alt/text gambar

Kamis, 21 Agustus 2025

Topik Pilihan:

Militerisme


Oleh: Ariel Heryanto


Apa yang terjadi Jumat lalu di Jakarta membuktikan sekali lagi mendesaknya pesan para aktivis proreformasi: militerisme harus segera diakhiri. Bukti sudah bertimbun dimana-mana. Tidak diperlukan bukti baru. Tetapi Jumat lalu kita masih dipaksa menerima tambahan bukti-bukti yang mubazir bercecer darah. 

Militerisme, tentu saja, tidak sama dengan militer. Mengakhiri militerisme tidak berarti memusuhi atau membubarkan kekuatan militer sebagai aparatur negara. Tak sedikit aktivis prodemokrasi yang mencampur-adukkan keduanya, mungkin gara-gara dendam yang menggebu akibat trauma tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi oleh aparatur militer. 

Mencampur-aduk militerisme dengan militer juga dikerjakan beberapa perwira militer sendiri. Tujuannya menolak perubahan dan mempertahankan status-quo. Misalnya banyak yang menuduh bahwa tanpa militer, negeri akan menjadi kacau, karena orang sipil tak ada yang becus mengatur negara. 

Militer diperlukan di setiap negara berdaulat, biar pun secara kecil-kecilan. Tujuannya menjaga pertahanan teritori dari serangan luar. Tetapi di banyak negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin, militer terlah berkembang menjadi militerisme. Apa yang dimaksud militerisme? 

Dalam militerisme, badan-badan dan individu militer sibuk dalam dua hal. Pertama, mengurus kehidupan sosial politik. Mulai dari pendidikan, kebudayaan, kesenian, olahraga, pemerintahan, hukum, pers, perburuhan, atau perbankan. Kedua, dalam menjalankan berbagai kegiatan non-militer itu, mereka tak segan-segan mengusahakan cara dan kekuatan militer. 

Mulai dari lengan berotot, alat-alat dan teknologi pembunuh, penyiksa, atau penculikan, teror, pengerahan massa. Mereka menuasai dinas intelijen, pasukan tempor, dan senapan. Di berbagai negara di Asia, senjata penakluk penghancur musuh perang lebih banyak digunakan justru untuk melindas warga sebangsa yang tak bersenjata. 

Yang lebih pantas dicatat, militerisme bukan cuma penguasaan soal jabatan birokrasi pada badan-badan non-militer. Dalam bentuk yang parah, militerisme berkembang dalam bentuk kebudayaan, norma, angan-angan, cara berpikir, bergaul, dan berbicara. Semuanya bercirikan kejantanan, kekerasan, dan sikap kaku mempertentangkan realitas hidup menjadi dua belaka: kawan/lawan, atau kalah/menang. 

Sebagai sikap, budaya, atau bahasa, militerisme bukan hanya milik anggota militer. Tak sedikit warga sipil, kelompok primordial, lembaga kesenian, organisasi kepemudaan yang mengidap virus militerisme itu. Tidak semua orang militer harus berwatak militeristik, sebaliknya tak semua orang sipil bebas dari bahaya laten militerisme. Negara militeristik bisa saja dipimpin kepala negara orang sipil, tetapi dengan dominasi budaya kekerasan. 

*** 

Lembaga-lembaga politik, begitu kata banyak orang bijak, diciptakan umat manusia untuk mengelola perbedaan dan menghindarkan adu kekuatan fisik. Berpolitik seharusnya berarti meningkatkan martabat kita dari binatang, menjadi manusia yang beradab, berdebat, dan bersepakat. 

Itu sebabnya mengapa diadakan sebuah lembaga politik bernama negara. Lembaga ini punya seperangkat alat. Hukum ditulis dengan janji untuk mengatur dan melindungi kepentingan umum dan semua pihak secara adil dan beradab. Polisi dan pengadilan dibiayai uang negara agar harapan ini terjelma sehari-hari untuk siapa saja, dan dimana-mana.

Perselisihan antarorang atau kelompok tak perlu diselesaikan dengan mengadu tajamnya kuku untuk saling cakar muka. Tidak dengan bambu runcing untuk saling menusuk. Tidak perlu adu otot memperebutkan gedung parlemen atau kantor partai politik. 

Dengan alasan yang sama, ada yang dinamakan partai politik dan pemilihan umum. Orang boleh saling berbeda pandangan. Tapi ada etika dan rambu-rambu pembatas untuk melangsungkan kehidupan bersama yang majemuk ini secara sehat. Politik merupakan kereta dan sekaligus tujuan beretika-sosial dalam kemajemukan. 

Di mana pun di dunia, lembaga parlemen seperti MPR/DPR resminya diadakan untuk menghindarkan adu jotos atau lempar batu, semprotan gas air mata, atau tembakan senjata. Ironis dan tragis, jika semua tindak kekerasan itu terjadi meledak-meledak justru gara-gara adanya atau demi terselenggaranya sebuah pertemuan parlementer. 

*** 

Kejadian Jumat lalu menegaskan lagi apa yang gamblang selama lebih dari 32 tahun usia Orde Baru: politik sebagai etika bernegara secara majemuk telah bangkrut. Apa yang dinamakan Sidang Istimewa MPR sebenarnya telah gagal sebelum berawal, karena yang terjadi bukan musyawarah dan mufakat antar aspirasi rakyat. Yang terjadi adalah adu kekuatan fisik antar kelompok sebangsa. 

Berakhirnya sidang itu, dan apa pun rumusan yang dihasilkannya, bukan sekadar hasil perdebatan atau voting. Itu juga hasil adu kekerasan fisik dan jatuhnya korban di kedua belah pihak yang tidak berimbang. Yang satu bersenjata kekuatan tempur profesional, yang lain bersenjatakan batu, kamera foto, atau idealisme. 

Tanpa keunggulan pihak militer dalam adu kekuatan fisik, Sidang Istimewa itu tidak terjadi. Atau terjadi tetapi terhenti di tengah jalan. Apa yang lebih ironis daripada berubahnya lembaga politik justru menjadi tempat merebaknya kekerasan? 


Sumber: Kompas 15 November 1998

0 komentar:

Posting Komentar