alt/text gambar

Jumat, 26 September 2025

Topik Pilihan: ,

BAGAIMANA NILAI RUPIAH?

Drs. Kwik Kian Gie


Oleh: Kwik Kian Gie


Istilah devaluasi sebenarnya sudah lama tidak ada di Indonesia. Dahulu, kita pernah mengalami kebijaksanaan bahwa nilai rupiah berbanding nilai mata uang asing, katakanlah dolar AS, dipatok mati oleh pemerintah. Ini berarti, pemerintah menjamin akan membeli atau menjual dolar AS dalam jumlah berapa pun yang dibutuhkan masyarakat dengan harga yang tingginya dipatok mati tersebut. Kalau harga dolar ini dinaikkan, namanya devaluasi. Kita pernah mengalaminya empat kali, yaitu pada tanggal 23 Agustus 1971 dari Rp 378 menjadi Rp 415, pada 15 November 1978 dari Rp 415 menjadi Rp 625, pada 30 Maret 1983 dari Rp 702 menjadi Rp 970 dan pada 12 September 1986 dari Rp 1.354 menjadi Rp 1.644 per dolar AS. 

Setelah itu, berapa harga satu dolar AS diserahkan pada kekuatan permintaan dan penawaran akan dolar, atau pada mekanisme pasar. Tetapi pemerintah tidak membiarkannya tanpa kendali. Pemerintah menentukan batas-batasnya, yang kalau disentuh lantas melakukan intervensi. Lebar antara dua batas ini disebut rentang atau kisaran intervensi, atau intervention band. 

Maka harga dolar bisa turun dan bisa naik. Kalau naik namanya rupiah terdepresiasi. Kalau turun disebut rupiah terapresiasi. Trend jangka panjangnya, nilai rupiah menurun terus. Maka dari sistem kurs tetap sebesar Rp 1.644 pada 12 September 1986, nilai rupiah merosot terus sampai menjadi Rp 2.478 pada 10 Juli 1997. Rentang intervensi yang berlaku adalah Rp 2.612 dan Rp 2.430. Lama sekali rentang intervensi ini tidak pernah tersentuh, karena nilai rupiah stabil. 

Tetapi dengan depresiasi nilai baht Thailand dan peso Filipina, masyarakat mulai resah, depresiasi itu akan menular ke Indonesia. Kalau masyarakat percaya benar, maka berlakulah hukum the rational expectation. Karena percaya, masyarakat memburu dolar sebelum dolar naik lebih tinggi lagi. Demikian benak mereka. Permintaan akan dolar yang meningkat drastis membuat dolar naik lagi. Itu memicu permintaan lebih besar lagi, dan dolar naik lagi, sampai masyarakat yakin, tidak akan ada kenaikan lagi. 

Rentang intervensi terancam akan tersentuh, sehingga dengan harga Rp 2.612 pemerintah harus menjual dolar dalam jumlah berapa saja. Tetapi pemerintah urik (cerdik). Sebelum batas tertinggi tercapai, rentang intervensi dilebarkan menjadi antara Rp 2.678 dan Rp 2.374. Ternyata rentang intervensi lama memang jebol, seandainya tidak cepat-cepat dilebarkan pada 11 Juli 1997, karena ternyata harga dolar mencapai Rp 2.643 pada tanggal 21 Juli 1997, seperti dapat dilihat dari grafik terlampir. 

Jadi walaupun istilah devaluasi secara teknis sudah tidak ada, nilai rupiah dalam beberapa hari merosot, dari sekitar Rp 2.477 per dolar menjadi sekitar Rp 2.612, atau sudah terdepresiasi sekitar 5,5 persen. 

Rupiah masih berfluktuasi, tetapi masih dalam batas-batas rentang intervensi yang baru, yaitu kalau kita ambil yang tertinggi, pada tanggal 21 Juli 1997 mencapai Rp 2.643, turun lagi, dan pada tanggal 25 Juli mencapai Rp 2.640. Setelah itu lalu turun lagi. Namun seperti dapat dilihat dari grafik, fluktuasi masih berlangsung. Mungkinkah rupiah melemah terus sampai menyentuh batas atas dari rentang intervensi yang Rp 2.678? 

Mengapa tidak mungkin? Apa yang dilakukan kalau batas itu nantinya akan tercapai? Akankah pemerintah menaikkan rentang intervensinya lagi, supaya tidak perlu mengintervensi, sehingga tidak perlu kehilangan devisa? Gubernur Bank Indonesia secara samar-samar telah memberikan isyarat, semuanya bisa terjadi, dan dia tidak mau omong banyak tentang apa yang akan dilakukan. 

Maka masyarakat dipersilakan mereka-reka sendiri, kiranya rupiah akan bisa melemah sampai berapa? Bisakah kita berpegang pada batas atas rentang intervensi yang Rp 2.678 dalam kalkulasi bisnis? Lidah tidak bertulang. Jangan-jangan setiap kali nilai rupiah melemah sampai mendekati rentang intervensi, terus mendadak dilebarkan lagi. Itu sama saja dengan berpura-pura memberi kepastian, tetapi sebenarnya sepenuhnya dilepas pada pasar bebas. 

***

Menjadi sangat penting mengetahui faktor-faktor apa saja yang akan mempengaruhi nilai rupiah. Nilai rupiah terhadap valuta asing (kalau terbebas dari spekulasi) berkaitan dengan perdagangan internasional, yaitu ekspor dan impor. Maka nilai rupiah ialah pencerminan hubungan perdagangan internasional. 

Permintaan akan rupiah adalah hubungan antara nilai riil rupiah dengan ekspor neto. Makin rendah nilai riil rupiah, makin murah barang buatan Indonesia, sehingga ekspor neto makin meningkat. Ini dapat digambarkan sebagai kurva yang menurun dari kiri atas menuju pada kanan bawah, seperti bentuk kurva permintaan. Semuanya tentunya ceteris paribus. 

Kurs yang berlaku, berapa rupiah yang dibutuhkan untuk membeli satu dolar AS disebut kurs nominal. Jelas bahwa untuk menentukan apakah lebih menguntungkan mengekspor atau mengimpor, kecuali kurs nominal, perbandingan harga dari dua negara yang bersangkutan juga sangat relevan. Maka kurs nominal harus dipadukan dengan perbandingan harga dari barang yang sama di Indonesia dan di luar negeri. Perpaduan ini disebut kurs yang riil. Jadi kurs riil sama dengan kurs nominal dikalikan perbandingan antara harga di luar negeri dengan harga di dalam negeri. Kurs inilah yang menentukan apakah ekspor neto akan meningkat atau menurun. Kurs riil ini yang merupakan as vertikal dari kurva terlampir.

Kurva penawarannya ditentukan oleh kenyataan bahwa: Tabungan (S) minus Investasi (I) sama dengan Ekspor minus Impor, atau ekspor neto. Jadi S-I bisa dianggap sebagai kurva penawaran yang vertikal. (Lihat gambar). Nilai keseimbangan rupiah ditentukan oleh perpotongan antara Kurva permintaan dan penawaran. Semakin kecil S-I, kurvanya bergeser ke kiri, dan sebaliknya, semakin besar S-I, kurvanya yang garis vertikal bergeser ke kanan.

Faktor-faktor yang menentukan tingginya tabungan adalah pendapatan nasional dan kebijaksanaan fiskal. Investasi ditentukan oleh investment function dan tingkat suku bunga. 

Dengan gambar dua kurva permintaan dan penawaran terhadap rupiah, kita dapat membuat beberapa skenario. 

Penurunan tabungan menurunkan suplai rupiah, yang menaikkan nilai riil rupiah. Kenaikan suku bunga menurunkan investasi, yang menaikkan suplai rupiah, sehingga menyebabkan nilai rupiah riil turun. Kenaikan investasi menurunkan suplai rupiah, dengan akibat menaikkan nilai riil rupiah. Kebijaksanaan proteksi terhadap impor menaikkan permintaan terhadap ekspor neto, sehingga meningkatkan nilai riil rupiah.

Kekuatan mana yang akan dominan sangat tergantung pada apa yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam kebijaksanaan perdagangan dan kebijaksanaan ekonomi makronya. Dalam perdagangan yang terbuka, pengaruh internasional juga akan sangat terasa, seperti yang sebab akibatnya telah diuraikan tadi. 

Kebijaksanaan pengambangan nilai rupiah membuat para pengusaha harus menjadi lebih matang, lebih pandai, dan lebih menguasai ekonomi makro, ekonomi moneter dan perdagangan internasional, serta perkembangan ekonomi dari negara-negara lain, terutama yang volume perdagangannya dengan Indonesia besar. Beban ini banyak berkurang kalau pemerintah dengan tegas memberikan komitmennya tidak akan mengubah rentang intervensi untuk jangka waktu tertentu yang juga diumumkan. Pengusaha tidak perlu melakukan perhitungan-perhitungan dan pembuatan model-model yang ruwet, karena mengetahui bahwa nilai rupiah hanya bisa merosot sampai berapa, dan bisa meningkat sampai berapa, untuk jangka waktu berapa lama. 

Dalam tahap pembangunan sekarang, rasanya bantuan pemerintah dalam bentuk komitmen tersebut sangat dibutuhkan. Maka janganlah samar-samar, dan para pengusaha itu jangan diajak lihai-lihaian. Yaitu menentukan rentang intervensi, tetapi tidak tahu kapan akan diubah lagi. Sikap pemerintah yang demikian, lebih berpotensi memicu spekulasi. 

Kwik Kian Gie, ekonom senior

Kompas, 4 Agustus 1997


Sumber: 

Kwik Kian Gie, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia: Badai Belum Akan Segera Berlalu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII, 1998, h. 145-151.



0 komentar:

Posting Komentar