alt/text gambar

Kamis, 25 September 2025

Topik Pilihan:

Amtenar, Pamong, Aparatur

Majalah Tempo


Oleh: Kasijanto Sastrodinomo


Seluruh lapisan masyarakat Indonesia menaruh harapan besar pada pelayanan terbaik dari aparatur sipil negara. Itulah penggalan pidato Presiden Joko Widodo pada pelantikan Pamong Praja Muda Insititut Pemerintahan Dalam Negeri Angkatan XXIV (2017) yang lalu. Dikatakan pula bahwa daerah terpencil di Indonesia membutuhkan pegawai negeri yang berkualitas. Dalam kesempatan yang sama, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa pamong praja harus menjadi penggerak kemajuan masyarakat di perbatasan dan daerah terluar (Kompas, 8 Agustus 2017). 

Dalam kutipan berita itu, ketemu tiga istilah yang berbeda-beda, yaitu (1) aparatur sipil negara, (2) pegawai negeri sipil, (3) pamong praja, tapi merujuk pada pokok yang sama‒yang tidak lain adalah pegawai negeri sipil (PNS) secara umum. Ketiga istilah itu merupakan produk sistem birokrasi modern walau ada yang digali dari khazanah budaya lama, yakni kata pamong dan praja. Jika ingin lengkap, “koleksi” istilah tentang PNS bisa ditambahi dengan amtenar dan pangrèh praja. Kedua istilah terakhir ini malah lahir duluan ketimbang istilah yang lain tersebut. Mencerminkan apakah mereka istilah itu? 

Amtenar, serapan dari ambtenaar, adalah produk penjajahan abad ke-19. Kala itu, penguasa kolonial membangun birokrasi yang disebut binnenlandschbestuur atau pemerintahan dalam negeri, yang terdiri atas pegawai sipil orang Belanda, dan inlandsch bestuur atau pemerintahan pribumi, yang berunsur elite tradisional. Inilah “kelas memerintah”‒meminjam istilah Gaetano Mosca, the rulling class (1939)‒yang feodalistis dan sangat menentukan. Itu sebabnya negara kolonial juga berjulukan beambtenstaat alias negara yang dikendalikan oleh “pembesar kerajaan” (teringat Heather Sutherland dalam The Making of a Bureaucratic Elite, 1979). 

Mungkin masih terbawa alam pikiran “kolot” itu, ambtenaar disulih pangrèh praja pada 1946‒justru ketika negeri ini resmi terlepas dari kolonialisme. Kata pangrèh dibentuk dari recht (Belanda) yang berarti ‘hukum’; staatrecht adalah hukum tata negara. Diserap ke dalam bahasa Jawa, recht menjadi rèh yang condong dipahami sebagai ‘perintah’. Verba ngerèh berarti ‘memberi perintah’; dirèh ya ‘diperintah’. Nomina pangrèh atawa pangerèh, jadinya, ‘pemberi perintah’, juga ‘penguasa’. Perihal praja berarti ‘kerajaan’ atau ‘istana’. Maka pangrèh praja adalah ‘penguasa kerajaan’. Istilah itu mencitrakan layaknya barisan birokrat yang digdaya‒sementara warganya takluk dalam suatu exigencies akibat proses dan praksis kekuasaan yang elitis (menyadur Joel S. Migdal, State in Society, 2001). 

Istilah pangrèh lalu tergusur oleh pamong, sedangkan praja tetap bertahan. Perubahan sebutan itu rupanya mengikuti paradigma baru (tersimpul dari beberapa artikel dalam Jurnal Pamong Praja terbitan alumni Institut Ilmu Pemerintahan). Sementara istilah pangrèh terasa lekat dengan “pengawas negara penjaga malam” yang perkasa, pamong ibarat “pengasuh” nan lembut dalam negara kesejahteraan. Memaknai kata dasar among, para pegawai diimajinasikan sebagai “abdi” yang tulus melayani negeri dan rakyatnya. Ingat pula sebutan bagi pegawai negeri yang “distilisasi” sebagai abdi negara. Di kalangan sekolah tinggi calon PNS, pamong bersinonim dengan ‘pengajar’, sedangkan praja adalah ‘peserta didik’. 

Namun pamong praja bukan sebutan resmi kepegawaian negeri secara umum dan tidak tertulis dalam beslit pengangkatan. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, istilah pamong praja khas merujuk pada Polisi Pamong Praja sebagai perangkat wilayah yang bertugas membantu kepala wilayah menyelenggarakan pemerintahan umum. Begitu pula di lingkungan Kementerian Dalam Negeri, sebutan pamong praja mengacu khusus pada Satuan Polisi Pamong Praja. Sementara itu, pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010, pamong praja meliputi lurah, camat, polisi pamong praja, sekretaris daerah, asisten sekretaris daerah, dan satuan kerja perangkat gubernur. 

Paling anyar adalah istilah aparatur sipil negara (ASN) yang resmi terpacak sebagai nama Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014. Bagaikan siklus setelah ambtenaar lenyap pada abad yang lalu, kita memetik kembali kata Belanda, apparatuur, untuk memerikan ihwal kepegawaian negeri ini. Bahkan, mungkin tanpa sengaja, istilah ASN sepenuhnya serapan kata impor: Belanda (apparatuur), Inggris/Belanda (civil/civiel), dan Sanskerta (negara). Dalam kamus babon Pusat Bahasa, apparatuur diolah jadi aparatur, yang berarti ‘perangkat’; ‘alat (negara, pemerintah)’; dan ‘para pegawai (negeri)’. 

Konsep Undang-Undang ASN bersifat inklusif, mencakup semua pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja. Spiritnya terasa mencari sistem birokrasi Weberian yang legal-rasional. Tentang peran ASN, misalnya, disebutkan akan melaksanakan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.


Kasijanto Sastrodinomo, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia


(TEMPO, No. 4631/25 September-1 Oktober 2017, Rubrik “Bahasa”)

0 komentar:

Posting Komentar