![]() |
Drs. Kwik Kian Gie |
Oleh: Kwik Kian Gie
Banyak negara yang cadangan devisanya setiap tahun melimpah dibanding dengan kebutuhan devisa untuk impor. Hongkong termasuk di antaranya. Maka, kalau untuk setiap tujuh dolar Hongkong yang beredar harus disediakan satu dolar AS, jumlah dolar Hongkong yang beredar bisa membengkak terus sesuai pertumbuhan ekonominya, karena cadangan devisa dalam bentuk dolar AS yang dijadikan jangkar (anchor) setiap tahunnya, juga bertambah terus.
Di Indonesia tidak demikian. Kebutuhan devisa untuk mengimpor barang dan jasa selalu lebih besar dari perolehan devisa dari ekspor. Maka, cadangan devisa selalu terancam habis. Kita telusuri kembali bagaimana hubungannya dengan masalah nilai tukar antara rupiah dengan valuta asing. Kita ambil satu saja, yaitu dolar AS.
Di zaman Orde Lama, karena kelangkaan devisa, semua devisa dikuasai pemerintah. Caranya dengan melarang warga negara memiliki devisa. Eksportir diharuskan menjual devisa kepada pemerintah dengan harga yang ditentukan, misalnya Rp 10 per dolar AS. Setiap orang yang memerlukan devisa boleh mengajukan permohonan membeli dolar dari pemerintah dengan harga yang ditentukan pemerintah juga. Katakanlah sama, Rp 10 per dolar AS. Meski demikian, pemerintah tidak menjualnya kepada siapa saja dan kapan saja, tetapi hanya kepada mereka yang kebutuhannya dianggap berguna untuk kepentingan negara dan bangsa. Kurs Rp 10 per dolar AS ini disebut kurs resmi.
Dengan sistem itu, muncullah pasar gelap. Dengan sembunyi-sembunyi kita bisa membeli dolar di Pasar Baru, Jakarta Pusat secara tunai. Cara lain, pembeli dolar menyerahkan rupiahnya kepada penjual. Penjual memberi surat kepada relasinya di luar negeri. Surat ini berfungsi sebagai cek. Dengan surat ini, pembeli memperoleh dolarnya di luar negeri dari relasinya sang penjual di Indonesia. Dari mana asal usulnya dolar yang diperjualbelikan secara gelap ini? Dari ekspor yang nilainya dipertanggungjawabkan lebih kecil dari kenyataan, sehingga yang harus dijual kepada BI hanya sebagian. Atau dari impor yang nilainya digelembungkan. Dengan demikian, importir mendapat devisa dari pemerintah yang jumlahnya lebih besar dari harga sebenarnya. Selisihnya disimpan di bank di luar negeri.
Harga dolar di pasar gelap ini tentu lebih tinggi, misalnya Rp 100 per dolar AS. Dengan demikian ada dua harga dolar. Harga resmi yang Rp 10 dan harga di pasar gelap yang Rp 100 per dolar AS.
Dengan kemajuan yang kita capai, sistem lalu lintas devisa dibuat bebas. Pemerintah bersedia menjual dolar dalam jumlah berapa saja, kepada siapa saja, kapan saja, dipakai untuk apa saja dengan harga tetap. Kalau volume pembelian dolar melonjak, sehingga pemerintah khawatir cadangan devisanya habis, harganya dinaikkan. Ini yang dinamakan devaluasi. Harga setiap dolar AS di tahun 1971 dinaikkan dari Rp 378 menjadi Rp 415. Perubahan-perubahan selanjutnya, tahun 1978 menjadi Rp 615, tahun 1983 menjadi Rp 970, dan tahun 1986 menjadi Rp 1.644.
Karena kita lebih maju, kita meninggalkan sistem kurs tetap. Dikatakan, harga dolar ditentukan mekanisme pasar, tetapi tetap dikendalikan pemerintah. Sistem ini dinamakan managed float. Dalam prakteknya, setiap pagi Gubernur BI menentukan dengan harga berapa dolar pada hari yang bersangkutan akan dijual kepada siapa saja tanpa batas. Bagaimana caranya, tak ada yang tahu, kecuali dikatakan ada hubungannya dengan sebuah kumpulan berbagai mata uang penting di dunia. Karena tidak jelasnya itu, sistem ini dijuluki dirty float.
Kita lebih maju lagi. Maka, pembentukan kurs dibuat lebih transparan. Harga dolar ditentukan sepenuhnya oleh permintaan dan penawaran, atau oleh mekanisme pasar. Tetapi pemerintah menentukan batas yang tidak boleh dilampaui. Kalau batas itu dilampaui, pemerintah akan menggerojok dolar dalam jumlah berapa saja, sehingga harga dolar tidak akan melonjak melebihi batas itu.
Pertengahan Juli 1997, harga dolar meningkat terus, sehingga batasnya sudah hampir tersentuh. Pemerintah ternyata tidak menggerojok dolar, tetapi menaikkan batasnya.
Batas ini dinaikkan sampai delapan kali. Pada 13 Agustus 1997 batas itu Rp 2.682 per dolar AS. Batas ini sudah tersentuh harga yang dibentuk oleh pasar. Pemerintah tetap tidak mau menggerojok dolar, tetapi malah mengatakan bahwa sistemnya dibubarkan. Pembentukan harga dolar ditentukan sepenuhnya oleh mekanisme pasar. Harga dolar melonjak-lonjak dan berfluktuasi sampai pernah mencapai Rp 16.000 per dolar AS. Setelah itu bergejolak naik turun sekitar Rp 10.000. Dengan diumumkannya sistem baru yang akan diterapkan pemerintah, dolar turun terus sampai menjadi Rp 7.000. Pada saat artikel ini ditulis (13-2-1998), nilai rupiah merosot lagi menjadi Rp 9.600.
Sistem baru yang akan diterapkan pemerintah itu sistem yang bagaimana persisnya? Tidak ada yang tahu, meski telah banyak gambaran yang diberikan oleh berbagai pihak di media massa.
**
Presiden Soeharto mengatakan telah menemukan kiat untuk mematahkan spekulan. Untuk itu dibutuhkan dukungan dari seluruh rakyat. Menteri Keuangan mengatakan sedang menyiapkan sarana pendukung dan membuat peraturan-peraturannya. Para pakar, pengamat, pengusaha memberi gambaran yang beragam. Yang cukup dominan adalah gambaran sebagai berikut.
Untuk setiap Rp 5.000 yang beredar, pemerintah harus mempunyai 1 dolar AS. Ini berarti, kalau jumlah uang beredar Rp 378 trilyun, harus tersedia cadangan devisa 75,6 milyar dolar AS. Ada yang mengatakan tidak begitu, tetapi untuk setiap Rp 5.000 base money (M1) saja harus tersedia 1 dolar AS. Maka dengan volume base money Rp 78,3 trilyun, cadangan yang perlu disediakan 15,66 milyar dolar AS, Ada yang mengatakan lain lagi. Yang diambil bukan base money, tapi 15 persen dari seluruh uang beredar. Landasan pikirannya adalah tak mungkin rakyat Indonesia mengeringkan uangnya sendiri sampai 100 persen. Kalaupun ada rush dolar, maksimal hanya 15 persen dari uang beredar. Jadi 15 persen dari Rp 378 trilyun atau Rp 56,7 trilyun. Kalau setiap Rp 5.000 dari Rp 56,7 trilyun harus tersedia 1 dolar AS, cadangan devisa yang dibutuhkan sebagai jangkar hanya 11,34 milyar dolar AS, yang bahkan lebih kecil lagi. Kita mempunyai cadangan sekitar 19 milyar dolar. AS. Belum lagi yang lain-lainnya seperti standby loan, foreign assets, komitmen dari IMF, dan sebagainya. Maka akan bereslah semuanya.
Banyak ekonom bingung. Apa iya, penanggulangan krisis yang sudah menjadi resesi berat dan stagflasi ini ternyata demikian sederhana? Tulisan Marzuki Usman (Kompas, 13-2-1998) sangat bagus dan mencerminkan kebingungan ini, bila ternyata demikian sederhananya. Tetapi kita juga jangan terlampau menganggap enteng Steve Hanke. Mungkin dia akan menunjukkan kecemerlangan yang sederhana. Lagi pula, bukankah sistem moneter yang paling kuno adalah mendukung uang beredar sepenuhnya dengan emas? Bukankah tadinya, emas itu sendiri yang dijadikan uang, yang kemudian diganti dengan sertifikat? Sertifikat yang mewakili emas inilah yang berfungsi sebagai uang, karena semua orang tahu, uang kertas itu didukung oleh dan setiap saat dapat ditukarkan dengan emas. Bukankah lambat laun ternyata dukungan oleh emas itu tidak perlu 100 persen, dan masyarakat tetap menerima uang kertas itu sebagai alat pembayaran yang sah tanpa gejolak? Benar. Tetapi kuncinya, rakyat percaya sepenuhnya kepada pemerintah, apa pun yang dikatakan. Pemerintahnya sangat kredibel, sangat dihormati, sangat disegani, benar-benar adalah panutan, mempunyai kharisma besar. Itulah sebabnya Presiden Soeharto mengatakan, kiatnya untuk mematahkan spekulan hanya akan berhasil kalau didukung rakyat sepenuhnya.
Jadi, bila pemerintahnya tidak kredibel, harus mempunyai cadangan emas atau mata uang kuat yang 100 persen. Bila pemerintahnya cukup kredibel, dukungan kecukupan dolar tidak perlu 100 persen. Kalau kredibilitasnya mutlak, tidak perlu dukungan mata uang lain sama sekali, kecuali yang dibutuhkan untuk impor neto. Maka, namanya adalah uang fiduciair, atau uang kepercayaan.
Sepanjang sejarah kita yang mengenal berbagai sistem lalu lintas devisa, ketegangan yang disebabkan kurangnya devisa telah berkali-kali menyebabkan guncangan-guncangan, seperti devaluasi, likuiditas super ketat, meroketnya suku bunga, rush pada perbankan. Yang terakhir masih sangat segar dalam ingatan, yaitu 14 Agustus 1997 saat rentang intervensi dibubarkan, sehingga nilai rupiah terpuruk demikian hebat. Gubernur BI saat itu mengatakan, dia khawatir seluruh cadangan devisa akan terkuras dalam tiga hari tanpa memberikan hasil, seperti yang ketika itu dialami Thailand.
Mengapa sekarang dikatakan, risiko dari pematokan kurs dolar pada Rp 5.000 sangat kecil? Karena skenario optimistik mengatakan, devisa kali ini akan cukup. Seperti ada yang mengatakan, maksimum hanya 15 persen saja dari jumlah uang beredar yang akan didolarkan, begitu kurs dolar menjadi Rp 5.000. Katakanlah hanya lima persen. Ini berarti akan ada uang sejumlah lima persen dari Rp 378 trilyun atau 19 trilyun yang ditarik dari perbankan untuk dijadikan dolar.
Apakah rush pada sistem perbankan nasional yang Rp 19 trilyun ini akan mengguncang perbankan dan likuiditas nasional? Rasanya ya. Ketika itu nanti, bank-bank yang masuk ke dalam ”ICU” BPPN meningkat, rupiah akan sangat langka, tingkat suku bunga akan meningkat drastis. Tetapi kali ini, rupiah beredar tidak dapat dilonggarkan lagi, karena dikaitkan secara mutlak dengan jumlah cadangan devisa yang ada.
Jadi, ada dua risiko. Habisnya cadangan devisa, sehingga untuk impor barang-barang yang penting sudah tidak cukup. Kalau ternyata cukup, risiko lain guncangnya perbankan. Itulah mungkin yang diartikan Alan Greenspan bahwa kecuali yakin dan pasti betul, jangan terapkan Currency Board System (CBS). Itulah pula yang mungkin diartikan Stanley Fischer dan Robert Rubin bahwa belum waktunya Indonesia menerapkan CBS.
Kwik Kian Gie, ekonom senior
Kompas, 16 Februari 1998
Sumber: Kwik Kian Gie, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia: Badai Belum Akan Segera Berlalu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII, 1998, h. 222-228.
0 komentar:
Posting Komentar