"Sastra tidak dibawa malaikat dari langit. Sastra tidak datang begitu saja. Ia lahir melalui proses pergulatan sastrawan dengan kondisi sosial—budaya zamannya. Maka, membaca karya sastra hakikatnya membaca keadaan masyarakat dan budaya yang terungkap dalam karya itu. Jadi, sastra menyimpan pemikiran sastrawannya juga."(Maman S. Mahayana, Pengantar dalam novel Idrus, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma)
***
"Karya sastra merupakan cermin masyarakat, potret kehidupan, dan gambaran semangat zamannya." (Denny Prabowo, "Idrus Memotret Kehidupan" dalam Idrus, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, Jakarta: Balai Pustaka, 2010, h. xi)
***
Manusia adalah Makhluk yang Menyukai Cerita
Sastra, bukanlah segala-galanya dalam kehidupan manusia. Namun, apakah bisa kau bayangkan apabila kehidupan manusia tiada mempunyai cerita untuk dibaca? Betapa hanya kesepian, kesunyian, dan keterasingan yang akan menimpanya. Karena bagaimanapun juga, manusia adalah makhluk yang menyukai cerita. Ia akan membangun hidupnya bersandarkan pada cerita yang diyakininya sebagai sebuah kebenaran. (Rae Wellmina)
***
"Di dunia Barat, para sastrawan besar memang dikategorikan satu kolam dengan para filsuf, sebab mereka itu sesungguhnya perenung, yang menyelami dilema, misteri, dan dinamika kehidupan manusia. Mereka mampu merumuskan secara mendalam dan menyentuh hal-hal yang biasanya tak terumuskan." (Prof. Dr. Bambang Sugiharto, guru besar filsafat Universitas Parahyangan )
**
Membaca novel sebenarnya bukan sekadar pengisi waktu luang atau hiburan, meskipun memang menyenangkan. Di dunia Barat, sejak sekolah dasar, anak-anak dibiasakan membaca novel-novel klasik, seperti karya Alexander Dumas, Victor Hugo, dan sebagainya. Di dunia Barat, para sastrawan besar memang dikategorikan satu kolam dengan para filsuf, sebab mereka itu sesungguhnya perenung, yang menyelami dilema, misteri, dan dinamika kehidupan manusia. Mereka mampu merumuskan secara mendalam dan menyentuh hal-hal yang biasanya tak terumuskan." (Prof. Dr. Bambang Sugiharto, guru besar filsafat Universitas Parahyangan )
***
“Muatan filsafat selalu menjadi titik pijak melahirkan sajak yang bermutu. Sastra dan filsafat adalah dua genre yang berbeda tetapi memiliki muatan isi yang sama. Dalam sastra ada begitu banyak muatan filosofis. Pram misalnya pernah mengatakan bahwa seorang intelektual harus adil sejak dalam pikirannya. Ini merupakan suatu rumusan karya prosa yang filosofis. Ada kedalaman nilai yang penting bagi orang lain.” (Ignas Kleden, kritikus sastra Indonesia)
***
Pentingnya Membaca Novel
Kata Rocky Gerung, akhir pekan, bacalah novel. Ada pengetahuan di dalamnya. Ada pelajaran logika di situ. Etika dan estetika banyak. Fantasi dan imajinasi tumbuh. Tragedi dan komedi jadi satire. Kosakata dan diksi bertambah. Bacalah novel. Baca, baca, baca. Agar tak mendungu.
Guru besar filsafat Universitas Parahyangan Prof Bambang Sugiharto menulis dalam kutukata.id berjudul "Mengapa Membaca Buku?":
"Membaca memperdalam cara pandang dan memperluas imajinasi. Ini terutama kalau kita membaca novel. Novel merekam jatuh-bangunnya manusia, merekam kerumitan emosi dan imajinasi manusia. Bila buku-buku ilmiah bernilai karena berisikan gagasan-gagasan yang bersifat universal, novel berharga justru karena dia merupakan tulisan individual; bagaimana kehidupan dijalani secara unik dan dipahami dari perspektif pribadi. Ini penting untuk lebih memperjelas bahwa bagi setiap orang, hidup itu memang dialami dan dipahami secara berbeda-beda. Maka untuk memahami kompleksitas kenyataan hidup tidaklah cukup kita hanya menggunakan sains. Sains penting untuk menangkap fakta dan pola. Seni (sastra) penting untuk menangkap makna, imajinasi dan rasa. Hidup manusia adalah soal makna, soal apa yang dirasa berharga, apa yang diimajinasikannya sebagai cita-cita. Dan ini memang bersifat pribadi, terkait pada pengalaman, perasaan, imajinasi, impian, yang memang berbeda-beda. Makin banyak kita membaca novel, semakin kita masuk ke dalam aneka bentuk kehidupan yang sebetulnya pelik. Misalnya, apa sebenarnya yang membuat seseorang itu menderita, termotivasi bekerja, berjuang, terluka, bermimpi; apa yang dianggapnya bahagia, dan sebagainya. Dengan cara itu, empati dan toleransi kita terhadap sesama manusia ditumbuhkan dan diperdalam. Membaca novel sebenarnya bukan sekadar pengisi waktu luang atau hiburan, meskipun memang menyenangkan. Di dunia Barat, sejak sekolah dasar, anak-anak dibiasakan membaca novel-novel klasik, seperti karya Alexander Dumas, Victor Hugo, dan sebagainya. Di dunia Barat, para sastrawan besar memang dikategorikan satu kolam dengan para filsuf, sebab mereka itu sesungguhnya perenung, yang menyelami dilema, misteri, dan dinamika kehidupan manusia. Mereka mampu merumuskan secara mendalam dan menyentuh hal-hal yang biasanya tak terumuskan."
***
"Pengarang tak bisa bersandar hanya pada pengalaman diri sendiri, sebab alangkah terbatasnya pengalaman pribadi seseorang." (Ayu Utami, dalam novel Saman)
***
Jalan Tak Ada Ujung
Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis mengajarkan pentingnya keberanian dalam menghadapi ketakutan dan ketidakpastian hidup. Melalui tokoh Guru Isa, novel ini menggambarkan bagaimana manusia sering terjebak dalam konflik batin dan rasa putus asa ketika dihadapkan pada situasi yang tak pasti. Mochtar Lubis menunjukkan: untuk menemukan makna dan kebebasan sejati, seseorang harus berani menghadapi dan melawan ketakutannya, serta terus mencari harapan di tengah-tengah keadaan yang tampaknya tak berujung. Novel ini juga mengajarkan: perjuangan melawan diri sendiri adalah salah satu bentuk keberanian terbesar yang dimiliki manusia.
***
"Menulis adalah sebuah panggilan. Penulis merasa terpanggil untuk menuangkan gagasan dengan medium bahasa. Ada gerakan dalam jiwa untuk membagi pengetahuan kepada orang lain. Sebagaimana panggilan diawali dengan sebuah kekaguman dan kesediaan untuk memberi diri, dalam hal menulis seorang penulis memiliki kegairahan untuk menulis dan berdedikasi tinggi untuk melakukannya. Panggilan menulis bersumber dari kedalaman hati untuk berbakti bagi sesama." (Ignas Kleden)
***
Membaca fiksi akan mengubah Anda.
Pengarang, komikus, dan sineas Neil Gaiman, dalam sebuah esai visualnya di The Guardian, menulis, “Fiksi membangun empati. Fiksi adalah sesuatu yang Anda bangun dari 26 huruf dan tanda baca. Anda, dan Anda sendirilah, dengan imajinasi Anda, yang menciptakan dunia dan karakter-karakter di dalamnya serta melihat melalui mata orang lain. Anda menjadi orang lain, dan ketika Anda kembali ke dunia Anda sendiri, Anda akan sedikit berubah.”
Yang dimaksud Gaiman adalah setiap kali membaca buku, Anda berdialog dengan isi buku. Aktivitas membaca bukan cuma menerima (receptive) tapi juga menghasilkan (productive).
Anda memproduksi imajinasi, pendapat, dan kesimpulan Anda sendiri—yang bisa jadi lebih luas dan bahkan berbeda dengan maksud awal penulis atau pengarang. Maka, salah satu metode pembelajaran sastra yang disarankan adalah menugaskan siswa membaca satu karya tertentu dan kemudian meminta siswa menyampaikan komentarnya atas karya tersebut di depan kelas atau melalui tulisan. (Sumber: Mengapa Anda Harus Membaca Buku Setiap Hari? - KutuKata [kutukata.id])
***
MENGAPA BACA NOVEL? Apakah sebuah novel bisa mengubah dunia? Buatku, hal semacam itu penting nggak penting, tentang bisa atau tidak novel mengubah dunia. Tetapi, yang paling penting dan lebih bisa diusahakan adalah, bagaimana sebuah novel bisa mengubah cara orang melihat dunia. Karena ketika cara pandang orang terhadap dunia bisa berubah, dunia juga bisa berubah." (Eka Kurniawan, sastrawan Indonesia yang mulai menggemparkan kancah internasional melalui novel Cantik Itu Luka)
***
"Membaca novel, bisa menghibur kita saat sedang suntuk, juga melatih imajinasi dan menambah kosakata baru di dalam kepala. Novel juga bacaan yang ringan dan jarang membuat kita merasa ngantuk di tengah membaca. Kadang kalau kita sudah ketagihan dengan alur ceritanya, bisa-bisa tanpa sadar kita langsung selesai baca sekali duduk." (https://id.quora.com/Menurut-pendapatmu-mana-yang-lebih-bermanfaat-membaca-novel-buku-sejarah-atau-main-Quora)
***
"Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa." (Jakob Sumardjo dan Saini K.M., Apresiasi Kesusastraan, Jakarta: PT Gramedia, tt, h. 3)
***
Menikmati suatu karya sastra berarti memberi "napas" bagi jiwa, mengasah rasa seni dan sense. Lewat karya-karya tersebut, manusia dapat mengasah kepekaan budi dan emosinya, bercermin—membandingkan situasi dunia yang dihuni dan dikenal oleh pengarang pada masa itu dengan dunia yang dipijak dan ditempatinya saat ini. Melalui budaya, gaya bahasa, sejarah, struktur dan tatanan masyarakat, serta segala yang menyangkut masa lalu, perasaan tertentu dapat muncul di hati, seolah-olah kita sendiri mengalaminya. —Pengantar Penerbit Balai Pustaka dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis (Jakarta: Balai Pustaka, 2009.)
***
"Untuk bertahan hidup, kau harus bercerita"
(Umberto Eco, Six Walks in the Fictional Woods,1994)
Bercerita adalah cara manusia bertahan. Melalui cerita, kita mengingat, memahami, dan memberi makna pada pengalaman. Kisah-kisah yang kita bagikan memperkuat identitas, menyatukan komunitas, dan menjaga warisan pengetahuan. Bahkan dalam situasi paling sulit, menceritakan sesuatu—baik kepada diri sendiri maupun orang lain—membantu kita menghadapi ketakutan, kesedihan, dan ketidakpastian.
Tanpa cerita, hidup kehilangan konteks, dan pengalaman menjadi sia-sia. Sejarah manusia dipenuhi dengan kisah-kisah yang diwariskan untuk menjaga keberlangsungan peradaban. Bercerita bukan hanya kebutuhan emosional, tetapi juga strategi bertahan hidup yang membuat kita tetap terhubung dengan dunia dan sesama.
Sumber: https://www.facebook.com/share/p/1A3c2AFVVi/
***
0 komentar:
Posting Komentar