Sebagai produk para wakil rakyat bersama dengan pemerintah, maka Perda itu—seperti halnya undang-undang—dapat disebut sebagai produk legislatif (legislative acts), sedangkan peraturan-peraturan dalam bentuk lainnya adalah produk regulasi atau produk regulatif (executive acts).
Perbedaan antara Perda dan undang-undang hanya dari segi lingkup teritorial atau wilayah berlakunya. Undang-undang berlaku secara nasional, sedangkan Perda hanya berlaku di dalam wilayah pemerintahan daerah yang bersangkutan saja, (provinsi, kabupaten, atau kota).
Menurut Ni'matul Huda, dari segi pembuatannya sudah semestinya kedudukan Perda ini, baik tingkat provinsi maupun Perda tingkat kabupaten atau kota, dapat dilihat setara dengan undang-undang dalam arti semata-mata merupakan produk hukum lembaga legislatif. Namun dari segi isinya, sudah seharusnya, kedudukan peraturan yang mengatur materi dalam ruang lingkup daerah berlaku yang lebih sempit dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dibandingkan peraturan dengan dengan ruang lingkup wilayah berlaku yang lebih luas. Dengan demikian undang-undang lebih tinggi kedudukannya dari pada Perda provinsi, dan Perda kabupaten atau Perda kota. Karena itu, sesuai dengan prinsip hierarki peraturan perundang-undangan, peraturan yang lebih rendah itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi.
Tapi, sebagai konsekuensi dari penegasan prinsip pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam naskah Perubahan Pertama UUD 1945, maka produk legislatif daerah ini dapat saja bertentangan dengan produk eksekutif di tingkat pusat. Misalnya, apabila suatu materi Perda tingkat provinsi atau tingkat kabupaten/kota yang telah ditetapkan secara sah ternyata bertentangan isinya dengan materi peraturan menteri di tingkat Pusat, maka pengadilan haruslah menentukan bahwa Perda itulah yang berlaku sepanjang untuk daerahnya (lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme..., h. 279-280).
Bagir Manan berpandangan bahwa mengingat Perda (termasuk peraturan desa) dibuat oleh satuan pemerintahan yang mandiri (otonom), dengan lingkup wewenang yang mandiri pula, maka dalam pengujiannya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh semata-mata berdasarkan “pertingkatan”, melainkan juga pada “lingkungan wewenangnya". Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi (kecuali undang-undang dasar) belum tentu salah, kalau ternyata peraturan perundang-undangan tingkat tinggi melanggar hak dan kewajiban daerah yang dijamin UUD atau undang-undang pemerintah daerah. Mengenai materi muatan Perda, dalam Pasal 18 Ayar (6) UUD 1945 ditentukan bahwa: “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Hal ini kemudian yang dipertegas dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011. Dalam Pasal 7 Ayat (1), ditentukan rumusan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, sebagai berikut:
(a) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
(c) UU/Perpu;
(d) Peraturan Pemerintah;
(e) Peraturan Presiden;
(f) Perda Provinsi;
(g) Perda Kabupaten/Kota.
(lebih jelas, lihat Dayanto dan Asma Karim, Peraturan Daerah Responsif: Fondasi Teori, Metode, dan Teknik Pembentukan, Malang: Setara Press, 2019, h. 83-85)
0 komentar:
Posting Komentar