![]() |
Drs. Kwik Kian Gie |
Oleh: Kwik Kian Gie
Seperti layaknya di negara mana pun, stabilitas politik erat hubungannya dengan ekonomi. Maka, menjelang pemilu banyak pertanyaan mengemuka, apakah pemilu tahun 1997 akan berdampak pada ekonomi. Pertanyaan ini lebih aktual lagi, sebab sebelum pemilu berlangsung telah terjadi beberapa kerusuhan.
Sekarang kita sudah memasuki tahapan kampanye, yang mengandung risiko lebih besar daripada hari pemilihannya sendiri pada tanggal 29 Mei 1997. Pada tanggal pencoblosan itu tidak ada kumpulan massa untuk mendengarkan pidato kampanye. Dalam satu hari itu rakyat yang berhak memilih memang akan datang ke TPS, tetapi tidak serentak dan tidak bersama-sama. Yang dikhawatirkan dalam masa kampanye, massa yang pulang atau sedang mengadakan arak-arakan menuju ke tempat kampanye akan menjadi rusuh, membuat keonaran dan pengrusakan.
Kita sudah memasuki hari ke-16 kampanye. Ternyata sangat terkendali. Dibandingkan dengan kampanye tahun 1992 bahkan lebih sepi, sehingga lalu lintas di jalan-jalan jauh lebih normal.
Dunia usaha juga menanggapi kampanye dengan sangar tenang. Kegiatan di Bursa Efek Jakarta bergairah dan IHSG meningkat. Modal masuk tetap deras, sehingga perbankan kelebihan likuiditas yang mengakibatkan suku bunga turun. Tidak pula kita dengar adanya rencana investasi yang ditunda atau dibatalkan.
Ini tentunya tidak lepas dari kesiapan pemerintah mengamankan kampanye. Satuan tugas khusus ABRI untuk mengamankan pemilu telah dibentuk. Peragaan kesiapan mereka digelar berkali-kali, yang ditayangkan secara luas oleh televisi. Dengan demikian kondisi psikologis untuk takut membuat onar telah diciptakan.
Yang lebih penting lagi adalah kemampuan dunia usaha membuat antisipasi yang tepat tentang kondisi politik. Seperti diketahui, setiap perusahaan besar mempunyai bagian khusus yang menganalisis dan mengevaluasi stabilitas politik, imbasnya pada kondisi ekonomi makro dan apa dampaknya secara mikro, dalam kehidupan perusahaan seharihari. Dikatakan bahwa usahawan biasanya lebih jeli dari kaum teoritis. Maka di kalangan usaha, seperti yang dapat saya amati, memang sebelum kampanye dimulai sudah yakin bahwa kampanye tidak ada relevansinya sama sekali dengan ketenangan usaha mereka.
***
Orang-orang pemberi nasihat kepada pengusaha adalah politikolog. Tapi, politikolog yang berkecimpung di dunia usaha ini orientasinya sangat berlainan dibandingkan dengan politikolog yang pekerjaannya hanya berkutat pada disiplin ilmu politiknya. Dunia usaha ini sangat realistis, sangat keras. Dan oleh karenanya, ketajaman politikolog yang berkecimpung dalam dunia usaha juga berlainan dengan ketajaman mereka yang murni ahli politik. Yang murni ahli politik mempunyai banyak asumsi yang normatif, seperti munculnya golongan menengah dengan rising demand-nya akan membuat perubahan. Mereka mengasumsikan bahwa walaupun kenyang dan hidup enak, tetapi karena terusik pikiran dan hati nuraninya, golongan menengah akan berani mengambil risiko melakukan tekanan ke arah perubahan. Asumsi-asumsi yang normatif dan deduktif seperti ini tidak dimiliki oleh para ahli politik dan para ekonom makro yang berkecimpung di dalam dunia usaha sebagai analis risiko bisnis.
Maka sangat menarik untuk mengetahui bagaimana pikiran dan analisis para politikolog dan sosiolog perusahaan. Nasihat mereka sangat penting, karena akan menjadi rational expectation para usahawan. Rational expectation itu banyak yang menjadi kenyataan. Kalau ekspektasi rasional mereka mengatakan bahwa rupiah akan didevaluasi, maka mereka akan berbondong-bondong menukarkan uang rupiahnya ke dalam mata uang asing. Akibatnya adalah rush, sehingga pemerintah memang dapat dipaksa untuk melakukan devaluasi. Demikian juga kalau rakyat yakin bahwa inflasi akan meningkat, maka buruh akan menuntut naik gaji, pengusaha ancang-ancang menaikkan harga jual produknya. Akibatnya, akan terjadi tekanan inflasi benaran. Maka penting sekali persepsi dari dunia usaha tentang politik Indonesia dalam hubungannya dengan kepentingan bisnis mereka. Bagi mereka, pemilu dan dinamika di dalam kekuatan organisasi sosial politik adalah omong kosong. Semua itu kepura-puraan, demi memenuhi prosedur dan mekanisme formal bahwa Indonesia negara demokrasi. Betapapun gegap gempitanya kampanye pemilu, pada akhirnya Golkar akan menang mutlak, sehingga bukan hanya memegang mayoritas tunggal, tetapi bersama-sama dengan mitranya, yaitu fraksi ABRI dan utusan daerah akan memegang mayoritas mutlak.
Keadaan ini sudah berlangsung 30 tahun, sehingga sudah terbentuk pola dasar kebijaksanaan ekonomi orde baru yang juga akan berkelanjutan setelah pemilu tahun 1997. Maka tidak akan ada perubahan kebijaksanaan tentang sikap Indonesia terhadap modal asing, investasi dalam negeri, kebijaksanaan moneter, utang luar negeri, perdagangan internasional dan sebagainya. Semuanya akan berjalan seperti yang sudah-sudah. Satu-satunya yang akan terasa lebih digalakkan adalah pemihakan dan pembelaan pada usaha kecil. Itu tidak merugikan usaha besar, mengingat usaha besar memang tidak berkeberatan terhadap majunya usaha kecil, asalkan mereka tidak dihambat dalam upaya memperoleh laba dari berusaha di Indonesia.
Politikolog akademis biasanya melontarkan teori bahwa golongan menengah di mana-mana merupakan agen perubahan. Maka dengan kemajuan pembangunan di Indonesia sudah mulai muncul golongan menengah yang kritis dengan rising demand, sehingga mereka akan menuntut perubahan. Perubahan ke arah mana? Perubahan ke arah demokrasi, ke arah keadilan yang lebih besar, ke arah pemerintahan yang lebih bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Tekanan mereka untuk perubahan-perubahan ke arah itu akan mengakibatkan ketegangan yang bisa mengganggu stabilitas politik.
Politikolog perusahaan menganggap itu semuanya omong kosong dan sama sekali tak didukung oleh sikap golongan menengah. Bagi mereka, golongan menengah yang sudah muncul bukan golongan yang mandiri, tetapi golongan yang nafkahnya bersumber dari hubungan bisnis dengan usaha besar dan konglomerat. Golongan menengah di sini adalah orang-orang muda berpendidikan tinggi, tetapi sangat teknis, tak dilandasi falsafah moral. Mereka lebih condong pada business animal yang tidak terlampau menghiraukan lingkungannya. Mereka sangat tinggi tingkat hidupnya. Mereka memadati restoran-restoran sangat mahal, mobilnya BMW dan Mercedes, pakaiannya selalu mentereng. Pendapatan bersih Rp 30 juta ke atas sebulan, wajar di kalangan mereka. Mereka sangat berkepentingan bahwa keadaan yang ada langgeng. Falsafah mereka, apa yang mereka miliki sekarang sudah jelas nikmat. Dalam hal terjadi perubahan, perubahan bisa mencelakakan mereka.
Politikolog akademis cenderung melihat golongan menengah sebagai golongan menengah pada revolusi Perancis, yang menumbangkan aristokrasi. Mereka dilahirkan sebagai anak-anak orang berada, yang lantas belajar falsafah moral. Mereka begitu dipengaruhi oleh falsafah tersebut, sehingga bersedia mati untuk memperjuangkan idenya. Golongan menengah Indonesia adalah orang-orang yang sangat mahir dalam pengetahuan yang sangat teknis dan instrumental sifatnya. Mereka tidak pernah mempunyai waktu mendalami falsafah moral. Maka bagi mereka yang terpenting bagaimana melakukan money game, high finance, dan beroperasi di dalam dunia keuangan yang serba canggih. Apakah itu etis atau tidak, tidak pernah menjadi pertimbangannya, dan ternyata memang tidak relevan. Mereka tidak pernah dikenai hukuman karena konstruksinya yang mendatangkan banyak keuntungan. Maka mereka berkolaborasi dengan pengusaha besar, raksasa dan konglomerat. Kepentingannya sama, status quo, karena kondisi seperti inilah yang membuat mereka makmur dalam waktu singkat.
Kalau kita memperhatikan alur pikir para pengusaha yang dinasihati oleh ahli politik perusahaan seperti yang diuraikan di atas, dan kalau kita perhatikan dukungan dari golongan menengah yang profilnya seperti yang digambarkan di atas, maka rational expectation mereka adalah bahwa di Indonesia tidak akan terjadi perubahan yang merugikan mereka. Maka mereka tetap sangat optimistis tentang keadaan ekonomi Indonesia, dan Indonesia tetap ”surga” untuk penanaman modal dan usaha. Itulah yang menerangkan bahwa dalam periode kampanye pemilu yang didahului oleh kerusuhan di mana-mana, arus modal asing tetap mengalir, perbankan kelebihan likuiditas, suku bunga menurun, inflasi rendah, dan cadangan devisa meningkat sampai di atas 20 milyar dolar AS.
Bagaimana dengan rakyat jelata yang sangat besar jumlahnya, yang katanya tidak puas karena lebarnya kesenjangan? Politikolog perusahaan mengatakan, taraf hidup mereka naik terus. Mereka orang-orang yang nrimo, tidak cenderung membandingkan dan iri hati terhadap yang lain. Yang penting dibandingkan dengan masa lampau, taraf hidupnya meningkat berarti. Yang nyaring suaranya adalah kaum intelektual atau setengah intelektual yang oleh politokilog perusahaan disebut egg head atau nerde, yang begitu jauh terlepas dari dunia yang nyata.
Kalau saya menulis ini, tidak berarti saya setuju semuanya. Saya kemukakan supaya menjadi bahan renungan buat kita semua dan buat para politikolog akademis.
Kwik Kian Gie, ekonom senior
Kompas, 12 Mei 1997
Sumber:
Kwik Kian Gie, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia: Badai Belum Akan Segera Berlalu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII, 1998.
0 komentar:
Posting Komentar