![]() |
Kolom Majalah Forum Keadilan |
Oleh: Harold Crouch
Pada awal Orde Baru, ABRI memang merupakan kekuatan politik yang menentukan. Semua instansi kunci dipegang ABRI dan kekuatan-kekuatan sipil tak diberi kesempatan untuk berkembang. Malah ruang geraknya semakin sempit. Golkar dibina ABRI bukan untuk menyalurkan kehendak rakyat kepada pemerintah, tapi sebagai alat untuk menjamin kemenangan dalam pemilu. Sedangkan parpol, seperti Parmusi dan PNI, mengalami intervensi yang dilakukan perwira-perwira intel dan bertujuan untuk memastikan bahwa pemimpin-pemimpinnya “sesuai” dan dapat dikendalikan.
Bagaimana keadaannya pada awal 1990-an? Memang, kedudukan parpol tidak banyak berbeda. Seperti halnya Parmusi dan PNI dulu, sekarang pun PDI tampaknya tidak dibenarkan memilih pemimpin sendiri jika pemimpin itu tidak mendapat “lampu hijau” lebih dahulu. Apalagi kalau lampu itu sudah “merah”. Seperti PDI, PPP juga bebas memilih pemimpinnya sendiri asal pilihan itu “betul”.
Namun, suasana politik secara umum pada 1990-an sangat berbeda ketimbang 1960-an. Dulu suara pemerintah dan suara ABRI adalah seirama saja. Jika orang berbicara tentang pemerintah pada waktu itu, maksudnya ABRI. Tapi, sekarang, pemerintah bermakna pemerintah, dan ABRI bermakna ABRI.
Perubahan itu dapat dilihat dalam hal pemilihan ketua umum Golkar yang sedang banyak disoroti. Dulu, pimpinan Golkar disepakati secara bersama oleh pemerintah dan ABRI. Tidak ada calon “istana” ataupun calon “Mabes”. Tapi, sekarang, kita mendengar nama-nama yang dikemukakan pihak yang dapat dikatakan mewakili “pemerintah”, sedangkan nama lain dikemukakan oleh pihak yang mewakili ABRI.
Dalam hal ini, kita mungkin teringat akan politik di zaman Bung Karno. Waktu itu, suara pemerintah dan suara ABRI belum tentu senada, malah sering bertentangan. Meskipun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa presiden dan ABRI selalu berkonfrontasi secara lanagsung. Sebaliknya, Presiden Sukarno berusaha untuk merangkul jenderal-jenderal tertentu dan meletakkan mereka di posisi-posisi penting dalam ABRI. Dengan demikian, dikotomi ABRI-Sipil tidak begitu jelas. Ada jenderal-jenderal yang dekat dengan istana dan, sebaliknya, ada yang kurang dekat.
Sekarang, dikotomi ABRI-Sipil tidak setajam dulu, apalagi kalau diperhitungkan bukan saja peran ABRI aktif tetapi juga keluarga besar ABRI. Dulu, hampir tidak ada jenderal purnawirawan karena, pada waktu itu, kebanyakan perwira Angkatan 45 belum berumur 55 tahun dan masih aktif walaupun banyak yang dikaryakan. Tapi, sejak akhir 1970-an, semakin banyak perwira menjadi purnawirawan. Justru jenderal-jenderal purnawirawan itu yang paling berani dan lantang mengeluarkan pendapatnya. Dan, pendapat-pendapatnya belum tentu sama dengan penguasa ataupun pimpinan ABRI, sehingga ada di antara mereka yang dianggap dissident.
Dikotomi ABRI-Sipil juga semakin pudar dalam pemilihan gubernur dan ketua-ketua DPRD. Ada kalanya, pendapat dua calon yang sama-sama berpangkat jenderal, yang satu didukung F-ABRI dan yang lain didukung pihak sipil. Di daerah lain, F-ABRI mendukung calon sipil dari Golkar, tapi di daerah lain lagi menentang calon Golkar. Dibanding suasana politik beberapa tahun lalu, percaturan politik di tingkat daerah memang semakin “kompleks” dan tak menentu. Dulu, gubernur selalu didrop pusat. Sekarang, sering terjadi persaingan yang melibatkan unsur ABRI dan Sipil.
Mungkin ada pihak yang tidak begitu suka “kekacauan” seperti itu dan merindukan zaman serba tertib kembali seperti sebelumnya, ketika dikotomi ABRI-Sipil cukup jelas. Tapi, di segi lain, perkembangan-perkembangan baru itu patut disambut baik sebagai langkah positif ke arah demokratisasi. Sistem demokrasi memang kurang tertib dan kurang teratur. Tak ada lampu hijau dan lampu merah dalam pemilihan yang demokratis. Pemimpin-pemimpin harus dipilih secara bebas, apakah pemenangnya itu sipil atau ABRI.
Sudah tentu, kita tidak dapat mengatakan bahwa dikotomi ABRI-Sipil sudah lenyap sama sekali. Perwira-perwira ABRI bukanlah individu yang boleh bertindak secara sendiri-sendiri dalam politik. Sebagai perwira ABRI, mereka tetap tunduk kepada disiplin militer. Justru doktrin ABRI sendiri yang menetapkan tanggung jawab ABRI dalam memimpin masyarakat, apakah berdasar asas ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa ataupun tut wuri handayani. Artinya, ABRI yang menuntun orang sipil, bukan orang sipil yang menuntun ABRI.
Masalahnya sekarang–sudah tentu melampaui kacamata seorang pengamat asing–adalah sejauh mana ABRI membatasi diri dalam bidang politik, supaya golongan sipil dapat bergerak secara leluasa. Kelihatan sekarang bahwa ABRI sangat aktif dalam Golkar, sehingga banyak sekali anggota keluarga besar ABRI dipilih sebagai pimpinan Golkar di daerah. Namun apakah tujuannya sekadar untuk bekerja sama dengan sipil dalam tubuh Golkar, ataukah ABRI ingin merebut pimpinan Golkar agar organisasi itu dikuasainya? Seandainya pihak ABRI masih yakin, hanya seorang perwira ABRI saja yang sesuai untuk memimpin Golkar nanti, sudah tentu dikotomi ABRI-Sipil masih belum hilang.
Harold Crouch, Pengamat Politik dan Militer dari The Australia National University
Sumber: FORUM KEADILAN, Nomor 11, Tahun II, 16 September 1993
0 komentar:
Posting Komentar