Oleh: Rifkie Juliansyah
Sastra adalah lukisan dalam bahasa. Dan lukisan adalah sastra dalam warna.
Saat membaca sebuah buku berjudul Bumi Manusia dari Pramoedya A. Toer, aku mendapati banyak sekali kalimat yang menyentuh sampai pedalaman hati. Seolah seluruh kalimatnya tergelincir di antara jiwa-jiwa kemanusiaan. Berani dan penuh kasih sayang.
Banyak sekali kalimat-kalimat yang menurutku relevan pada zaman sekarang—di mana orang-orang kehilangan rasa untuk karya seni dan sastra. Di mana lukisan dan buku kehilangan penghargaannya.
Pram pernah berkata:
“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian hanya hewan yang pandai.”
Aku selalu berpikir bahwa jiwa manusia dibangun oleh dua hal: rasionalitas dan perasaan. Rasionalitas untuk kita berpikir dan bertahan hidup, sedangkan perasaan sebagai alasan kita hidup serta berikatan dengan sesama. Dua hal berlawanan yang mesti kita pelihara.
Jika kita terlalu mengedepankan rasionalitas, kita hanya akan menjadi hewan yang pandai, atau robot tanpa perasaan. Seperti orang-orang berdasi yang hobinya merusak alam, memeras rakyat kecil, dan haus kekuasaan.
Dan jika kita terlalu mengedepankan perasaan, kita hanya akan menjadi hewan yang pemalas, atau manusia yang tak punya pikiran. Selayaknya temanmu yang hobinya tiduran, mengeluh tentang keadaan, tapi tak kuasa melawan.
Seni dan sastra membantu manusia memelihara keduanya — membantu kita berpikir dan merasa. Menjadi santapan untuk jiwa-jiwa yang merana. Menuntun kita untuk mengerti apa yang orang lain rasakan dan pikirkan.
Sudah seharusnya sastra dihargai layaknya makanan. Selayaknya kebutuhan. Menjadi benda sehari-hari yang kita bawa kemana-mana, agar tak hanya kebutuhan fisiologis yang terpenuhi, tapi juga batin.
Bagiku, sastra bukan hanya sekadar buku atau tulisan, tapi sebuah peta untukku mengerti diri sendiri. Walau aksara terbatas dalam menerang, tapi cukup untuk manusia menemukan arti diri. Di tengah kompleksitas dan kontradiksinya, manusia setidaknya perlu sekali mengenali arti hidupnya. Dan sastra, adalah salah satu alatnya.
Maka, belajarlah mencintai sastra. Di samping kerumitannya dan malasnya. Sebab sastra akan menuntunmu menyelesaikan sebuah puzzle agung bernama rasa. Ia juga akan menjadi gurumu dalam persoalan cinta dan makna. Karena hidup bukan cuma tentang ada.
“I want to live, not just exist.”
0 komentar:
Posting Komentar