Perguruan tinggi di Indonesia, baru ada pada awal abad ke-20, sejalan dengan politik etis (ethische politiek) pemerintah kolonial Belanda dan sejalan dengan kebutuhan masyarakat Belanda dan Eropa Barat yang berorientasi pada perkembangan industri.
Di Eropa pada saat itu ada kesejajaran antara perkembangan ilmu pengetahuan dengan perkembangan dunia industri, serta paralelitas perkembangan dunia pendidikan dengan perkembangan sektor industri, yang pada saatnya mempengaruhi perkembangan kesejahteraan sosial masyarakatnya.
Kondisi tersebut jelas mempengaruhi perkembangan pendidikan dan perguruan tinggi di Indonesia, untuk disesuaikan dengan politik kolonial Belanda.
Posisi perguruan tinggi dikaitkan dengan dominasi politik dan kebijakan pemerintah/negara kolonial dan merupakan produk konsep borjuis-kapitalis. Misalnya THS (Technische Hoge School), yang di kemudian hari menjadi ITB, tahun 1920, kemudian RHS (Rechts Hoge School, 1924) yang kemudian jadi Fakultas Hukum, dan GHS atau Geneeskundige Hoge School, 1925 menjadi Fakultas Kedokteran.
Semua universitas atau perguruan tinggi ini didirikan dengan maksud memperoleh tenaga kerja atau pegawai negeri terampil untuk mengisi jabatan-jabatan administratif dalam birokrasi pemerintahan kolonial Belanda. Diharapkan agar para lulusannya menjadi ambtenaar (pegawai) yang patuh dan memenuhi kepentingan pemerintah kolonial Belanda.
Tapi kesempatan studi di perguruan-perguruan tinggi—baik yang di Indonesia maupun di negeri Belanda dan negara-negara Eropa Barat lainnya—sangat mempengaruhi mobilitas sosial dan kesadaran berbangsa pemuda-pemuda Indonesia. Dan legitimasi keberadaannya ditunjukkan dengan aktivitas menjadi anggota Budi Utomo, yang kita kenal sebagai Kebangkitan Nasional 1908 serta Sumpah Pemuda Indonesia 1928.
Kesadaran berbangsa atau paham nasionalisme modern itu mulai muncul secara aktual pada saat diberikan kesempatan belajar oleh pemerintah Belanda kepada orang-orang muda kita untuk belajar di Nederland, untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan dan kebebasan individu model Barat.
Pandangan mengenai kebebasan ini di kemudian hari sangat mempengaruhi pandangan kebangsaan/nasionalisme, yang berakhir dengan tuntutan kemerdekaan untuk bangsa dan tanah air Indonesia. Senyatanya pergerakan kebangsaan itu dipelopori dan berkembang sebab distimulasi oleh perkumpulan-perkumpulan pemuda dan mahasiswa, hasil pendidikan di negeri Belanda di Eropa Barat, dan di Indonesia sendiri.
Pada masa kolonial Belanda belum ada strata cendekiawan lain di tengah masyarakat, sehingga aktivitas mahasiswa mendominir secara langsung kondisi politik, khususnya dalam menuntut kesamaan hak dan status orang Indonesia agar sama dengan orang Belanda, dan penuntutan kesejahteraan rakyat. Inilah hasil yang cukup gemilang dari kegiatan kelompok mahasiswa dan para inteligensia lainnya pada masa prakemerdekaan RI.
Dengan menyimak sejarah perjuangan tersebut, dapat kita memaklumi, bahwa mahasiswa memainkan peranan penting dalam perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia, di samping memikul tugas besar dalam proses pembangunan, yaitu bahwa mereka akan menduduki strata elit di masa mendatang, yang akan menentukan haluan negara dan maju-mundurnya bangsa kita.
(lihat Dr. Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu?, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, h. 270-271)
0 komentar:
Posting Komentar