Oleh: Abdurrahman Wahid
Senyum selalu menghiasi wajahnya yang terlihat penuh ketulusan. Senang bergurau secara halus, banyak menjawab secara mengelak, dan senantiasa menunjukkan kerendahan hati dalam bersikap dan bertutur kata.
Naik apa ke sini tadi, Kiai? “Wah, saya beli Colt di depan rumah, sampai di terminal saya jual lagi, terus naik becak kemari,” jawabnya dengan senyumnya yang khas.
Seorang peneliti datang ke rumahnya di dekat Pesantren Tebuireng, sesuai dengan tugas yang diterimanya dari Leknas dan UGM Yogya. Dulu belajar apa saja kepada Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai? Jawab sang kiai dengan senyum yag tidak pernah hilang itu. “Hanya kitab Taqrib saja.”
Hanya itu saja, Kiai, tidak ada yang lain? “Ada juga yang lain, malah banyak kitab lain, tapi saya sudah lupa,” jawab sang kiai mengelak. Larangan berpamer kepandaian adalah bagian dari kehidupannya.
Sang peneliti kembali dengan membawa kebingungannya. Sebingung seorang pewawancara yang menerima info langsung dari kiai kita ini, bahwa di waktu mudanya ia jago balap mobil. “Waktu lampu mobil masih pakai karbit, saya sudah senang ngebut. Sekitar tahun sembilan belas dua puluh lima,” cerita sang kiai.
Bagaimana tidak membingungkan, karena cukup kontras dengan keadaan fisiknya dewasa ini: serban yang tidak pernah tertanggal dari bahu, dahi dengan dua tanda hitam akibat lamanya bersujud sembahyang malam selama berpuluh-puluh tahun, dan doa wiridnya yang begitu panjang setiap habis salat. Belum lagi hafalan penuhnya atas Al-Qur’an dan kependekarannya dalam majelis-majelis hukum agama. Jauh sekali dari bayangan semula sebagai pemuda kaya yang senang ngebut di zaman “normal”.
Tetapi yang paling membingungkan adalah pola sikap hidupnya yang penuh pembalikan pendirian, kalau dilihat sepintas lalu saja.
Sebagai murid setia Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Adlan Ali tidak diizinkan memasuki tarekat semasa hidup gurunya tercinta itu. Kecintaan itu masih melandasi hidupnya sekarang, tetapi mengapakah sepeninggal sang guru ia justru mengikuti tarekatnya Kiai Ramli Rejoso? Bahkan lebih jauh lagi: kini ia dalam usia tujuh puluh enam tahun menjadi pemimpin tarekat sendiri, yang lebih kurang berpangkalan di Pesantren Tebuireng. Apa tidak khawatir kualat Kiai Hasyim, yang dulu begitu tekun berpolemik melawan gerakan-gerakan tarekat yang ada di bumi Jawa? Apakah tidak ada konflik kejiwaan dalam dirinya, akibat pembalikan sikap itu?
Ternyata dalam hal ini sudut pandangan lahiriah saja sulit untuk dapat menangkap tindakan yang secara lahiriah itu berbentuk pembalikan sikap. Harus dimengerti sebab-sebabnya diambil sikap seperti itu, harus didekati rasionalitas tindakan itu sendiri. Adalah ceroboh untuk begitu saja menilai sesuatu tindakan sebagai pembalikan sikap, sebelum jelas-jelas diketahui apakah ia benar pembalikan atau bukan.
Dalam kasus Kiai Adlan Ali, ketaatan asas (konsistensi) dalam berpikirlah yang menjadi sebab dari apa yang tampak sebagai pembalikan sikap itu. Kiai Hasyim dulu menentang ekses-ekses tarekat, bukan tarekatnya. Ia pernah debat dengan Kiai Khalil Rejoso, pendiri tarekat Naqsyabandiyah di sana, karena dituduhnya Kiai Khalil mendakwakan kewalian bagi dirinya.
Sekarang persoalannya sudah lain sekali, begitu mungkin jalan pikiran Kiai Adlan. Orang tidak bergairah menjalankan ajaran agama di luar lingkup ketarekatan. Apakah akan kita biarkan mereka tidak bersembahyang, hanya karena takut ekses-ekses tarekat itu sendiri? Bagaimana pertanggungan jawab kita di hadapan Allah kelak? Mana yang lebih perlu, mengajak orang bersembahyang, ataukah meributkan soal ekses-ekses tarekat?
Kalau dipahami jalan pikiran ini, akan menjadi jelas pula mengapa Kiai Adlan dapat mendamaikan antara keterlibatan dirinya dalam gerakan tarekat dan kecintaan (yang menghasilkan ketundukan) dirinya kepada mendiang gurunya, Kiai Hasyim. Ia menerima dan tunduk kepada perintah Kiai Hasyim, walaupun ketundukan itu tidak hanya pada pengertian literer perintah itu sendiri saja, melainkan justru ketundukan untuk mengembangkannya dalam kasus yang sama sekali berbeda. Ketundukan di dalam (inner obedience) yang tampak sebagai pengingkaran di luar (outer disobedience).
Berapa orangkah dari kalangan kita yang sanggup mengikuti perintah dalam penghayatan di dalam seperti itu? Mampukah kita untuk melepaskan diri dari ketundukan luar, untuk mengejar ketundukan di dalam, suatu hal yang lebih bersifat pengembangan dan mempunyai nilainya sendiri yang mendasar? Bukankah kebalikannya yang lebih banyak kita lakukan, yaitu ketundukan di luar dan melawan di dalam? Tanyakan kepada para alumnus penataran P4, kalau tidak percaya!
Memang menarik untuk mengikuti jalan pikiran Kiai Adlan ini, dengan rasionalitasnya yang unik itu.
Sumber: TEMPO, No 22, Tahun X, 26 Juli 1980)
0 komentar:
Posting Komentar