1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
Pemimpin Indonesia dituntut agar memiliki keyakinan beragama, keimanan, dan ketakwaan yang teguh terhadap Tuhan YME. Kesadaran sedemikian menimbulkan pengertian bahwa setiap insan Indonesia mempunyai kedudukan yang sama tingginya di hadapan Tuhan. Kesadaran tersebut menginsyafkan seorang pemimpin, bahwa dirinya bukan seorang yang maha-super, bukan pula sumber kewenangan yang mutlak dalam menentukan permasalahan dan kedudukan orang lain, terutama bawahan dan pengikut-pengikutnya.
Kesadaran beragama dan keimanan akan menjadikan orang tak merasa lebih tinggi dari orang lain, sehingga dia memiliki perasaan kasih-sayang, belas-kasih terhadap sesama, dan semangat persaudaraan terhadap bawahan yang harus dibimbing dan dikembangkan. Karena itu keimanan kepada Tuhan akan membawa orang untuk selalu berbuat adil, benar, jujur, sabar, tekun dan rendah hati (tidak sombong).
Kepercayaan kepada Tuhan akan membuat kalbu dan hati menjadi bersih dan suci lahir-batinnya, dan membuat pemimpin menjadi heneng, hening, heling dan awas-waspada.
"Heneng" dalam bahasa Indonesianya berarti diam, teduh, tenang. Dalam hal ini pemimpin diharapkan memiliki batin yang telah mengendap, sehingga dia selalu imbang tenang, tidak pernah gentar: tidak mudah menjadi gugup, khususnya pada saat-saat yang gawat.
Dalam menghadapi cobaan hidup dan bahaya yang mengancam jiwa pun dia harus tetap tenang dan tidak menjadi panik.
Sebab apabila dia menjadi takut dan panik, maka para pengikutnya menjadi kacau, dan organisasi mendapatkan kerugian. "Heneng" tenang, namun penuh ketabahan menghadapi segala tugas pekerja, serta terus berupaya mencari jalan keluar dari (impasse/jalan buntu), dan tidak pernah kehabisan akal menyelesaikan setiap permasalahan yang harus ditangani.
"Hening" itu artinya: bening, bersih, suci, sejati, ceria, jernih, murni. Pemimpin itu harus memiliki keheningan batin, yaitu ketulusan, kelurusan, dan keikhlasan. Dia selalu bersikap jujur terhadap diri sendiri dan terhadap para pengikutnya, tanpa memiliki pamrih kecuali mengabdi dan melayani sebagai seorang pemimpin. Dalam keheningan rasa dan ciptanya, dia selalu tekun memikirkan kemajuan organisasi dan kesejahteraan anak buah yang dibina dan dibimbingnya.
Hendaknya organisasi itu tidak dijadikan alat untuk mendapatkan kedudukan, pangkat, dan kekayaan bagi diri sendiri, juga bukan untuk memanjakan kepentingan pribadi pemimpin yang dijadikan "tujuan berorganisasi", tapi organisasi itu supaya dijadikan sarana untuk bersama-sama mencapai satu tujuan yang bisa memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi sesama manusia.
Heling itu artinya ingat, sadar, dan insaf. Yaitu menyadari hakikat alam dengan segala hukum-hukumnya, juga selalu ingat pada perilaku yang luhur, baik, dan jujur. Dengan demikian akan terhindar dari kesulitan, bahaya, mara, kesedihan, kemelaratan, kesengsaraan dan penderitaan. Ingat pula bahwa keserakahan hati, kemunafikan dan kejahatan itu selalu akan menyebarkan malapetaka dan kesedihan, baik pada diri sendiri maupun bagi rakyat banyak.
“Awas" artinya dapat melihat. Dapat melihat gejala yang ada di dunia, dengan jalan menguak tabir penyelebung, sehingga setiap peristiwa tampak jelas tanpa penutup, dan bisa dipahami benar. Karena semua sudah terbuka, orang tidak perlu merasa ragu-ragu, takut, dan cemas. Maka dengan kemampuan menyingkap segala warananing ngaurip (segala tabir yang meliputi kehidupan), akan tersingkap semua rahasia. Orang tidak menjadi takut, bahkan justru dapat membuat macam-macam rencana untuk masa depan. Semua kesulitan dan hambatan bisa diatasi, sehingga perencanaan dan pelaksanaan kerja bisa diselesaikan menurut jadwal semula.
Awas itu juga mengandung pengertian waspada dan bijaksana. Waspada itu tajam penglihatan, antisipatoris, bahkan menembus penglihatan ke depan atau waskita, weruh sadu runging Winarah (tahu sebelum terjadinya sesuatu).
Bijaksana itu mengandung pengertian pandai, cakap, mahir, ahli, berpengalaman, cerdik banyak akal, sehingga pribadi yang bersangkutan memiliki kewibawaan untuk memimpin.
2. Hing ngarsa sung tulada (di depan memberikan teladan)
Pemimpin yang baik adalah orang yang berani berjalan di depan, untuk menjadi ujung tombak dan tameng/perisai di arena perjuangan, untuk menghadapi rintangan dan bahaya-bahaya dalam merintis segala macam usaha. Dengan tekad besar dan keberanian yang membara dia harus sanggup bekerja paling berat, sambil menegakkan disiplin-diri sendiri maupun disiplin pengikutnya. Di depan dia menjadi tauladan yang baik.
Dia harus sanggup mengabdikan diri kepada kepentingan umum dan kepentingan segenap anggota organisasi. Dia bukan hanya pandai memberi perintah saja, akan tetapi juga bijaksana dalam memberikan petunjuk-petunjuk, nasihat-nasihat, perlindungan dan pertimbangan. Di depan dia harus benar-benar berani menjadi "ujung tombak" bagi setiap usaha rintisan dan perjuangan.
“Sebagai pemimpin yang harus berdiri di depan dia harus memiliki sifat-sifat teguh, tanggon, dan tanggung.
Teguh artinya dia memupuk kekuatan badan dan kesentosaan batin dengan jalan bekerja keras, berani menghadapi bahaya, karena menjadi pengayom (meneduhi) segenap anak buahnya.
Tanggon berarti kokoh hati, juga kekar dan perkasa badannya, besar kemauannya dalam menanggulangi bahaya lahir-batin. Dia tidak silau melihat bahaya dan kemilaunya kekayaan duniawi.
Tanggung artinya, berani bertanggung jawab walaupun mengalami banyak kesulitan, untuk menambah pengalaman dalam mencapai sasaran yang ingin dicapai. Dia akan selalu menjadi perintis di bagian depan dan menjadi pembimbing, penuntun dan pengayom bagi para pengikutnya.
3. Hing madya mangun karsa“ (di tengah membangun motivasi dan kemauan).
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau terjun di tengah-tengah anak buahnya, merasa senasib sepenanggungan, sanggup menggugah dan membangkitkan gairah serta motivasi kerja, semangat tempur/juang, dan etos kerja yang tinggi. Karena dia ada di tengah-tengah anak buahnya, maka dia selalu tanggap dan mampu berpikir serta bertindak dengan cepat serta tepat, sesuai dengan tuntutan kondisi dan situasinya.
Pemimpin yang sedemikian itu selalu memiliki kesentosaan batin. Dia menghayati kesulitan anak buahnya, dan ikut merasakan peristiwa-peristiwa yang gawat bersama-sama para pengikutnya. Pada akhirnya dia bisa menjadi sabar dan berlebar dada untuk menerima segala kelemahan dan kesalahan anak buahnya, tanpa perasaan kecewa dan menggerutu. Sebab kecewa dan gerutu itu membuktikan adanya kelemahan hati dan ketidakmampuan diri untuk memikul segala ujian, tantangan hidup dan "pana-langsan" (keprihatinan).
4. Tut wuri handayani (di belakang memberikan kekuatan)
Pada saat-saat yang tepat pemimpin juga harus sanggup berdiri di belakang anak buahnya. Hal ini bukan berarti bahwa dengan kecut hati pemimpin "bersembunyi" di belakang pengikutnya, dan mengekor di balik kekuatan anak buahnya, tapi harus diartikan sebagai mau memberikan dorongan dan kebebasan, agar bawahannya mau berprakarsa, berani berinisiatif, dan memiliki kepercayaan diri untuk berpartisipasi dan berkarya, dan tidak selalu bergantung pada perintah atasan saja.
Sekalipun mereka itu diberikan kebebasan, namun pemimpin tetap mengikuti semua kegiatan para pengikutnya dengan cermat dan teliti. Dan selalu bersikap waspada, untuk tepat pada waktunya memberikan koreksi dan pengarahan apabila terjadi kesalahan dan penyimpangan. Dengan demikian bawahan akan selalu berjalan pada rel kebijakan yang benar dan mapan, sesuai dengan policy dan rencana yang sudah digariskan.
Nasihat-nasihat, koreksi, dan petunjuk-petunjuk akan selalu diberikan atas dasar rasa sayang pada anak buah, dan didorong oleh rasa tanggung jawab besar akan keberhasilan usaha yang dilakukan bersama-sama. Dengan demikian, walaupun pemimpin berdiri di belakang, namun fungsinya memberikan daya kekuatan dan dukungan moril untuk memperkuat setiap langkah dan tindakan bawahannya. Ringkasnya, di belakang dia mendorong dan memberi pengaruh baik "yang menguatkan" kepada anak buah yang dipimpinnya.
Secara ringkas, ketiga karakteristik yaitu ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani secara implisit mengandung pengertian sebagai Pemimpin "Pancasila" itu di mana pun juga harus fungsional yaitu:
- Pemimpin mampu memimpin dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun juga. Di depan dia berfungsi sebagai front leader, di belakang sebagai rear leader, dan di tengah sebagai social leader,
- Lambang pemimpin itu adalah sebatang pohon beringin. Dengan kerimbunan daunnya di atas, dia memberikan keteduhan serta pengayoman. Dengan akarnya (di bawah) ia menyajikan tempat-duduk kepada orang yang sedang kecapaian. Akar salur-salurnya dipakai sebagai contohan bergayut. Sedang dengan batangnya (bagian tengah) dia memberikan sandaran pada punggung yang lelah.
- Dia peka terhadap tantangan, tuntutan dan perubahan-perubahan sosial di masyarakat yang menjadi semakin kompleks, sebagai akibat dari proses modernisasi dan urbanisasi. Dia mampu menjadi termostat human yang baik.
5. Waspada purba wasesa (waspada dan berkuasa wasesa - wisesa).
Waspada itu mempunyai ketajaman penglihatan dan juga mampu menembus penglihatan ke depan, mampu mengadakan forecasting atau meramal bagi masa mendatang, atau bersifat futuristik. Sedang "murba" atau purba itu artinya mampu mencipta atau mampu mengendalikan-menguasai.
Wasesa ialah keunggulan, kelebihan, kekuasaan berdasarkan kewibawaan, atau kewibawaan yang disertai kekuasaan. Jadi purba wasesa ialah mampu menciptakan dan mengendalikan semua kelebihan/keunggulan dan kekuasaan. Purba wasesa itu juga berarti mempunyai kuasa terlebih besar, serta bisa menerapkan force majeure terhadap orang lain. Berdasarkan sifat-sifat yang unggul, dan kelebihan-kelebihan pemimpin. Jadi, dia mampu membina, mengarahkan dan menguasai orang-orang yang dibawahinya.
Oleh sifat-sifat unggul itu pemimpin mampu mengurusi setiap persoalan yang berkembang dalam organisasi, juga mampu memegang tampuk pimpinan secara bijaksana.
6. Ambeg paramarta
Ambeg itu artinya mempunyai sifat-sifat. Paramarta (Sansekerta: paramartha) artinya yang benar, yang hakiki. Maka ambeg paramartha itu artinya murah, karim, dermawan, mulia, murni, baik hati. Biasanya, "paramarta" selalu disertai dengan "adil" jadi ambeg adil-paramarta berarti: bersikap adil, mampu membedakan yang penting dan yang tidak penting, sehingga mendahulukan hal-hal yang perlu dan penting, dan menomorduakan hal-hal yang remeh dan tidak penting. Jadi, pemimpin itu harus cakap menyusun satu sistem hierarki, agar selalu dapat memeriksa (haniti priksa), serta menata segala usaha dan perilaku. Ringkasnya, dia mampu dengan tepat memilih mana yang harus didahulukan dan mana yang harus diusulkan kemudian, serta selalu bersikap adil.
Ambeg paramarta juga berarti bisa mertani semua anak buah. Mertani artinya memberi pengajaran (mulang), memberikan jampi dan obat, memberikan kebahagiaan, kesegaran dan kenyamanan hidup. Ringkasnya memberikan "kehidupan". Dia tidak bersikap munafik dan tidak menyimpan rahasia, tidak mempunyai agenda-agenda tersembunyi terhadap bawahan. Sebaliknya ia senang berbuat "rasika", yaitu "kesucian" dan hal-hal yang menumbuhkan kesenangan serta kebeningan hati. Suka memaafkan kesalahan dan kekurangan orang lain, bersikap sabar, maklum, dan mudah memberi maaf serta belas-kasih.
Orang yang mempunyai ambeg paramarta itu dalam hidupnya selalu atepa-tepa dan tepa salira yaitu segala peristiwa dipikirkan dan diperhitungkan, dibayangkan berlangsung pada diri sendiri. Misalnya betapa sengsaranya menjadi orang yang miskin dan sakit. Sehingga dia tidak bersikap sewenang-wenang, tidak mengabaikan orang lain, tidak sombong dan tidak bersikap kejam terhadap sesama makhluk.
7. Ambeg prasaja (bersifat sederhana)
Ambeg prasaja pada diri pemimpin itu berarti dia bersifat sederhana, terus-terang, blak-blakan "blaka suta", tulus, lurus, ikhlas, benar, dan mustakim, toleran. Sikapnya bersahaja/tunggal "gilig" utuh, tidak plintat-plintut, lugu, bares, tulus terbuka, dan "blaka" (terus terang, polos, hati terbuka, tanpa berputar-putar, tanpa bumbu-bumbu dan tanpa bunga-bunga). Hidupnya juga tidak berlebih-lebihan, tetap sederhana, dan tidak tamak.
8. Ambeg satya (setia)
Ambeg satya itu ialah bersifat setia, menepati janji, dan selalu memenuhi segala ucapannya. Pemimpin sedemikian ini dapat dipercaya sebab dia jujur-lurus-tulus dan setia, cermat, tepat "punktlich", dan selalu loyal terhadap kelompoknya. Dia senantiasa berusaha agar hidupnya berguna, dan bisa membuat senang serta bahagia orang lain, terutama bawahan atau anak buahnya.
Lagi pula hatinya tulus/tuhu dan bersungguh-sungguh (temen, tumemen). Sebenarnyalah pemimpin sedemikian ini selalu bersungguh-sungguh melakukan tugas kewajiban, yaitu memberikan pengayoman dan tuntunan kepada anak buahnya. Lagi pula ia sangat memperhatikan masalah keselamatan dan kesejahteraan para pengikutnya. Ringkasnya dia bersikap loyal kepada atasan, bawahan, dan sesama teman sejawat yang sederajat.
9. Gemi, nastiti, ati-ati (hemat, cermat teliti, hati-hati)
Pemimpin yang baik itu sifatnya hemat cermat, dan berhati-hati, tidak boros. Hemat karena ia mampu melaksanakan semua pekerjaan dengan efektif dan efisien. Hemat pula dalam mengelola sumber tenaga manusia, material, dan harta permodalan, dan menyingkiri semua tingkah laku yang tidak memberi manfaat.
Cermat itu dalam bahasa Jawanya ialah nastiti, yaitu meneliti dengan sangat hati-hati segala karya, perbuatan, dan peristiwa di sekitarnya. Sedang berhati-hati artinya: pemimpin itu selalu bernalar, cermat dan teliti. Selalu menggunakan duga prayoga, yaitu pandai menduga-duga apakah yang paling prayoga/baik pada suatu saat. Lalu menghindari hal-hal yang bisa mendatangkan mara bahaya dan kesengsaraan. Dia sadar dan mampu membatasi penggunaan dan pengeluaran apa saja untuk keperluan yang benar-benar penting.
10. Terbuka (komunikatif)
Pimpinan yang baik harus bersifat terbuka, komunikatif, tidak picik pandangan. Dia bersedia memberikan kesempatan kepada bawahan dan orang lain untuk mengemukakan sugesti usul, pendapat, kritik yang konstruktif, dan koreksi. Dia tidak merasa terlalu bodoh atau malu hati untuk belajar dari lingkungan dan bawahannya sendiri sekalipun. Sebab, belajar dari pengalaman orang lain itu merupakan pemerkayaan pribadinya. Ringkasnya, personnya merupakan satu sistem yang terbuka.
Pemimpin yang baik adalah orang yang menyadari, bahwa tidak ada seorang manusia pun yang serba-bisa dan maha super. Oleh karena itu, perlu dia membuka diri untuk setiap kali belajar dan meningkatkan diri, melakukan transendensi-diri. Lalu ia bersedia menuntun, mengembangkan, dan membina bawahannya, agar mereka itu sewaktu-waktu siap menggantikan dirinya. Dan pada saatnya, dia akan ikhlas rela mengoperkan tugas kewajiban dan tanggung jawab yang dipikulnya kepada generasi penerus yang telah disiapkannya. Lagi pula dia ikhlas dan berani mermpertanggungjawabkan semua tindakannya.
11. Legawa (rela dan tulus ikhlas).
Legawa artinya rela dan tulus ikhlas, setiap saat dia bersedia untuk memberikan pengorbanan. Sifat orangnya ialah pemurah (murah hati), karim dan dermawan. Dia mudah merasa senang bahagia dengan kesukaan yang kecil-kecil, dan tidak mabuk oleh kesukaan yang besar-besar. Karena itu sifatnya prasaja/sederhana dan tulus rela. Jika terjadi kekecewaan dan kegagalan, maka dia bisa "mupus" atau menghibur diri, dan pasrah-menyerah dengan hati yang murni untuk kemudian bangkit kembali, berusaha membangun dan berkarya lagi.
Dia bisa menerima segala kekalahan dan kekecewaan dengan hati penuh tawakal. Jika dia kehilangan, maka hatinya tidak teramat kecewa (nora gegetun). Apabila dia disukai dan difitnah orang atau sesamanya, dia menerima segala uji-coba itu dengan sabar disertai rasa "nalangsa" penuh keprihatinan. Namun dia akan terus berjuang dengan gigih tanpa pamrih, melaksanakan tugas dan dharmanya sebagai "satria" dan pemimpin.
12. Bersifat Satria
Bersifat satria itu berbudi pekerti luhur dan terpuji. Dia mampu mengendalikan diri, dan mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan sendiri. Satria itu bersifat tenang, pendiam, tidak tergesa-gesa, halus pekerti, namun ampuh sakti "digdaya", memiliki keperkasaan dan kekuatan yang tidak ditonjolkan, atau yang tersembunyi. Sikapnya sopan-santun, manis tegur sapanya, ramah terbuka wajahnya, dan susila dalam segenap tingkah lakunya. Karena itu penampilannya apik manis dan menarik hati.
Kata-katanya serba halus dan menyenangkan hati orang lain. Dia suka berpuasa dan bertarak brata (mesu diri) lahir batin, untuk mensucikan hati dan memurnikan tingkah lakunya. Juga selalu mesu diri agar dia terampil, cakap, mahir, pandai, dan paham dalam olah kanuragan/jasmaniah, penalaran, dan perasaan. Batinnya selalu prawira (perwira), yaitu utama, sempurna, menguasai, memahami, berani, tangkas, perkasa, gagah, dan penuh kepahlawanan. Dengan demikian dia selalu melaksanakan tugas-tugas kekesatriaannya dengan sepenuh hati, dan selalu menepati janji.
Setelah kita baca sifat-sifat kepemimpinan Pancasila, yang secara singkat menokohkan figur pemimpin sebagai seorang Ksatria Sejati, tahulah kita betapa beratnya tugas menjadi pemimpin itu. Dan betapa berat tanggung jawab insaninya terhadap sesama hidup, masyarakat, dan terhadap nusa serta bangsa. Jika tugas-tugas kepemimpinan itu dijalankan dengan baik, maka jelas hal ini memerlukan laku yang bersungguh-sungguh, lewat keimanan kepada Ilahi, penyucian hati nurani, pemesuan diri secara bersinambungan, dan pengorbanan yang tulus ikhlas.
Oleh karena itu, di masa lalu orang Indonesia-- khususnya orang Jawa--cenderung merasa rikuh, ewuh pakewuh (segan, malu, enggan) untuk dijadikan pemimpin, mengingat sangat beratnya tugas yang harus dipikul.
(Dr. Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu?, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, h. 329-341)
0 komentar:
Posting Komentar