

Faruk tak mencurigai adanya guest writer atau ghost writer--suatu hal yang tak bisa dikatakan kalau tidak ada buktinya--di balik Ayu Utami. Lagi pula, bagi Faruk, sastra di masa depan tak lagi subjektif--cakrawalanya bisa meluas berkat informasi di masa global sekarang. 

Novelis Y.B Mangunwijaya juga tak curiga. Menurut pastor yang akrab disapa Romo Mangun itu, seandainya Ayu Utami mendapat data dari pihak lain, pihak itu sekadar “penyetor data”. Padahal data saja belum merupakan karya sastra. “Diperlihatkan kepada Goenawan atau Nirwan, lalu dikoreksi, begitu saya kira,” kata Romo Mangun. 

Mungkin karena pergaulan Ayu di lingkungan Jurnal Kebudayaan Kalam yang diasuh Goenawan dan Nirwan, bisa saja ia berkembang jika belajar intens. Ayu memang seorang redaktur di situ. Tak salah jika seseorang meniru idolanya. “Penulis itu wajar punya idola, kata Faruk. Novelis Umar Kayam juga mengidolakan Hemingway, Goenawan pun memuja penyair Emily Dickinson, perempuan Amerika itu. 

Namun, lepas dari itu semua, ada yang mengusik ketika membaca Saman. Misalnya, plot cerita tokoh Saman yang mulanya logis dan lancar, tiba-tiba melompat. Malah tak meyakinkan (lihat: Mikrofon Tanpa Jiwa). Episode Saman itu pun mirip kasus Sei Lepan, sebuah lokasi transmigrasi lokal di Sumatera Utara, yang pada Saman menjadi Sei Kumbang, dekat Prabumulih, Sumatera Selatan. Memang gaya realisme magis itu sah secara estetik, apalagi dibarengi dengan riset seperti sudah dilakukan Pramoedya Ananta Toer. 

Tapi menurut Kompas 5 April lalu, Ayu ternyata tak pernah riset ke Prabumulih (atau Sei Lepan). Padahal, ia mengaku bercerita dalam bentuk “orang pertama”--dan ihwal Sei Kumbang bisa ditampilkannya secara deskriptif. Ia mengaku tak bisa menulis puisi, meskipun bahasa Saman sangat puitis. Ia juga tak bisa membedakan Dasamuka dan Rahwana, meskipun metafor pakeliran itu ada dalam Saman. Sayang, Goenawan dan Ayu menolak diwawancari GATRA. 

Bersihar Lubis dan Joko Syahban  


MIKOFON TANPA JIWA

Romo muda itu lenyap. Lalu, ia muncul sebagai aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) radikal pada 1990-1991. Saman kini namanya. Hitam dan kurus. Rambutnya yang sebahu kini terpangkas. Dagunya tak tercukur. Dulu ia bernama Athanasius Wisanggeni, lulusan Sekolah Tinggi Teologia Driyarkara dan Institut Pertanian Bogor. Setelah ditahbiskan, Wis menjadi pastor di Prabumulih, Sumatera Selatan sejak 1984. 

Dari empati kepada gadis Upi, yang gagu, terganggu ingatan, Wis tercebur ke dalam derita transmigran Sei Kambang, di selatan Prabumulih. Ia merasa berdosa tidur di kasur paroki yang empuk, dan makan rantangan yang lezat. Berdosa jika hanya bedoa, membiarkan petani digencet nasib buruk. 

Wis menjadi “romo pembangunan”. Tapi ketika kepompong nyaris jadi kupu-kupu, serentetan teror dilancarkan PT Anugerah Lahan Makmur (ALM) yang diserahi gubernur mengonversikan lahan mereka menjadi areal perkebunan inti rakyat kelapa sawat pada 1989. Upi diperkosa. Juga perempuan lain. Kincir listrik dirusak. Kebun karet dibolduzer. Kampung mereka dibakar, penduduk kocar-kacir, dan Wis disekap orang-orang tak dikenal. 

Sang romo amat sedih karena Kristus “diam” saja. Tak menebusnya dari penangkapan gelap itu. Ia disiksa. Dipaksa mengaku mengimpor Teologi Pembebasan dari Amerika Latin, dan mewartakannya untuk membangun negara sosialis Sumatera. Kelak semua dikristenkan sebelum akhirnya dikomuniskan. 

Prahara berkecamuk. Warga Sei Kumbang menghanguskan pos satpam. Menyerbu kantor polisi, satu petugas mati. Mereka lari ke hutan, ada juga yang tertangkap. Amuk massa membakar sebuah pabrik--padahal di bunker pabrik itulah Wis ditahan. Keajaiban terjadi, Wis berlari dari kepungan api berjilam-jilam. Sejak itu, ia campakkan jubahnya. Lalu, jadi aktivis, bernama Saman. 

Begitulah, sebagaian ikhtisar episode Saman. Kita diberitahu tentang suatu latar ruang dan waktu. Memang penting, karena siapa bisa hidup di luar ruang dan waktu. Meskipun hanya rekaan, kita dikejutkan, tiba-tiba Saman lari dari Medan ketika konsentrasi buruh meletus masif pada pertengahan April 1984. 

Friksi telah menyusup ke realitas yang faktual. Ribuan buruh berdemo. Ada provokasi misterius. Toko nonpribumi dijarah. Ada pengusaha Cina, Yuly Kristanto tewas diamuk massa brutal. Muchtar Pakpahan, Ketua Umum SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) disebut-sebut. Pengacara Mayasyah ditangkap. Ketua SBSI Medan, Amosi Telaumbanua, diwawancarai Tempo di persembunyian. Saman pun dituding sebagai salah seorang dalang huru-hara--dalam fiksi. 

Dalam realitas, adalah Jannes, Parlin, dan Diapari Manurung, tiga di antara tokoh LSM yang dituduh sebagai dalang demo tersebut. Mereka lari Medan. Akhirnya, Parlin dan Jannes ditangkap di Jakarta, lalu diboyong ke Medan untuk diadili. Adapan Diapari, entah di mana berada. Saman tentu saja tak merepresentasikan Diapari. 

Tapi pemunculan Saman tak meyakinkan. Roman itu tak mengurai, kenapa ia meninggalkan Prabumulih dan berperan di Medan. Logika pembaca telah dilecehkan. Kehadiran Saman pun terpinggirkan, tak melebur dengan latar ruang dan waktu. Latar dan Saman berdiri sendiri-sendiri. Saman laiknya pembaca koran belaka. Ikhtiar mengaduk realitas dan nonrealitas gagal meraih realisme magis. 

Episode di Sei Kumbang pun mirip kasus Sei Lepan di Langkat, Sumatera Utara, yang memang benar-benar terjadi, sebagaimana digambarkan tadi. LSM dan Lembaga Bantuan Hukum protes bertubi-tubi. {T ALM--singkatan Anugerah Langkat Makmur--pun benar-benar ada di Sei Lepan. Dalam Saman, “Langkat” berubah menjadi “Lahan”. 

Kenapa Saman sebagai dunia rekaan tak berani bersatu dengan realitas Sei Lepan agar melahirkan “realitas baru” yang dahsyat, sekaligus meyakinkan? Menulis fiksi pada masa realitas sudah lebih fiksi ketimbang fiksi memang menggoda. Meskpun itu tak mudah. 

Logika pembaca juga terganggu ketika Saman bersenggama dengan Yasmin di Pedusi Inn Pekanbaru, dalam pelariannya ke Amerika via Singapura pada 22 April 1984. Kok, Yasmin bernafsu, dan Saman mau--sangat gelap--seolah keduanya tanpa sejarah. Padahal, Yasmin seorang yang setia kepada suami. Padahal, Saman sejak menanggalkan jubah, tak berniat meninggalkan kaulnya. Perilaku manusia punya asal-usul budaya dan sejarah. 

Di akhir roman, Saman dan Yasmin saling berkirim kabar melalui surat elektronik--tentang seks, kekuasaan patriarkis, wanita, dan Tuhan. Pembenaran itu datang “sesudah” untuk sesuatu yang “sebelum”--’kok bisa’. Jadinya, cuma bagai panorama gagasan sembari mencuplik Perjanjian Lama dari masa Musa. Saman telah menjadi mikrofon. Tak berjiwa. 

Kisah Taurat, yang memuliakan lembaga perkawinan sebagai penerus turunan, telah diguyoni Saman dan Yasmin. “Aku tak tahu apakah masih ada dosa. Seks terlalu indah. Barangkali karena ini Tuhan begitu cemburu hingga Ia menyuruh Musa merajam orang-orang yang berzina?” Romo Mangun sampai merasa was-was, jika roman itu dibaca mereka yang konservatif. “Kalau pihak kami (Gereka Katolik) tidak apa-apa. Tapi dari pihak lain entah,” kata Romo Mangun. 

BLU 


Sumber: GATRA, 18 April 1998.



0 komentar:

Posting Komentar