alt/text gambar

Sabtu, 30 Agustus 2025

Topik Pilihan:

Meninggalkan Tradisi "Oknum"


Oleh: Bur Rasuanto


Mengaku  bersalah atas suatu kebijakan pemerintah dan mohon maaf secara terbuka kepada publik atas kesalahan itu, bukanlah tradisi pemangku jabatan resmi di Indonesia, baik sipil apalagi militer. Tapi bulan Agustus kemarin, hal yang tidak biasa itu dilakukan berturut-turut dua pemangku jabatan amat penting Republik Indonesia saat ini: Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto dan Presiden BJ Habibie sendiri.

Permintaan maaf Presiden Habibie tidak tanggung-tanggung, dilakukan dalam pidato resmi di depan sidang paripurna DPR 15 Agustus. Habibie atas nama pemerintah "menyampaikan penyesalan sedalam-dalamnya, dan memohon maaf kepada masyarakat khususnya kepada keluarga korban, atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di beberapa daerah di masa lalu, yang dilakukan oknum aparat dalam operasi menghadapi gerakan separatis". 

Pernyataan Presiden Habibie itu seakan payung bagi "pengakuan bersalah" dan permohon maaf kepada masyarakat Aceh oleh Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto di Lhokseumawe 7 Agustus, berkenaan banyaknya korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat militer selama bertahun-tahun di daerah itu. Jenderal Wiranto bahkan langsung mengeluarkan putusan mencabut status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer dan menarik seluruh pasukan ABRI dari luar Aceh dalam tempo paling lama satu bulan.

Sejauh yang saya tahu, mengakui secara terbuka kesalahan tindakan ABRI dan minta maaf kepada rakyat seperti itu belum pernah dilakukan seorang pimpinan ABRI sebelumnya.

Tradisi "oknum"

Orang bisa saja menilai pengakuan Jenderal Wiranto yang diperkuat Presiden Habibie itu karena kekejaman yang dialami rakyat Aceh dan pelanggaran HAM oleh aparat bersenjata itu sudah begitu telanjang sehingga ABRI tak mungkin lagi berkelit. 

Tapi saya ingin melihat kejadian ini secara positif sebagai langkah yang dilakukan secara sadar, baik oleh Wiranto maupun Habibie, untuk membangun suatu tradisi baru di kalangan pejabat negara, khususnya di tubuh ABRI. Yaitu: tradisi tidak (lagi) menutup-nutupi kesalahan melainkan secara kesatria dan terbuka mengakuinya, minta maaf kepada publik, dan segera membatalkan kebijakan yang telah menimbulkan masalah dan menyengsarakan rakyat.

Singkatnya, tradisi yang menekankan tanggung jawab apabila membuat kesalahan, dan bukan tradisi yang justru menyembunyikan kesalahan itu. Kalau boleh meminjam penggolongan antropologi budaya dari perspektif etik, tradisi pertama termasuk yang disebut guilt culture alias budaya merasa bersalah, yang kedua shame culture alias budaya merasa malu.

Yang pertama menghayati kesalahan dengan rasa bersalah, dan ingin menebusnya; yang kedua menghayati kesalahan dengan rasa malu karena mementingkan gengsi, hormat, status, dan berusaha menyembunyikannya. Dalam budaya merasa bersalah, orang akan melakukan sesuatu yang meringankan rasa bersalahnya itu. Dalam budaya merasa malu, orang berusaha menutup-nutupi kesalahan agar tidak diketahui orang lain.

Tidak jelas apakah pernah ada penelitian ilmiah yang memastikan masyarakat Indonesia tergolong dalam budaya yang mana. Tapi kalau dari pengalaman selama ini rasanya sukar mengatakan bahwa budaya formal kita lebih mengedepankan bertanggung jawab apabila  berbuat kesalahan. Pejabat-pejabat kita, sipil maupun militer, tidak punya tradisi mengakui kesalahan, dan minta maaf kepada publik atas kesalahan yang dibuatnya.

Tradisi kita adalah mencari kambing hitam, cuci tangan, atau memindahkan tanggung jawab kepada orang lain, menutupi kesalahan kebijakan dan institusional menjadi kesalahan "oknum", mencari penyelesaian tertutup dan "kekeluargaan". Kita juga, seperti badak, tidak punya budaya mundur, seperti pernah ditegaskan seorang tokoh Golkar ketika banyak desakan agar Sudomo dan Sumarlin meletakkan jabatan berkenaan dengan korupsi setengah milyar dollar Edy Tanzil & Co di Bapindo.

Memang, setidaknya sejak meninggalkan sistem demokrasi parlementer, kalangan pejabat formal kita tidak lagi punya tradisi mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban  atas suatu kesalahan atau kebijakan yang merugikan publik.Pengunduran diri Presiden Soeharto Mei kemarin bukan sebagai pertanggungjawaban melainkan karena terpaksa.

Pernyataan berbagai perwira tinggi ABRI, seperti Syarwan Hamid dan Faisal Tanjung agar kerusuhan 27 Juli 1996 jangan diungkit-ungkit lagi, atau pernyataan Try Sutrisno yang menegaskan peristiwa pembantaian Tanjungpriok sudah ditutup, dengan jelas mencerminkan tak adanya budaya rasa bersalah dan bertanggung jawab itu.

Adolfo Scillingo

Budaya merasa bersalah, terutama penting dalam hubungan memulihkan kehidupan bangsa yang baru terbebas dari rezim kekerasan, apalagi dengan makin luas terbongkarnya kekejaman dan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat militer terhadap warga sipil, namun pengusutannya tidak lancar karena tidak mudah mengumpulkan  bukti dan saksi-saksi. 

Keadaan kita ini mirip dengan Argentina ketika terbebas dari rezim militer yang berkuasa tahun 1978-1982.Selama periode itu, puluhan ribu warga sipil cacat seumur hidup atau lenyap menjadi korban kekejaman aparat militer. Pemerintah sipil Argentina yang naik, setelah tentara Argentina ditaklukkan Inggris dalam perang Malvinas, mengalami kesulitan mengusut kejahatan militer karena sulitnya mendapat pengakuan saksi-saksi.

Sampai akhirnya Adolfo Scillingo, seorang perwira yang terlibat dalam berbagai kekerasan, tampil memberikan kesaksian terbuka mengenai kekerasan yang dilakukan rezim militer terhadap warga sipil Argentina. Menurut kesaksian Adolfo kebanyakan warga sipil yang diculik atau ditangkap itu, malam-malam dimuat ke dalam pesawat angkut militer, diterbangkan ke atas lautan Atlantik, lalu dibuang hidup-hidup di perairan yang penuh dengan ikan hiu ganas sehingga tak meninggalkan bekas.

Pengakuan Adolfo mengguncangkan masyarakat dan menimbulkan kemarahan dan histeria para keluarga korban yang selama ini mengira keluarganya masih hidup. Tapi segi positif pengakuan itu adalah bahwa pengusutan menjadi lebih mudah dan lebih lancar.

Dengan permintaan maaf saya membayangkan dalam terbuka Jenderal Wiranto dan diperkuat Presiden Habibie, waktu dekat ini akan muncul "Adolfo-Adolfo" kita, sipil dan  terutama dari kalangan ABRI, yang tersentuh hati nuraninya dan terpanggil memberi pengakuan publik. Yang dari kalangan sipil, di eksekutif, yudikatif dan legislatif, tampil memberi pengakuan mengenai korupsi dan kolusi di mana ia terlibat atau menjadi saksi. Pimpinan MPR/DPR yang kini masih nyaman di kursinya seakan tak terjadi apa-apa, akhirnya tahu diri, mau mengaku bersalah, minta maaf untuk dosa-dosanya kepada rakyat, menyerahkan kursinya untuk orang yang lebih pantas.

Sementara dari kalangan ABRI akan tampil anggota-anggotanya yang secara satria memberikan kesaksian terbuka apa yang diketahuinya mengenai kekejaman dan tindak kekerasan terhadap warga sipil, di Aceh, Irian, Lampung, dalam pembantaian Tanjungpriok, kerusuhan 27 Juli 1996, penculikan-penculikan dan pelenyapan aktivis, pembunuhan Marsinah, penembakan mahasiswa, atau mendalangi kerusuhan dan pemerkosaan, kalau memang ada.

Betapapun pahit pengakuan-pengakuan itu nantinya, namun bila hal itu terjadi, justru akan membantu mengangkat kembali citra ABRI yang kini begitu hitam dan menakutkan di mata rakyat, di samping akan merangsang terbentuknya tradisi prajurit berjiwa satria dan bertanggung jawab dalam ABRI . 


Bur Rasuanto, pengarang; tinggal di Jakarta.

Sumber: Kompas 3 September 1998

0 komentar:

Posting Komentar