Ketidakadilan tidak pernah berdiri sendiri. Ia bertahan karena adanya penindas, tetapi juga karena banyak orang memilih untuk diam. Uskup Agung Desmond Tutu mengingatkan kita lewat kalimatnya yang tajam: "Jika kamu netral dalam situasi ketidakadilan, kamu telah memilih sisi penindas." Kalimat ini membongkar ilusi bahwa netralitas adalah sikap aman dan suci. Faktanya, diam di tengah ketidakadilan berarti ikut serta dalam melanggengkannya.
Kita sering menganggap netralitas sebagai kebijaksanaan—sebuah cara untuk menghindari konflik. Namun, ada momen-momen dalam hidup ketika “tidak memilih” sama artinya dengan memilih. Saat ketidakadilan terjadi di depan mata, sikap netral bukanlah keseimbangan, melainkan bentuk pembiaran. Tidak berpihak pada yang lemah berarti membiarkan yang kuat semakin leluasa menindas.
Sejarah membuktikan hal ini. Penindasan dan diskriminasi yang terjadi di berbagai tempat bertahan bukan hanya karena kekuasaan penindas, tetapi juga karena mayoritas diam. Ketakutan, kenyamanan, atau rasa aman sering membuat orang menutup mata. Namun, setiap diam yang kita pilih adalah ruang tambahan bagi ketidakadilan untuk tumbuh.
Keberpihakan, sebaliknya, adalah keberanian untuk menanggung risiko. Membela mereka yang tertindas tidak selalu mudah—kadang kita harus kehilangan kenyamanan, menghadapi kritik, bahkan dianggap melawan arus. Tetapi hanya dengan keberanian itu, kemanusiaan bisa tetap berdiri. Kita tidak bisa berharap pada perubahan jika kita sendiri enggan bersuara.
0 komentar:
Posting Komentar