alt/text gambar

Selasa, 29 Juli 2025

Topik Pilihan:

Sumber Kepemimpinan Pancasila

Hal-hal yang dapat dianggap sebagai sumber kepemimpinan Pancasila antara lain:

a. Nilai-nilai positif dari modernisme

b. Intisari dari warisan pusaka berupa nilai-nilai dan norma-norma kepemimpinan yang ditulis oleh para nenek moyang, raja, pujangga-pujangga kraton, pendeta, dan pejuang bangsa yang masih relevan. 

c. Refleksi dan kontemplasi mengenai hakikat hidup dan tujuan hidup bangsa pada era pembangunan dan zaman modern, sekaligus juga refleksi mengenai pribadi selaku "manusia utuh" yang mandiri dan bertanggung jawab dengan misi hidupnya masing-masing. 

Nilai-nilai dan norma kepemimpinan yang diwariskan oleh para pujangga di masa lalu itu merupakan "investasi spiritual", dalam mana diutamakan unsur "keikhlasan berkorban" dan "mengabdi" demi kepentingan orang banyak, sekaligus memberikan "ketauladanan yang baik". 

Di kalangan ABRI telah dirumuskan sebelas asas kepemimpinan, yang telah digali dari nilai-nilai kepemimpinan di bumi Indonesia. Semua asas itu dapat diterapkan pada tugas-tugas kepemimpinan pada semua sektor dan eselon, mulai dari guru dan lurah di desa, sampai pejabat-pejabat lokal, regional dan di pusat pemerintahan. Yang paling penting dari kesebelas asas tersebut ialah tiga asas pertama, yang sangat ditonjolkan oleh Ki Hajar Dewantoro, dan pada akhirnya dijadikan prinsip utama kepemimpinan Pancasila. Kesebelas asas tersebut ialah: 

1) Ing ngarsa sung tulada. 

2) Ing madya mangun karsa. 

3) Tut wuri handayani.

4) Takwa kepada Tuhan YME. 

5) Waspada purba wisesa. 

6) Ambeg paramarta (menerapkan skala prioritas). 

7) Prasaja. 

8) Satya. 

9) Gemi nastiti (hemat dan teliti-cermat) 

10) Blaka (terbuka, jujur, lurus)

11) Legawa (tulus ikhlas) 


Selanjutnya, pada tingkat, jenjang serta di bidang apa pun, pemimpin harus mempunyai "landasan pokok" berupa "nilai-nilai moral kepemimpinan", seperti yang telah diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Keempat macam landasan-pokok kepemimpinan itu ialah: 

1. Landasan diplomasi (bersumber pada ajaran Dr. R. Sosrokartono): 

a. Sugih tanpa banda (kaya tanpa harta-benda). 

b. Nglurug tanpa bala (melurug tanpa balatentara)

c. Menang tanpa ngasorake (menang tanpa mengalahkan). 

d. Weweh tanpa kelangan (memberi tanpa merasa kehilangan). 


2. Landasan kepemimpinan: 

a) Sifat ratu/raja: bijaksana, adil, ambeg paramarta, konsekuen dalam janjinya

b) Sifat pandita: membelakangi kemewahan dunia, tidak punya interest-interest, dapat melihat jauh ke depan/ waskita.

c) Sifat petani: jujur, sederhana, tekun, ulet, blaka. 

d) Sifat guru: memberikan teladan baik. 

3. Landasan pengabdian (Sri Mangkunegara I). 

a) Rumangsa handarbeni (merasa ikut memiliki negara). 

b) Wajib melu angrungkebi (wajib ikut membela negara).

c) Mulat sarira hangrasa wani (mawas diri untuk bersikap berani). 

4. Landasan kebijaksanaan (Sri Sultan Iskandar Muda dari Aceh, 5-P) 

a) Peusiap: persiapan, pengumpulan data dan kearifan. 

b) Peubanding: perbandingan, penelaahan, pembahasan. 

c) Peunilaian: penilaian. 

d) Peutunjuk: petunjuk sesepuh dan "petunjuk" dari Tuhan. 

e) Peuputoh: pengambilan keputusan terakhir. 


Di samping sumber-sumber tersebut di atas, karya-karya sastra lain di tanah air juga memberikan norma-norma kepemimpinan antara lain ialah: 

1) Sastra Melayu: Kitab Kesimpanan Adat Minangkabau, Petata Petiti Adat Minangkabau, Tajussalatin (Mahkota Raja-raja), Brestan as Salatin (Taman Raja). 

2) Sastra Sunda, Bali, dan Bugis 

3) Sastra Aceh: antara lain Hikayat Cahaya Manikam (kebijaksanaan dalam musyawarah). 

4) Sastra Jawa dalam bentuk kakawin, babad, tembang, prosa, dan lain-lain. 

Sastra Jawa kuno dan tengahan yang cukup terkenal antara lain ialah: 

Ramayana berupa kakawin Jawa kuno Asthadasaparwa oleh Prof. Dr. R. Ng. Purbotjaroko; petikan kedua buku tadi yang terkenal ialah: 

1. Bagawadgita, kidung pujaan terhadap Tuhan; 2. Hasthabrata, delapan pedoman pilihan. 

Sastra Jawa Baru (sesudah perkembangan agama Islam) yang mengandung pelajaran kepemimpinan, kesusilaan tinggi, nilai-nilai kemanusiaan, dan hubungan manusia dengan Tuhan, antara lain ialah:

- Sastra Gending

- Wulangreh

- Wedhatama dan Buratwangi oleh Sri Mangkunegara IV

- Cemporet oleh R. Ng. Ranggawarsita

- Centini

Sifat-sifat utama lainnya yang dijadikan pedoman bagi setiap raja/pemimpin, yang tertera pada uraian Hasthabrata (delapan tangan, atau laku wolung warni atau delapan pegangan, perilaku) ialah sebagai berikut: 

(1) Bagaikan surya: 

— Menerangi dunia, dan memberi cahaya, kearifan, dan kehidupan. 

— Menjadi penerang dan pembuat senang. 

— Bijaksana, jujur, adil dan rajin bekerja, sehingga negara aman sentosa. 


(2) Bagaikan candra atau rembulan: 

— Memberikan cahaya penerangan dan keteduhan di hati insan yang tengah dirundung duka dan kegelapan. 

— Bersifat melindungi, sehingga setiap orang dapat tekun menjalankan tugas masing-masing 

— Memberikan hawa udara ketenangan dan kedamaian. 


(3) Bagaikan kartika atau bintang: 

— Menjadi pusat pandangan, selaku sumber kesusilaan dan kecemerlangan

— Menjadi kiblat ketauladanan dan sumber pedoman. 


(4) Bagaikan mega atau awan:

- Menciptakan kewibawaan yang dinamis dan adil. 

- Mengayomi-meneduhi, sehingga semua tindakan pemimpin menimbulkan ketaatan. 


(5) Bagaikan bumi: 

- Teguh dan kokoh pendiriannya. 

- Bersahaja dalam ucapan dan perbuatan (serasi lahir dan batinnya). 


(6) Bagaikan samudra atau tirta: 

- Luas pandangan, lebar dadanya, besar pemberian maafnya, memberi air kehidupan. 

— Dapat membuat rakyat seia sekata. 


(7) Bagaikan hagni atau api: 

—Adil, menghukum tanpa memandang bulu, 

— Yang salah mendapatkan hukuman, yang bajik mendapat pahala. 


(8) Bagaikan bayu atau angin: 

— Ambeg adil, jujur, dan dinamis, 

— terbuka, tidak ragu-ragu; bisa "ajur-ajer" (flexible) luwes di tengah masyarakat. 


Delapan laku atau Hasthabrata ini dibarengi delapan karya/Hasthakarya yang harus tekun dilakukan oleh pemimpin, yaitu. 

(1) Transendensi, meningkatkan derajat dan martabat manusia, dan menaikkan taraf kehidupan menjadi lebih makmur, adil dan maju. 

(2) Keteladanan, memberi teladan dengan perilaku baik dan susila, diselaraskan dengan kebutuhan kawula alit dalam kegiatan membangun. 

(3) Sekuritas, memberikan perlindungan dan pengayoman agar semua orang merasa aman tenteram, memberantas segala hambatan, kerusuhan, dan bencana. 

(4) Inovasi, mampu menciptakan hal-hal baru, berjiwa pembaharuan (membuang hal-hal yang tidak relevan dengan tuntutan zaman). 

(5) Realisasi, mampu membuktikan secara konkret/merealisasi ide-ide dan ucapan dalam karya-karya nyata, memungkinkan terjadinya hal-hal yang semula dianggap "mokal" atau tidak mungkin terjadi. 

(6) Berencana, sanggup merencanakan secara cermat konsep-konsep dan karya baru untuk dikerjakan bersama-sama dengan rakyat/kawula alit secara kolektif. 

(7) Dinamis, berjiwa kreatif dan rekonstruktif: memiliki daya kekuatan untuk merancang dan membuat karya-karya pembaruan. 

(8) Pembajaan tekad, punya "greget" atau gairah-semangat-kemauan untuk "makarya", melakukan tugas kemanusiaan dan kerja membangun, guna mencapai keluhuran bangsa dan negara. 


Hasthabrata dan Hasthakarya kedua-duanya tidak dapat dipisahkan, harus sinkron berjalan bersama-sama; bahkan buluh manunggal menjadi laku "tanpa ngrame" (bertapa di tengah masyarakat ramai). Maka taraf kesempurnaan, delapan laku tersebut menjadi luluh, menjadi satu laku perpaduan kosmologis atau "manunggaling kawula lan gusti". 

Agar kepemimpinan Pancasila tersebut dapat diterapkan secara nyata, perlu adanya pembinaan bagi para pemimpin (dan calon-calon pemimpin) serta kepemimpinan, dengan memperhatikan: 

- pembinaan kecerdasan, perasaan, kemauan, dan ilmu pengetahuan

- pembinaan kemahiran teknis dan keterampilan sosial

- pembinaan kebiasaan, moral, watak, kejiwaan, dan kepribadiannya. 

(Dr. Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu?, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, h. 318-325).



 



0 komentar:

Posting Komentar