Oleh: YB Mangunwijaya
(Kompas, 11 Agustus 1998)
Mas Rudy yang baik hati,
Dalam hari-hari berat Anda penuh tanggung jawab yang menyangkut nasib 208 juta penduduk negeri kita tercinta, dengan tulus saya panjatkan doa kepada Tuhan Sumber Kearifan, semoga Anda selalu menemukan cahaya kebijakan yang paling baik demi rakyat kita, khususnya yang dina lemah miskin; yang sudah lemah dan rupa-rupanya masih akan lama menderita dalam banyak perkara, rohani, mental, jasmani. Demikian juga kekuatan, ketabahan dan senyum di hati saya doakan untuk Mbak Ainun dan para putra Anda.
Baru pertama kali sejak kita saling mengenal, saya menulis surat bermuatan politik kepada Anda. Surat ini saya tulis sebagai sahabat kepada sahabat, walaupun pada bidang politik kita berseberangan. Namun kendati demikian kita saling menghargai posisi dan pandangan politik masing-masing, sebab dunia politik adalah dunia yang jauh di bawah wilayah persahabatan.
Pastilah Anda sepakat, sahabat yang baik bukanlah dia yang hanya menyanjung dan mengucapkan “ya” kepada sahabatnya. Maka surat bermuatan politik ini pun saya tulis dalam suasana hati yang tulus. Surat, yang tidak perlu Anda setujui. Hanya asal Anda ketahui dan pertimbangkan saja. Selalu salah satu tanda bela-suka-duka dari seorang sahabat yang tidak ingin diam-acuh-tak acung tentang hal-ihwal seorang saudara yang meskipun politis berseberang, akan tetapi satu dalam keprihatinan.
Mas Rudy yang baik hati,
Langsung saja saya katakan, saya tidak pernah mengakui keabsahan pemilu-pemilu terakhir ini dari segi moral. Politik saya adalah politik hati-nurani. Bukan politik kekuasaan dan Machiavelian atau formal-formalan. Sebab politik pun harus tunduk kepada Hukum Tuhan, dan tidak segala jalan dihalalkan oleh sasaran. Maka khususnya pemilu yang terakhir bagi saya tidak pernah sah karena dilakukan penuh tipuan, pemalsuan dan teror. Demikian juga tentu saja MPR/DPR RI, buah-buah dari pohonnya dengan sendirinya tidak sah. Beserta segala keputusan serta pemberian mandat-mandatnya.
Namun apa dan bagaimanapun, walaupun dari segi kemanusiaan yang adil dan beradab lagi fair-play semua itu tidak sah, Anda de facto kini adalah orang perdana yang berpengaruh besar di negara kita. Saya amat bahagia dan sangat menghargai Anda ketika Anda berkata penuh kemurahan hati kepada publik: “panggil saya Rudy saja”, sebab dalam pandangan hati nurani saya, atas alasan di atas tadi, sangat sulit saya menyapa Anda secara jujur dengan Yang Mulia Bapak Presiden.
Mas Rudy,
Karena saya bersama rakyat dan teristimewa para muda Indonesia sejak awal tidak pernah menilai sah pemilu-pemilu terakhir, maka saya minta:
1. Sudilah menggunakan pengaruh Anda agar pemilu yang baru dan sungguh jurdil dan luber diadakan. Tetapi ... bukan oleh kabinet Anda, melainkan suatu lembaga independen yang belum berkolaborasi dengan Pak Soehardto dulu. Atau paling tidak oleh figur-figur masyarakat yang oleh para mahasiswa dan generasi muda (juga oleh para senior pendukung mereka) masih dianggap relatif bersih dan acceptable. Misalnya oleh saudara-saudara pakar hukum dari kalangan Komnas HAM dan para ahli serta pemuka lain yang di Orba tetap kritis, beroposisi secara benar dan relatif masih bersih dan independen.
2. Selain itu, pemilu yang akan datang hendaknya tidak bersasaran primer memilih presiden dan wakil presiden baru, akan tetapi untuk memilih wakil-wakil rakyat dalam Majelis Konstituante yang harus menetukan dulu undang-undang dasar Republik Indonesia yang final, jadi tidak yang oleh para pendiri RI kita sengaja dibuat sementara. Anda seorang Muslimin yang baik, dan pastilah tidak ikut-ikutan mengkeramatkan UUD ’45 seolah-olah itu wahyu Tuhan yang abadi.
Memang Mukadimahnya dapat dilestarikan, dan bila dikehendaki rakyat dimekarkan, artinya dengan tetap menjaga identitas RI 17 Agustus 1945, karena merupakan warisan kearifan para perintis dan dan pendiri Republik Indonesia yang amat berharga dan masih mampu memberi pedoman bagi rakyat serta tata negara kawasan Nusantara ini; lagi obyektif masih merupakan jaminan paling baik demi kebhinnekaan yang tunggal dari nasion kita tercinta.
Namun, batang-tubuhnya sungguh memerlukan revisi, pelengkap serta pemekaran yang up to date dan efektif menjamin hak-hak asasi warga negara.
3. Baru, Mas Rudy, barulah Eksekutif perdana RI dapat dipilih. Namun juga wakil-wakil rakyatlah yang harus memilih langsung Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung. Juga para perdana lembaga-lembaga paling tinggi lain(terserah Konstituante nanti) dalam struktur keseimbangan kekuasaan antara pihak legislatif, eksekutif, yudikatif dan komponen lain yang dibawa oleh realitas mosaik kekuasaan yang berkonstelasi nasional global serba baru abad ke-21.
4. Demikianlah hal berikut juga ingin saya sampaikan, yakni yang berhubungan dengan warisan politik yang amat menyedihkan dari pemerintah yang terdahulu, dan yang telah berpuluh tahun mencampakkan nama baik negeri dan negara Indonesia di muka dunia internasional dengan mencetak halaman-halaman hitam bagi sejarah nasional maupun dunia. Jelasnya soal Timor Timur.
Sudilah Anda menyinarkan kebesaran jiwa dan keningratan hati Anda yang setingkat dengan amanat Mukadimah UUD ’45 kalimat pertama. Sejak awal mula Republik Indonesia 17 Agustus 1945 hanya menginginkan daerah bekas Hindia Belanda, dan hanya itu. Dan itulah pula yang diakui PBB.
Saya bukan pahlawan besar selama perjuangan Revolusi 1945-1950, akan tetapi saya dan semua pejuang dulu yang masih jujur teranglah tidak suka jika penyakit kolonialisme yang kami lawan dulu menjangkiti dan menodai Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Selama 23 tahun sumbat sensor amat ketat telah menyembunyikan segala pemberitaan obyektif tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Timor Timur. Namun kedustaan tidak pernah mungkin selamanya tertutup hermetis. Apalagi bila menyangkut terbunuhnya atau hilangnya, entah oleh perang atau akibat kelaparan dan penyakit, oleh perampokan pemerkosaan dan tindakan-tindakan keji lain, sekitar 120.000 jiwa orang Timor Timur; jadi sudilah membayangkan, seperlima dari jumlah penduduk pada waktu Indonesia menyerang Timor Timur. Masih ditambah tumbal nyawa sekian (puluh?) ribu prajurit ABRI yang menjadi korban politik ekspansi Presiden Panglima Tertinggi RI yang lalu.
Bayangkan, Mas Rudy, tanpa dilebih-lebihkan suatu praktek yang tidak kalah kejamnya dibanding dengan yang diperbuat oleh Serbia terhadap Bosnia telah dilakukan selama 23 tahun di Timor Timur atas nama bangsa Indonesia yang ber-Pancasila. Apakah mungkin kita yang ingin beriman dan bertakwa kepada Allah dan menyetujuinya dan “menikmatinya”?
Syukurlah waktu itu Anda tidak iukt dalam pengambilan keputusan-keputusan tertinggi yang fatal dari pemerintah Soeharto mengenai Timor Timur. Justru karena itulah, sebagai figur yang paling berpengaruh dalam RI kita sekarang, sudilah Republik Indonesia yang ber-Pancasila bersikap ksatria dan mengambil arah pertobatan, rekonsiliasi dan rehabilitasi terhadap rakyat Timor Timur yang suka damai itu. Anda bukan Soeharto.
Maka apabila nanti, berdasarkan pengalaman mirip Bosnia, rakyat Timor Timur nanti menginginkan referendum di bawah naungan PBB yang menentukan ataukah ingin berintegrasi dengan RI ataukah merdeka 100 persen, sudilah memenuhi tuntutan itu dalam semangat Mukadimah UUD ’45 kalimat pertama. Lebih ningrat-ati, adil dan berpandangan luas ke depan dibanding dengan Nederland dan Hindia Belanda waktu dulu terhadap Republik Indonesia.
Namun jauh lebih mulia dan amat meminimumkan rasa malu kita terhadap dunia internasional, bila oleh dekrit Republik Indonesia sendiri kemerdekaan de facto yang telah mereka capai sebelum pasukan-pasukan Indonesia menyerbu Timor Timur dikembalikan dengan ikhlas dan berjiwa besar kepada rakyat Timor Timur, untuk selanjutnya dijamin secara de jure di hadapan PBB. Sebab memang dari awal mula Republik Indonesia memperjuangkan hak kedaulatannya hanya atas wilayah Nusantara bekas Hindia Belanda.
Sudilah menyelamatkan negara kita dari noda sejarah itu, Mas Rudy yang baik hati, justru karena Anda dulu tidak ikut bertanggung jawab kenegaraan terhadap semua yang terjadi di sana.
***
SAHABAT Rudy,
Saya tahu bahwa selaku pribadi sendirian Anda, kendati berhati baik, tidak mungkinlah Anda begitu saja memenuhi permohonan dan usulan saya ini. Banyak tokoh serta pihak harus diajak konsultasi. Bahkan mungkin Anda pun sama sekali tidak setuju dengan apa yang saya kemukakan ini.
Namun Anda tokoh yang amat berpengaruh, manusia yang takwa kepada Allah. Suatu momentum historicum yang besar sedang kita alami.
Di saat besar seperti ini sudilah menunjukkan kepada seluruh dunia, bahwa kita adalah nasion yang berhati besar dan berjiwa ikhlas. Dan bahwa Anda, sahabatku, seorang negarawan yang bijak penuh kemanusiaan yang adil dan beradab, justru karena Anda bersih dalam peristiwa berdarah dan berair mata di Timor Timur. Isilah dan buahkan momentum agung itu. Dan demikian oleh Sejarah nanti Anda akan dikenang sebagai negarawan berjiwa besar.
Demi, Rahmat dan Berkat Tuhan semoga selalu menyertai Anda dalam saat-saat besejarah ini. Untuk Mbak Ainun dan seluruh keluarga saya tetap mendoakan ketabahan serta bahagia di hati.
Sahabat lama dan selalu, YB Mangunwijaya.
* YB Mangunwijaya, budayawan, tinggal di Yogyakarta.
Catatan Redaksi: Surat ini dikirim ke alamat Prof Dr BJ Habibie. Baru kemudian, dengan
pemberitahuan lebih dahulu, dikirim (hanya) ke Kompas.
Sumber: Kompas, 11 Agustus 1998
0 komentar:
Posting Komentar