alt/text gambar

Selasa, 05 Agustus 2025

Topik Pilihan:

Pancasila: Antara Mitos dan Ideologi


Oleh: Kuntowijoyo


Ada waktunya ketika dalam kesadaran masyarakat , Pancila dipahami sebagai mitos. Dalam industrialisasi kita harus menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang efektif. Tidak saja secara politis seperti di masa lalu, tapi juga ekonomis, sosial, dan budaya. 

Pancasila sebagai Mitos

Selama ini Pancasila memang efektif sebagai ideologi yang mempersatukan Indonesia secara politis, tetapi belum efektif sebagai ideologi ekonomi, sosial, dan budaya. Mengapa? Karena kita masih memahami Pancasila sebagai mitos. 

Kita belajar dari sejarah tentang kelahiran Pancasila pada 1 Juni 1945 (ketika Sukarno pertama kali mengusulkannya dalam sidang BPUPK) atau 18 Agustus 1945 (ketika dicantumkan dalam UUD). Jadi, jelas tempat dan waktunya. Tetapi Pancasila kemudian menjadi kesadaran sosial yang mengatasi tempat dan waktu. Dan kita cenderung mengeramatkannya (dan sekaligus menjatuhkannya). 

Ada “Hari Pancasila Sakti”. Karena itu, kita lebih memandangnya sebagai mitos daripada sebagai sejarah. Soalnya, “sakti” dalam sistem pengetahuan agraris kita mengandung unsur mistik. Maka mistifikasi Pancasila tak terelakkan. Jadilah Pancasila itu seolah-olah makhluk sakti mandraguna, yang mempunyai kehidupan sendiri, lepas dari bangsa Indonesia yang melahirkan dan mendukungnya. 

Selama kita masih menganggap Pancasila sebagai mitos, ia hanya efektif secara politis, tetapi tidak yang lain. Pancasila kita anggap sebagai mitos ketika kita mencoba menjelaskan kelahirannya melalui pendekatan budaya. Seperti juga “merah-putih” yang kita temukan sudah berumur 6.000 tahun, penjajahan Belanda selama 350 tahun, dan Pancasila adalah “nilai-nilai luhur bangsa” yang lahirnya entah kapan dan entah di mana. Tak peduli bahwa di masa lalu Indonesia terpecah ke dalam banyak kerajaan yang saling berperang berebut hegemoni, kita percaya bahwa Indonesia sejak dulu sudah bhineka tunggal ika, karena ada “Sumpah Pemuda”. 

Mitos kadang-kdang lebih efektif daripada ideologi pada saat-saat kritis, seperti pada 1965. Sebab, mitos bertumpu pada kepercayaan‒sedangkan ideologi pada intelektualitas. Tetapi mitos akan lumpuh pada waktu normal. Mitos lebih subjektif, ideologi lebih objektif‒merujuk pada situasi sejarah yang konkret. Menurut para pengamat (George Sorel, Reflection on Violence, Karl Manheim, Ideology and Utopia), perbedaan antara mitos dan ideologi adalah sebagai berikut:

Mitos sifatnya: Irrasional, gunanya: Konsensus. Ideologi sifatnya: Rasional, gunanya: Kepentingan. 

Selama ini kita mensosialisasikan Pancasila lebih sebagai mitos daripada ideologi. Ada keperluan sejarah (historical necessity) yang tak terelakkan, yaitu perlunya konsensus nasional. Tetapi konsensus semacam itu juga mempunyai akibat sampingan. Konsensus nasional untuk meredam perpecahan horisontal (antardaerah, antaragama, antarlembaga politik), mislanya, ternyata mengakibatkan menguatnya konsensus vertikal antara atas dan bawah, antara negara dan rakyat. 

Untuk menghadapi industrialisasi, tak ada pilihan lain selain “mengembalikan” Pancasila ke fungsinya sebagai ideologi. Ini berarti, kita harus menjadikan Pancasila itu rasional. Menjadikan Pancasila yang rasional tidak berarti “mempersoalkan” Pancasila, dalam arti meragukannya. Sebaliknya, kita taken for granted. Hanya saja, kita ingin lebih mengefektifkan Pancasila sebagai ideologi nasional dengan mengubah cara pemasyarakatannya. Itu berarti bahwa alam pikiran mistis yang selama ini kita pakai dalam memasyarakatkan Pancasila harus kita gantikan dengan alam pikiran sejarah, sebagaimana sudah dianjurkan Soedjatmoko sejak 1957, yaitu sejak “Seminar Sejarah Nasional I”. 

Pancasila sebagai Ideologi

Sebagai ideologi, Pancasila dituntut untuk tetap pada jatidirinya, ke dalam (segi intrinsik) dan ke luar (segi ekstrinsik). Ke dalam, Pancasila harus (1) konsisten dan (2) koheren. Ke luar, harus menjadi penyalur dan penyaring kepentingan (3) horisontal maupun (4) vertikal. 

Konsisten berarti, antara sila yang satu dan sila yang lain tak boleh bertentangan. Memilih salah satu saja, dan meninggalkan yang lain, adalah inkonsistensi. Inkonsistensi terbesar terjadi pada pra-1965, ketika Pancasila secara konseptual bisa diperas menjai tiga. Dan dari tiga menjadi satu, pada waktu semua sila hilang dan munculnya Gotong Royong. Jelas Gotong Royong merujuk pada kolektivisasi, seperti pada Komunisme. Mungkin sekarang kita heran, bagaimana kita bisa kecolongan. Tetapi itulah realitas politik kita di masa lalu. 

Koheren artinya, kenyataan politik harus ditata, sehingga ada persesuaian antara kenyataan dan ideologi. Di masa lalu, koherensi itu tidak ada. Sekalipun pada waktu itu aturan main politik memperkenankannya, dalam Sidang Konstituante 1957 ada yang mencoba mengesampingkan Pancasila dan menggantinya dengan Islam‒suatu langkah yang tidak objektif dalam konteks masyarakat plural. Munculnya gagasan tentang negara Islam itu mungkin didorong oleh kenyataan bahwa pada waktu itu juga ada PKI yang jelas-jelas ateis dan internasionalis. Kemudian, pada zaman Orde Baru, ada seorang tokoh politik yang berpendapat bahwa Pancasila adalah sekular‒satu hal yang tidak objektif, mengingat mayoritas orang Indonesia percaya kepada Tuhan. 

Kita sebagai bangsa rupanya harus belajar dari sejarah, supaya lebih arif dan tidak terperosok ke lubang yang sama dua kali. Dalam proses belajar dari sejarah itu, kita jangan jadi tawanan masa lalu. Biarkan sejarah itu terbuka dan bergerak maju. 

Ideologi diharapkan jadi penyalur sekaligus penyaring berbagai kepentingan. Sesudah 1965, para pengamat Barat yang bersimpati kepada PKI biasanya menggambarkan politik pada zaman Orde Baru sebagai sebuah kemunduran. “Kemunduran” itu ialah digantikannya politik berdasarkan kelas (stratifikasi, pembagian masyarakat secara vertikal) menurut kedudukan atas-bawah) oleh politik aliran (pilarisasi, pembagian masyarakat secara horisontal menurut keyakinan). 

Adanya OPP yang tidak mewakili kelas, tetapi non-kelas, dianggap sebagai bukti munculnya kembali aliran. Tentu saja ini tidak seluruhnya benar. Di masa lalu, sekalipun dalam retorika PKI mewakili buruh dan tani, dalam rekrutmen keanggotaan mereka memakai budaya (abangan vs santri). Jadi, juga tidak sepenuhnya berdasarkan kelas. 

Dalam era industrialisasi yang diperlukan ialah politik yang rasional, dalam arti objektif dan adil. Misalnya, sebuah politik yang tidak rasional untuk mengesampingkan buruh dan tani, karena secara objektif mereka berperan dalam produksi. Sebaliknya, juga tidak adil politik yang mengesampingkan pengusaha, karena mereka berperan dalam perencanaan, manajemen, dan menggung risiko. Sebuah politik yang berdasarkan kelas semata-mata adalah politik yang tidak rasional, tidak objetif, dan tidak adail. Sebab, banyak anggota masyarakat yang berpikir non-kelas. 

Supaya efektif, Pancasila harus dibaca sebagai kalimat aktif, dan tidak sebagai frase yang netral. Jadi, misalnya, Ketuhanan Yang Maha Esa harus dibaca sebagai “memahaesakan Tuhan”. 

Ideologi dan Agama

Ada perbedaan mendasar antara ideologi dan agama. Ideologi semata adalah kekuatan sekular. Jangan dibayangkan bahwa ideologi yang sekular itu akan menemui jalan buntu, bahwa ideologi tanpa agama merupakan kekacauan, chaos. Tanpa agama pun ideologi dapat berjalan. Soalnya, di dalam diri manusia iu ada – apa yang disebut Immanuel Kant – caterogical imperative, atau hati nurani. Disiplin, setia kawan, kedermawanan, kejujuran, kesetiaan, keadilan, kerja keras, dan sopan-santun, dapat bertumpu padanya. Di masyarakat sekuler, seperti Amerika, dapat berkembang civil religion. Khusus tentang Amerika, orang mencari asal-usul civil religion dalam agama Protestan, yaitu Puritanisme yang telah mengalami sekularisasi. 

Agama berbeda dengan ideologi sekular. Dalam agama ada sistem dosa-pahala, sorga-neraka, dan halal-haram. Dalam categorical imperative pun terdapat rasa benar-salah, dan sanksi yang inherent adalah rasa bersalah itu. Kalau dalam agama segala perbuatan tergantung pada iman seseorang dengan sanksi sorga-neraka, maka dalam categorical imperative perlu sanksi luar berupa paksaan hukum, law enforcement. Zakat, misalnya, termasuk dalam wilayah agama. Pajak termasuk dalam wilayah ideologi. Bagi umat beragama, pajak dapat diinternalisasikan sebagai utang kepada negara, yang membayarnya adalah wajib hukumnya. 

Pancasila dinyatakan tidak sekular, tapi juga bukan agama. Sebagai ideologi, Pancasila adalah objektivikasi dari agama-agama. Ini berari bahwa unsur-unsur objektif agama-agama ada dalam Pancasila. Dengan demikian, Pancasila mendapat dukungan ganda: ia adalah ideologi dengan categorical imperative, dan melalui proses internalisasi (jadi tidak secara mekanis, tidak dengan sendirinya, tapi dengan niat, dengan kesadaran), ia adapat masuk ke dalam wilayah agama. 


Sumber: (UMMAT, No. 3, Tahun II, 5 Agustus 1996) 

0 komentar:

Posting Komentar