alt/text gambar

Sabtu, 27 September 2025

Topik Pilihan: ,

GEBRAKAN UANG KETAT DAN KONSEKUENSINYA

Drs. Kwik Kian Gie


Oleh: Kwik Kian Gie


Rasanya tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa kondisi ekonomi, terutama moneter Indonesia kini sedang dalam keadaan krisis. Mensesneg Moerdiono mengatakan bahwa kita memang dalam keadaan darurat. 

Seperti kita ketahui, instrumen rentang intervensi ditiadakan pada tanggal 14 Agustus lalu. Akibatnya adalah merosotnya nilai rupiah pada kisaran Rp 3.000 per dolar AS. 

Pemerintah tidak duduk diam. Instrumen lain yang tidak menguras cadangan devisa dipakainya, yaitu pengetatan likuiditas, penjadwalan ulang proyek-proyek dengan penundaan yang kurang mempunyai prioritas tinggi, dan mengimbau sektor swasta dengan sangat supaya membatasi utang luar negeri.

Pengetatan likuiditas kali ini, walaupun tidak dikatakan sebagai gebrakan, sebenarnya tidak ada bedanya dengan Gebrakan Sumarlin. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pengetatan yang hanya sekitar Rp 4 trilyun ternyata mengeringkan rupiah sampai seluruh ekonomi jungkir balik. 

Dalam keadaan seperti ini, kalau cadangan dolar AS pemerintah dipakai untuk mengintervensi langsung dengan trik tertentu yang cerdik, 2 milyar dolar AS sudah akan meningkatkan nilai rupiah dengan drastis. Untuk apa cadangan sebanyak itu, kalau 2 milyar dolar AS saja tidak mau dipakai? 

Kalau semata-mata pengetatan rupiah saja yang dipakai tanpa dibarengi dengan injeksi dolar AS sedikit, apa biayanya? Guncangnya sendi-sendi perekonomian nasional. 

Yang pertama adalah sektor perbankan. Likuiditas sangat langka, sehingga bank menaikkan bunga depositonya sampai mencapai 30 persen. Bunga kredit serta merta dinaikkan. Kredit yang sedang berjalan dengan bunga sekitar 22 persen dinaikkan menjadi sekitar 40 persen. Suku bunga overnite pernah meroket sampai 270 persen, yang masih bergejolak di atas 100 persen. Dapat kita bayangkan, betapa jungkir baliknya perbankan kita. Rasanya tidak mustahil bahwa sudah ada beberapa bank yang pada hari-hari tertentu akhir-akhir ini sudah menggeletak di depan BI dengan posisi merah atau kalah kliring. Perbankan kita, baik yang BUMN maupun yang swasta, yang sudah sangat tidak sehat karena banyaknya kredit macet, mendapat pukulan yang cukup dahsyat. Beberapa bank sudah tidak mampu membayar segera uang milik nasabah yang ada di rekening giro. Nasabah diminta kembali beberapa jam lagi. Sudah mulai ada rush pada Bank Danamon yang termasuk papan atas. Tentang bank-bank swasta lainnya, suasana gosip sudah mulai bermunculan, yang setiap saat bisa-menjadi rush. Kredit macet akan makin menggelembung. 

***

Sektor kedua yang terkena adalah Bursa Efek Jakarta (BEJ). Sudah sejak beberapa hari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) BEJ terpuruk cukup drastis, dari sekitar 720 menjadi sekitar 580. Dari penurunan IHSG tersebut, menurut Dr. Sjahrir, kalau dihitung, kerugian total para investor yang memegang efek, di atas kertas sudah mencapai Rp 50 trilyun. 

Hari Jumat (22/8), bahkan turun lagi menjadi 574,335. Menurut informasi dari para pialang, investor asinglah yang memulai menjual saham-sahamnya. Baru setelah itu diikuti oleh investor lokal. Seperti kita ketahui, peran investor dan para fund manager asing bukan hanya penting dalam arti kuantitasnya, tetapi secara kualitatif, karena pendapat dan sikap mereka yang dianggap lebih unggul dan lebih jitu ketimbang pendapat para ahli dan fund manager lokal. Alhasil, suasana Bursa Efek Jakarta bukan hanya kuantitatifnya yang serba krisis, tetapi apa yang dinamakan sentimen pasar juga sangat tertekan. 

Sektor ketiga yang guncang adalah sektor riil, yang terdiri dari industri, perdagangan, dan jasa. Terutama yang besar, yang raksasa, dan yang konglomerat. Banyak sekali dari mereka yang mempunyai utang luar negeri dalam denominasi dolar AS. Sebelum guncangnya nilai rupiah, setiap hari kita baca pemberitaan tentang ditandatanganinya kontrak kredit sindikasi dari bank-bank asing dalam jumlah besar. Begitu rupiah guncang, mereka melakukan pengamanan dan menutup swap, yang berarti kenaikan cost of fund. Kreditnya yang dalam denominasi rupiah sekonyong-konyong dikenakan bunga pada kisaran 40 persen. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa struktur permodalan perusahaan-perusahaan besar dan raksasa kita sangat berat dibiayai oleh modal pinjaman. Bahkan adal yang 100 persen dibiayai oleh modal pinjaman, dan cukup banyak yang melampaui 100 persen karena adanya praktek mark up. Modal pinjaman ini menanggung beban pembayaran bunga. Kalau bunga melangit seperti ini, dapat kita bayangkan sendiri betapa besarnya tanggungan mereka untuk membayar bunga! 

Sektor keempat adalah sektor properti. Sudah sangat lama banyak yang memberi warning bahwa di sektor ini terjadi oversupply luar biasa. Di sektor ini sudah terjadi kredit macet dalam jumlah besar. Kalau beban bunganya membengkak, akan lebih-lebih lagi macetnya, baik dalam jumlah perusahaan yang menjadi macet kreditnya, maupun dalam jumlah bunga dan cicilan utang yang tidak akan terbayar.

Penunggakan pembayaran utang dagang mulai merupakan mata rantai, yang pasti akan menyendat kelancaran produksi dan distribusi. Pengusaha yang satu disusul oleh pengusaha lainnya mengumumkan kenaikan harga barang dagangannya. Anehnya, barang hasil produksi dalam negeri yang sama sekali tidak mempunyai kandungan impor ikut-ikutan melonjak sampai puluhan persen. Gejala inflasi sudah mulai terlihat.

**

Jadi gambarannya adalah kita dalam suasana serba krisis. Dalam suasana seperti ini, beberapa pakar dan pengusaha mengkritik dan memprotes kebijaksanaan uang ketat. Saya ingin menanyakan kepada yang mengkritik dan memprotes, antara lain juru bicara kelompok Jimbaran dan Prasetiya Mulya Sofyan Wanandi. Apa alternatifnya? Seandainya Anda duduk di pemerintahan, dapatkah kelompok Prasetiya Mulya dan Jimbaran itu menelurkan kebijaksanaan alternatif yang lebih baik daripada yang dilakukan oleh pemerintah sekarang? Mengurus negara bukan sekadar berdagang kelontong yang perspektifnya jauh lebih sempit. Justru dalam keadaan kritis, jangan bersikap picik hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Para pengusaha yang diwakili oleh Sofyan Wanandi hendaknya berintrospeksi, apakah mereka tidak melakukan overborrowing yang kelewat batas? Bukankah ada yang melakukan trik rekayasa tipu-tipuan untuk mengeruk kredit dari bank-bank kita?

Ternyata banyak sekali perusahaan menengah besar yang sangat sehat, karena struktur permodalannya sangat sehat. Mereka tidak mengeluh. Strategi mereka sekarang tidak menaikkan harga barang, tetapi memperluas pangsa pasar, menggerogoti pangsa pasar dari para pesaingnya yang oleng karena struktur keuangannya yang sangat timpang. Perusahaan-perusahaan yang lebih banyak menggunakan modal ekuiti atau menggunakan yesterday's money sekarang menang dan bersuka ria sambil menggerogoti para pesaingnya yang selalu getol menggunakan tomorrow's money. Tetapi sifat dan watak pengusaha yang solid dan bonafid itu low profile, tidak mau dikenal orang. Maka mereka diam ketika yang lain berhasil mengeruk dana besar dari akal-akalan, tetapi juga diam ketika menang. Yang rusuh itulah yang berkoar ketika bisa meraup utangan besar, dan menjerit paling nyaring lagi ketika terkena pukulan, yang sebenarnya karena ulahnya sendiri, karena mereka berusaha dengan modal dengkul, bertamengkan perusahaan besar. 

Maka harapan saya kepada pemerintah adalah, supaya teguh menjalankan semua kebijaksanaan yang telah ditempuh sampai nilai rupiah benar-benar terkendali. Akankah banyak perusahaan yang bergelimpangan? Mungkin, tetapi bukankah itu biaya yang harus kita bayar? Akan berhasilkah pemerintah? Belum tentu. Tetapi bukankah itu risiko yang selalu melekat pada setiap paket kebijaksanaan? Tidak ada kebijaksanaan yang tanpa biaya dan tanpa risiko. 

Di sisi lain, hendaknya pemerintah mengenali pengusaha mana yang sebenarnya solid dan perlu dijadikan unggulan, dan pengusaha mana saja yang sebenarnya jahat, oportunis, bukan pengusaha sejati, melainkan menggunakan perusahaannya hanya sebagai instrumen dan tameng untuk mengeruk dana besar yang dimain-mainkan dalam money game. 

Jadi, kita memang menghadapi krisis. Pemerintah perlu tegas dan teguh. Jangka pendeknya adalah secara all out mempertahankan nilai rupiah. Jangan hiraukan lobi konglomerat yang oportunis. 

**

Dimensi jangka panjang dari kebijaksanaan pemerintah adalah penangguhan beberapa proyek pembangunan, yang berarti penciutan APBN. Sektor swasta sementara diimbau untuk jangan lagi membiayai investasi dengan utang luar negeri. Digabung dengan pengurangan pengeluaran pembangunan oleh pemerintah sifatnya adalah memperkecil saving investment gap. Ini positif untuk mengurangi defisit transaksi berjalan, tetapi biayanya adalah kontraktif ditinjau dari sudut pertumbuhan dan kegairahan ekonomi. Digabung dengan inflasi, kita harus siap menghadapi keadaan stagflasi kecuali kalau dalam waktu singkat kondisi ekonomi kembali normal. 

Yang terpenting sekarang adalah kita perlu jujur, apakah benar fundamental ekonomi makro kita baik? Apa persisnya yang diartikan dengan istilah fundamental ekonomi yang dikatakan baik, kuat, dan mantap itu? Jangan percaya pada para pakar dari Bank Dunia. Himpunlah semua pakar dalam negeri yang termasuk papan atas yang netral, objektif, dan jujur. Kalau dirasa kurang, sewa ekonom luar negeri yang benar-benar terbaik di dunia. Para ekonom Bank Dunia kecuali mediocre, juga tidak objektif. Sejak tahun 1966, pengaruh mereka sangat besar dalam merumuskan kebijaksanaan ekonomi Indonesia, sehingga tidak heran kalau memuji terus. Mengatakan apa adanya berarti mengakui kegagalannya sendiri. 

Satu hal yang sangat tidak bisa dimengerti adalah ucapan bahwa ekonomi Indonesia itu mikronya jelek, tetapi makronya bagus. Bagaimana mungkin ada mikro jelek yang setelah digabung menjadi makro lantas menjadi baik? 


Kwik Kian Gie, ekonom senior


Kompas, 25 Agustus 1997

Sumber: 

Kwik Kian Gie, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia: Badai Belum Akan Segera Berlalu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII, 1998.



0 komentar:

Posting Komentar