![]() |
Tempo, 1973 |
UI, DEWAN SIAPA?
(TEMPO, 6 Oktober 1973, Th. III, No. 31)
DMUI, siapa yang punya? Tergantung siapa yang ketua. Sebelumnya seperti juga pada perguruan-perguruan tinggi yang lain, yang punya ketua adalah ormas mahasiswa ekstra – yang sekarang dalam keadaan sekarat itu. Bulan lalu masa HMI lewat dr. Asrul Azwar habis sudah. Muncul orang baru – walaupun tidak baru di lingkungan lain. Namanya Hariman Siregar, sudah doctorandus medicus. Menyebut nama ini, orang segera saja menebak, “wah dia orang Golkar”. Si penebak mungkin tak bermaksud apa-apa.
Seperti yang terjadi menjelang akhir bulan sewaktu Hariman dkk mengadakan konperensi pers selepas dilantik Rektor selaku pengurus terpilih. “Kalian kan Golkar,” tanya seorang wartawan dengan gaya memancing. Dan Hariman rupanya termakan umpan itu, sebab spontan saja: “Jangan begitu ah, nanti saya panas.”
Tidak jelas apa yang bakal panas. Cuma yang kemudian dikatakan Koordinator Komite Perencanaan Organisasi Mahasiswa Profesi se Indonesia itu, ia bukanlah alat Golkar – biarpun dalam Pemilu yang lalu “saya memilih Golkar”.
Hariman punya pandangan begini: “Sampai sejauh mana kita dapat mempengaruhi mereka (kekuatan politik di luar kampus) dalam pengambilan keputusan.” Ini termasuk program kerjanya kelak. Ia bilang, yang penting adalah perbaikan administrasi yang selama ini dikatakan brengsek. “Bagaimana mahasiswa mau bicara soal korupsi kalau di dalam lingkungannya sendiri saja brengsek,” tegasnya.
Sedikit banyak pimpinan yang baru ini mengikuti garis yang sebelumnya dikatakan Pro. Dr. Slamet Iman Santoso, mewakili Rekto bahwa “DMUI harus punya program, dan perlu pula ditetapkan satu tujuan untuk memusatkan fikiran dan usaha-usaha, dan selanjutnya menyusun cara-cara operasionil guna mencapai tujuan tersebut: “Tanpa begitu,” lanjut Pembantu rekto ini, “bisa jadi kehidupan kemahasiswaan akan dikacaukan oleh mereka-mereka yang ingin mengambil hati para mahasiswa guna kepentingan orang-orang itu.”
Profesor psikologi itu rupanya sudah punya data di tangan bahwa “50% mahasiswa tak punya pegangan dalam menentukan hidupnya– sementara yang sering mereka lakukan hanyalah piknik, nonton dan berbuat iseng.”
Dari itu, Slamet mengharapkan agar mahasiswa selalu mempelajari situasi bangsa dan negara – sehingga akan dapat merumuskan situasi itu. “Saya belum yakin”, lanjutnya, “semua mahasiswa menyadari kesulitan yang dihadapi negara Indonesia”. Khususnya Slamet menyerukan supaya mahasiswa bersatu – agar kelak tak terulang pengalaman pra 65 yang membuat UI jadi rebutan kaum politik.
Saya goblok
Rencana DMU, seperti yang dikatakan seorang pengurus lain begitu juga. Bagaimana supaya mahasiswa betah di lingkungan sekolahannya, kemudian bisa berpartisipasi dalam masyarakat dan meningkatkannya ke bentuk integrasi, agar mereka tidak dianggap sebagai elite tersendiri. Tentang partisipasi yang menjelma dalam bentuk kontrol sosial ini, Hariman berikutnya mengatakan: “Seharusnya mahasiswa yang paling akhir dalam menanggapi setiap keributan dalam masyarakat dan jangan mendahuluinya seperti yang terjadi selama ini”. Ia berikutnya mengakui bahwa apa yang dinamakan kebebasan mimbar hingga saat ini belum jelas kriterianya – namun seharusnyalah kalau kepada mereka diberikan kesempatan berdialog dengan siapa saja. “Malah kalau perlu dengan Mao Tse Tung,” lanjutnya. Dan menambahkan, “tapi mungkin Mao yang dilarang penguasa berbicara di kampus.
Bagaimana dengan pembaharuan universitas, yang sudah jadi mode omongan itu? Hariman kiranya menyadari keterbatasannya. Dia bilang: “Saya tak punya konsep tentang pembaharuan tersebut, saya goblok, tapi kalau ada konsepnya kami mau membicarakannya”. Atau Hariman ini orang rendah hati. Namun sebelum lupa, pada mulanya orang tak mengira kalau ia yang bakal jadi Ketua mengalahkan Ismit dari HMI yang lebih duluan populer di Salemba itu. Ismit, mahasiswa FE, mendapatkan 24 suara, sedang Hariman 26 dalam sidang Majelis Permusyawaratan Mahasiswa UI, Juni lalu.
Sumber: TEMPO, 6 Oktober 1973, Th. III, No. 31
0 komentar:
Posting Komentar