alt/text gambar

Selasa, 19 Agustus 2025

Topik Pilihan:

Kurikulum yang Menghapus Rasa Seni

Berikut ini adalah tulisan pengamat pendidikan, Darmaningtyas, tentang pentingnya seni dalam kehidupan manusia. Tapi sayang pelajaran seni tak mendapat perhatian dan dianggap tak penting sehingga kurikulum sekolah tak memberikan tempat yang banyak untuk mata pelajaran seni. 

Tulisan ini saya ambil dari salah satu bab dalam buku Pendidikan yang Memiskinkan karya Darmaningtyas. Tulisannya di bawah ini, beberapa bagian sudah saya edit, menyesuaikan dengan kepentingan penjelasan saya tentang pentingnya seni. Berikut paparannya:

Kurikulum 1994 dominan pelajaran matematika serta Bahasa (Indonesia dan Inggris) dalam seluruh jenjang pendidikan. Tapi terlalu minimnya pelajaran seni, baik seni rupa, seni suara, seni musik, seni kriya, dan seni-seni lainnya.

Pelajaran seni hanya mendapat alokasi waktu yang sangat minim, yaitu hanya dua jam pelajaran dan itu terbagi untuk pendidikan seni dan kerajinan tangan. Padahal, dalam pelajaran seni sendiri ada seni rupa, seni musik, dan seni suara. Di kelas II dan III SMA, pelajaran seni itu malah dihilangkan sama sekali dan hanya didominasi oleh mata pelajaran eksakta. Dominannya pelajaran matematika dan IPA di semua jenjang, utamanya di SMA itu tidak lepas dari kebijakan pengembangan Sumber Daya Manusia Indonesia yang lebih diarahkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam rangka untuk tinggal landas. 

Berdasarkan kenyataan tersebut, kiranya tidak salah bila penulis menyebutnya bahwa Kurikulum 1994 ini merupakan kurikulum yang menghapus rasa seni dari dunia pendidikan formal, sehingga dapat dikatakan bahwa Kurikulum 1994 sebagai proses pemiskinan cita rasa seni kita sebagai manusia karena manusia direduksi hanya untuk menguasai teknologi saja. Para penyusun kurikulum tampaknya lupa bahwa teknologi hanya dapat berkembang baik bila muncul kreativitas dan inovasi di masyarakat. Sedangkan kreativitas dan inovasi itu terbangun dan dapat tumbuh, salah satunya melalui seni dan budaya. Kehidupan manusia tanpa seni juga menjadikan manusia sangat steril sehingga selalu merasa terasing dari alam keramaiannya, merasa ada sesuatu yang hilang dari hidupnya. Tapi sayang, apresiasi seni—apalagi kemampuan berkreasi—itu tidak memperoleh tempatnya di lembaga pendidikan formal, yang di dalamnya juga terkandung kata “kebudayaan”. 

Seni, seperti kata Friedrich Schiller (filsuf dari Jerman), merupakan semacam permainan menyeimbangkan segenap kemampuan mental manusia berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan. Dengan berkesenian, seseorang diasah kreativitas, perasaan, kepekaan atau sensitivitas kemanusiaannya, sehingga terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit, kerdil, dan picik. 

Pendidikan seni, apalagi seni kolektif, seperti kerawitan, teater, musik modern, tari, dan sebagainya merupakan ruang-ruang untuk membangun kebersamaan, solidaritas, dan toleransi yang tinggi antarsesama. Sebab, dalam sebuah musik tradisional (kerawitan atau lainnya), pemukulan salah satu alat musik yang tanpa mengindahkan suara yang lain-misalnya, akan menimbulkan suara yang aneh dan kacau. Agar musik itu terdengar merdu, maka pemukulan setiap alat musik harus mengindahkan suara-suara yang lain. Upaya untuk dapat mengenali suara musik yang lain itu adalah bagian dari pengendalian diri atau emosi, membangun kebersamaan, kegotongroyongan, solidaritas, dan toleransi yang tinggi. Sulit bagi seseorang yang memiliki emosi dan egoisme tinggi untuk dapat terlibat dalam suatu permainan musik bersama, sebab yang bersangkutan mungkin akan menciptakan kegaduhan tersendiri. 

Dalam konteks ini, relevan intermeso yang dibuat oleh Menteri P dan K Fuad Hassan pada waktu menjadi salah satu pembicara diskusi Polemologi (Ilmu Perdamaian) di UGM tahun 1985, yang mengatakan bahwa: “Kalau mau perang, kumpulkanlah seribu seniman untuk membicarakan soal strategi perang yang akan dipakai, nanti hasilnya tidak akan pernah jadi perang. Sebaliknya, kalau mau damai, kumpulkanlah seribu diplomat untuk membicarakan soal strategi damai, nanti hasilnya adalah tidak pernah akan damai, tapi malah perang terus.” 

Intermeso itu menurut hemat penulis mencerminkan betapa seni(man) itu pada dasarnya cinta kepada kemanusiaan, sehingga dalam dirinya tidak mengalir darah untuk membunuh, bertindak kejam, atau melukai sesamanya, meskipun secara fisik penampilan luar seorang seniman kadang kumal, awut-awutan, dan berambut gondrong, mungkin malah tatoan seperti seorang gali. Tapi di balik itu semua mereka memiliki sensitivitas yang tinggi soal kemanusiaan, yang belum tentu dimiliki oleh mereka yang berotak cemerlang. Bahkan pendidikan moral pun jauh lebih efektif diajarkan melalui pelajaran seni daripada melalui pelajaran PMP yang menjemukan atau pendidikan agama yang amat dogmatis. 

Dengan demikian, logisnya pendidikan seni di sekolah formal akan mendapat perhatian lebih besar, paralel dengan peningkatan beban pelajaran-pelajaran bidang eksakta dan ilmu pengetahuan lainnya. Sebab pendidikan seni seharusnya menjadi perangkat untuk mengasah kepekaan seseorang agar memiliki apresiasi yang tinggi terhadap karya-karya manusia lainnya, termasuk terhadap kemanusiaan itu sendiri, sehingga dapat terhindarkan terjadinya reduksionisme terhadap makna kemanusiaan oleh perkembangan ilmu dan pengetahuan. 

Tapi ternyata, yang kita temukan adalah pendidikan seni itu sudah lama menghilang dari bangku sekolah formal, karena kurikulum pendidikan nasional selalu hanya memberikan ruang yang amat sempit untuk pelajaran seni. Alokasi pelajaran seni yang cukup besar hanya terjadi pada sekolah-sekolah seni saja. Tapi sekolah-sekolah seni itu juga mempunyai hambatan tersendiri karena terlalu terkonsentrasi dengan bidang seni mereka masing-masing. SMSR misalnya, jelas hanya mengembangkan bidang seni rupa. Demikian pula SMKI, cenderung mengembangkan seni-seni pertunjukkan saja. Padahal, secara kodrati dalam diri setiap orang tumbuh jiwa-jiwa seni yang beragam: ada yang berminat besar di musik, tapi juga senang melukis, ada pula yang punya minat besar di tari tapi juga menyukai musik, dan sebagainya. Semuanya itu tidak dapat diwadahi di sekolah khusus seni. Bandingkan misalnya dengan jumlah jam pelajaran bidang Matematika, IPA, dan Bahasa (Indonesia maupun Inggris) yang menurut Kurikulum 1994 jauh lebih banyak. Untuk pelajaran Matematika: Kelas I-III SD (10 jam), kelas IV-VI (8), kelas I-III SMP (6). Demikian juga untuk pelajaran Bahasa Indonesia di kedua jenjang tersebut per minggunya sama dengan jumlah jam matematika. Sedangkan untuk jam pelajaran matematika di Sekolah Menengah Umum (SMU) sebanyak & (enam) jam per minggu dan bahasa Indonesia 5 (lima) jam. Untuk bidang IPA, di SD baru diberikan mulai kelas Ill sebanyak 3 (tiga) jam, kelas IV-VI SD dan kelas I-III SMP masing-masing sebanyak 6 (enam) jam per minggu. Sedangkan pada jenjang SMA kelas I-III terbagi menjadi: fisika (5), biologi (4), dan kimia (3). Pada jenjang SMA itu, pendidikan seni hanya diberikan di kelas I-saja dengan jumlah dua jam per minggunya. 

Minimnya alokasi waktu pelajaran seni dalam Kurikulum 1968-1994 yang hanya dua jam pelajaran dan terbagi atas kerajinan tangan serta seni suara dan seni rupa itu menandakan, bahwa pendidikan seni di sekolah-sekolah formal di Indonesia cenderung dipandang remeh sehingga kurang mendapat perhatian. Konsekuensi dari minimnya pelajaran seni di sekolah itu adalah praktik pendidikan seni, utamanya untuk seni suara, seni musik, dan seni lukis selalu berganti setiap minggunya. Sebagai contoh, bila minggu ini seni lukis/menggambar, maka minggu depannya adalah seni suara/musik. Sedangkan untuk kerajinan tangan merupakan jam yang rutin dijalankan setiap minggu. Lebih celaka lagi, banyak sekolah yang tidak memberikan pelajaran seni itu untuk kegiatan ekstra kurikuler sehingga kesempatan murid untuk mengapresiasi pendidikan seni itu amat terbatas. Wajar bila kemudian bangsa Indonesia kurang mengapresiasi karya-karya seni yang bermutu, karena ruang untuk belajar mengapresiasi itu memang tidak tersedia. 

Kondisi yang amat memprihatinkan itu tidak lepas dari cara pandang para ahli pendidikan yang melihat seni terpisah dari kehidupan sehari-hari dan dianggap sebagai habitat tersendiri yang harus mendapat tempat khusus pula. Meskipun realitas hidup dan realitas ekonomi menunjukkan, bahwa kehidupan sehari-hari maupun kehidupan pariwisata itu berkembang hanya karena ada unsur seninya, tapi cara pandang orang terhadap seni dan senimannya belum berubah. Seni dianggap sebagai hal yang tidak penting, karena itu tidak perlu dipelajari secara serius. Akibatnya, seniman hebat pun dinilai sebagai kelompok yang tidak memiliki status sosial dan masa depan yang jelas. Seorang seniman yang hidup independen dengan tetap berpegang teguh pada idealisme seninya cenderung akan dipandang naif bila tidak memiliki basis ekonomi yang kuat. Sehingga tidak jarang seniman yang akhirnya tunduk pada tuntutan pasar dengan menggadaikan idealisme karyanya demi suatu materi kebendaaan yang dapat diperlihatkan kepada masyarakat. Tidak pernah terdengar dalam cerita anak-anak bahwa cita-cita mereka ingin menjadi seniman: pelukis, pemusik, penyanyi, fotografer, sineas, dan sebagainya. Selalu yang terdengar adalah cerita-cerita mereka mengenai cita-citanya yang ingin menjadi dokter, insinyur, pilot, tentara, atau polisi. Semuanya itu tidak tumbuh dengan sendirinya, tapi amat tergantung pada benih yang ditanamkan. Kalau pendidikan formal tidak pernah menanamkan benih-benih berkesenian yang baik sehingga anak-anak terpikat untuk menjadi seniman besar, mana mungkin mereka akan tumbuh dengan sendirinya? Mereka yang kemudian memilih jalur seni sebagai pilihan hidupnya, bukan karena pengaruh pendidikan formal, tapi lebih banyak pengaruh pendidikan luar sekolah: orangtua atau lingkungan pergaulan atau sekitarnya.

Konsep penyusunan Kurikulum 1994 yang amat timpang—lebih mengutamakan pelajaran eksakta—itu jelas lahir dari cara pandang yang keliru terhadap manusia. Dianggapnya manusia itu hanya terdiri dari satu dimensi, teknologi saja, sehingga tidak perlu pengembangan dimensi yang lain. Padahal, kenyataannya manusia itu adalah multidimensional. Sebagai makhluk multidimensi, manusia tidak hanya membutuhkan pengetahuan yang serba pasti-pasti saja, tapi juga memerlukan pengetahuan sosial, seni, dan olah raga. Karena otak manusia yang patut dikembangkan bukan hanya otak kiri saja, tapi juga otak kanan perlu dirangsang untuk berkembang. Kalau manusia hanya dicekoki dengan pengetahuan eksak saja, bagaimana jiwa mereka dapat berkembang secara sehat? 

Penyusunan Kurikulum 1994 yang timpang itu juga mencerminkan berangkat dari asumsi yang keliru, bahwa semua manusia itu sama, sama-sama menguasai dan memerlukan ilmu pasti. Padahal, kenyataannya dalam hidup riil, hanya sedikit orang yang tertarik untuk bidang eksakta, sedangkan lainnya lebih tertarik pada bidang sosial, politik, hukum, ekonomi, seni, budaya, dan olah raga. Pekerjaan manusia juga tidak terdistribusi ke dalam beberapa jenis, pada pekerjaan produksi saja—yang menggunakan pengetahuan eksakta lebih banyak—tapi juga pekerjaan manajerial, kepemimpinan: pengorganisasian, berkreasi, dan berkesenian. Semuanya itu memerlukan dukungan bekal kreativitas yang tinggi, dan ini dapat dicapai salah satunya lewat pelajaran seni. 

Kita juga sering melupakan—karena tidak pernah melakukan refleksi secara sungguh-sungguh—bahwa mereka yang kaya secara material dengan cara menyenangkan orang lain itu adalah para seniman. Seniman yang hebat dan karyanya dihargai mahal umumnya adalah karena kualitasnya bagus. Atau seorang pelawak yang kaya adalah karena pandai melucu. Seorang musisi yang kaya adalah karena karyanya disukai orang, demikian pula seorang pelukis yang kaya adalah karena lukisannya bagus dan dibeli mahal oleh orang lain. Tapi seorang insinyur sipil yang kaya, kebanyakan karena terlalu besar dalam mengkorup biaya konstruksi. Akibatnya, kualitas bangunan menjadi buruk. Juga para dokter yang kaya pada umumnya karena eksploitatif terhadap pasien. Tapi mengapa cita-cita anak selalu ingin menjadi dokter atau insinyur? Tidak lain karena pendidikan formal hanya memberikan satu jalan saja, yaitu menjadi dokter atau insinyur bila ingin kaya. Jalan menjadi seniman hebat tidak pernah ditunjukkan. Jangankan ditunjukkan, diperkenalkan pun tidak. 

Penyusun Kurikulum 1994 tampaknya mengingkari kenyataan, bahwa dalam sebuah perusahaan misalnya, seorang teknisi perusahaan atau seorang insinyur mesin bukanlah orang yang mendapat gaji tertinggi karena jabatannya. Gaji tertinggi umumnya dimiliki oleh seorang manager keuangan atau pemasaran, yang kalau dirunut sekolahnya bukan dari jurusan IPA, melainkan IPS atau Bahasa. Hal yang sama terjadi pada perusahaan biro iklan. Gaji tertinggi tidak dimiliki oleh seorang insinyur, tapi oleh tenaga kreatif yang umumnya dari jurusan Bahasa dan Seni, seperti script writer. 

(Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan, h. 77-87) 

0 komentar:

Posting Komentar