![]() |
SIMPöNI, No 01, 4-10 Oktober 1994 |
(SIMPöNI, No 01, 4-10 Oktober 1994)
Novel Pramoedya Ananta Toer diterbitkan lagi. Penerbitan karya sastra akan lebih leluasa?
Ada kado istimewa untuk menyambut hari ulang tahun kemerdekaan yang ke 49 lalu. Novel Perburuan karya Pramoedya Ananta Toer diterbitkan kembali. Dengan sampul buku berwarna kuning, bergambar wajah manusia tengah mengintip di sela-sela lembaran daun-daun pisang dan di latar belakang ada pagar bayonet. Dan satu hal lain yang menarik perhatian, sebuah pita kertas merah putih bertuliskan “Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia” dibelitkan pada buku tersebut.
Dalam pengakuan Pramoedya sendiri, penerbitan novelnya ini memang dimaksudkan sebagai kado bagi kemerdekaan. “Sebab saya tahu, kewarganegaraan saya tidak saya peroleh secara gratis. Saya berkelahi untuk mendapatkannya. Saya ikut berperang, saya ikut sengsara bersama orang tua saya,” jelas Pram. Ia menceritakan bahwa novelnya itu ditulisnya di penjara Bukit Duri. Waktu Clash I ia tertangkap dan dikirimkan ke sana.
Diterbitkan pertama kali pada tahun 1950 oleh Balai Pustaka, setahun sebelumnya novel ini dimahkotai hadiah pertama Balai Pustaka. Ketika menerima hadiah itu—uang sebesar Rp 1.000 (saat itu harga mesin tulis Rp 80)—Pram baru saja keluar dari penjara. Cetakan kedua dan ketiga terbit kemudian pada 1955 dan 1959. Setelah itu dilarang beredar menyusul penangkapan penulisnya pada tahun 1965. Tahun ini, bertumpu pada ide keterbukaan yang akhir-akhir ini sering didengungkan, novel yang ditulis di dalam penjara Bukit Duri ini diluncurkan kembali. Sementara pada tahun ini juga, di Selangor, Malaysi, novel ini diterbitkan dengan judul yang sama, dan di Taipei terbit terjemahannya berjudul Thao Phao.
Dengan alasan apa pun, terbitnya novel Pramoedya, dan peredarannya secara bebas di toko-toko buku, adalah sebuah surprise. Sebab selama ini, cerita yang lahir di seputar peredaran novel-novel Pram adalah cerita-cerita pahit. Ia selalu saja diberangus setiap kali ada upaya untuk menerbitkannya.
Hal ini bertolak belakang dengan yang terjadi di luar negeri. Begitu banyak terjemahan karya-karyanya yan diterbitkan di berbagai negara.
Perburuan sendiri telah diterjemahkan dalam bahasa-bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Belanda, Turki, dan sebagainya. Sementara Kumpulan cerpennya Cerita dari Blora—menurut pengakuan Pram—bahkan sudah diterjemahkan ke dalam delapan belas bahasa. “Sayang saya tak bisa menunjukkan buktinya,” sesal ayah delapan anak ini. “Koleksi perpustakaan saya hangus setelah tahun 1965.”
Untuk menikmati karya Pram di negeri sendiri, selama ini memang hampir menjadi satu hal yang nonsens. Di Indonesia sendiri, Novel Pram bagaikan virus jahat yang harus dihindari dan dimatikan sama sekali. Buku-buku Pram secara resmi dilarang diedarkan. Sementara di banyak negara, begitu banyak komentar dan pujian dialamatkan oleh pengamat kepada karya-karyanya. Akhir-akhir ini, perbincangan tentang karya-karya Pram malahan sudah mengarah ke kemungkinan pemberian penghargaan tertinggi.
ˮ... Pramoedya,” demikian tulis A. Teeuw yang dikutip dan dicantumkan pada halaman pembuka novel Perburuan, ˮsepanjang hidupnya telah menggunakan senjata bahasa demi kebenaran, kemanusiaan, dan keadilan. Ini menjadikan dia calon paling pantas untuk menerima penghargaan internasional tertinggi: Hadiah Nobel untuk sastra...”
Tetapi, bahkan ketika orang mulai menyinggung-nyinggung soal hadiah Nobel, dan nama Pramoedya Ananta Toer makin terkenal di dunia Barat, di dalam negeri tetap tak banyak yang bisa menikmati karya-karya tersebut. “Saya pikir larangan-larangan terhadap karya-karya Pram perlu dicabut,” tegas Nirwan Dewanto. “Jangan memberati karya-karya Pram dengan penilaian yang aneh-aneh, lah. Saya melihat pelarangan terhadap karya-karya Pram adalah paranoia saja.”
Dalam pandangan Nirwan, pelarangan justru membikin banyak orang penasaran dan malahan gigih mencarinya. Kegigihan inilah yang menyebabkab beberapa mahasiswa—yang beranggapan bahwa karya Pram perlu dibaca—dijatuhi hukuman delapan tahun penjara karena nekat menjual novel-novel Pram secara sembunyi-sembunyi.
Dengan maksud untuk mengakhiri masa-masa buruk itu, penerbit Hasta Mitra pun menerbitkan kembali Perburuan. Sementara hanya dicetak dua ribu eksemplar. Dan laris. Dalam beberapa hari saja stok di beberapa toko buku habis terjual. Pertama kali novel ini ditawarkan, ungkap Hasyim Rahman, direktur utama Hasta Mitra, banyak toko buku yang menolak. “Mereka khawatir jangan-jangan mereka nanti turut ditahan karena ada nama Pram,” jelas Hasyim. “Ada juga yang mempertanyakan perizinannya.”
Padahal menurut dia, menerbitkan buku itu bebas. Cuma ada kewajiban untuk mengirimkan dua eksemplar buku ke Kejaksaan Agung selambat-lambatnya dua hari setelah penerbitan. Kemudian segalanya bergantung kepada Kejaksaan Agung, apakah dilarang atau diizinkan terus beredar.
Setelah Perburuan, Hasyim sudah mematok ancang-ancang untuk menerbitkan karya-karya Pram yang lain. Dilarang atau tidak, baginya tidak menjadi soal. “Saya hanya ingin menunjukkan niat baik melestarikan naskah-naskah sastra,” kata Hasyim. “Dan saya juga hanya menyambut baik ucapan-ucapan tentang keterbukaan yang sering dilontarkan.”
Pramoedya sendiri agaknya tidak terlalu memusingkan apakah sekarang ini bukunya akan mendapatkan pelarangan lagi atau tidak. “Saya sudah terlalu sering merasa sakit, terlampau banyak saya mendengar ucapan-ucapan yang tidak benar tentang saya,” tukas Pramoedya. “Mereka khawatir saya menyebarkan Marxisme, Komunisme, atau Leninisme, padahal sama sekali saya tidak pernah membaca mereka.”
Demikianlah, Pramoedya agaknya adalah persoalan yang tidak mudah. Tetap ada ketakutan-ketakutan tertentu pada sosoknya, bahkan ketika orang sering menyebut tentang perjalanan bangsa yang makin dewasa. Ada yang rindu membacanya, sampai kemudian rela terperosok ke sel penjara. Yang jelas, ketika Teeuw menyebutkan ia pantas untuk Hadiah Nobel, ia adalah milik Indonesia yang selama ini mungkin kita sendiri coba menguburnya.■
AS LAKSANA, NOE, DAN AGUNG BAWANTARA
Sumber: SIMPöNI, No 01, 4-10 Oktober 1994
0 komentar:
Posting Komentar