![]() |
Drs. Kwik Kian Gie |
Oleh: Kwik Kian Gie
Di negara-negara yang menganut kapitalisme, yang sudah jauh lebih dahulu berkembang dan maju ekonominya, kita lihat banyaknya perusahaan raksasa yang saham-saham mayoritasnya dimiliki oleh puluhan sampai ratusan ribu investor publik. Mereka adalah investor individual dari kelas menengah sampai buruh pabrik, sopir taksi, dan ibu rumah tangga.
Peran investor institusional juga sangat besar. Pada awalnya hampir semuanya didirikan oleh satu orang beserta keluarganya. Perusahaan yang sukses berkembang sesuai dengan perkembangan ekonomi makro dari negaranya, yang menciptakan daya beli. Kesempatan memperluas perusahaannya terbuka lebar, sehingga perusahaan terus-menerus dihadapkan pada kebutuhan modal. Terciptalah sarana pasar modal, yang menyediakan instrumen surat berharga atau efek, yang bisa diperjualbelikan setiap hari secara likuid. Dengan demikian, publik seluruhnya dengan cara yang sangat mudah dapat membeli dan menjualnya lagi setiap saat membutuhkan uang kontan.
Dengan meningkatnya daya beli rakyat banyak, tabungan mereka juga menjadi banyak. Uang tabungan ini tidak disimpan di bawah bantal. Penyimpanannya secara produktif beraneka ragam, seperti deposito berjangka, membeli asuransi jiwa, dan sebagainya. Antara lain membeli saham di Bursa Efek. Jadi rakyat itu kaya dahulu baru membeli saham. Bukan karena memiliki saham dahulu, sehingga dengan demikian terjadi pemerataan.
Bahwa saham-saham yang dimiliki oleh sekian banyak rakyat mencerminkan pemerataan memang betul. Tetapi pertanyaannya adalah apakah pemerataan pemilikan saham itu prasyarat buat keadilan, ataukah pemerataan pemilikan saham adalah akibat dari rakyat yang dengan cara lain menjadi kaya? Jadi kalau kita berpikir keadilan dapat dicapai dengan pemerataan pemilikan saham perusahaan, kita bisa tersesat.
Bursa Efek memang mempunyai dampak meratanya pemilikan saham. Tetapi rakyat banyak yang memiliki saham itu harus membayar saham yang hendak dimiliki. Untuk itu dia harus mempunyai tabungan terlebih dahulu. Artinya, dia harus mempunyai pendapatan terlebih dahulu, agar pendapatan yang berlebih setelah dipakai untuk konsumsi, dapat dipakai untuk membeli saham.
Jelas bahwa pasar modal bukan sarana untuk keadilan. Sarana untuk keadilan harus kita cari di bidang lain sama sekali. Kalau keadilan sudah dicapai, sehingga yang berpendapatan lumayan dan tinggi cukup merata, barulah mereka dapat menginvestasikan kelebihan pendapatan atas konsumsinya untuk membeli saham.
Pendambaan yang demikian obsesifnya dalam pemilikan saham yang sudah tercatat di Bursa Efek mengandung anggapan bahwa memiliki saham mesti untungnya terus. Apakah demikian? Coba kita tengok fluktuasi harga saham yang luar biasa. Coba kita tengok berbagai dana pensiun, perusahaan asuransi, terutama yang BUMN, berapa besar kerugian mereka pada akhir tahun 1990, 1991, dan seterusnya.
Belum lama saya menulis tentang Barito Pacific Timber (BPT) yang disanjung-sanjung sebagai blue chip pada akhir tahun 1993. Harga melambung sampai Rp 14.000, tetapi selama hampir tiga tahun terus menurun sampai hanya sekitar Rp 2.800 saja.
Saya punya data bahwa di banyak ruang pimpinan perusahaan yang ingin go public, betapa direksi pemiliknya bersama-sama dengan akuntan publik dan para penilai menaikkan semua aset sebanyak-banyaknya. Dengan demikian, "Modal Disetor” yang ada di pasiva Neraca membengkak luar biasa. Ini dibagi dengan nilai nominal saham, entah itu Rp 500 atau Rp 1.000, menghasilkan jumlah lembar saham yang menjadi milik perusahaan. Saham yang sudah di-mark up habis-habisan itu lantas dijual dengan agio lagi. Kalau kita jadikan ideologi bahwa saham-saham sampah seperti itu harus didambakan dan diperebutkan oleh rakyat banyak, kita bisa salah kaprah. Bukankah rakyat kecil itu sebenarnya tertipu oleh muslihat emiten yang bersekongkol dengan akuntan publik dan penilai? Saya tidak mengada-ada. Ini kenyataan. Tidak semua emiten demikian, tetapi bagian terbesarnya melakukan praktek tersebut.
Lalu para fund manager yang demikian banyaknya, yang setiap hari berhitung dangan komputernya itu melakukan apa? Mereka mengejar capital gain, atas dasar pretensi bahwa naik turunnya saham bisa diramalkan melalui hitung-hitungannya. Saya tidak percaya.
Berkali-kali saya berbicara dengan mereka. Tidak ada penjelasan yang nalar yang bisa saya cerna. Misalnya apa hubungan gerakan suku bunga di AS dengan harga saham di Indonesia yang tercermin secara instan? Apa hubungan antara peristiwa 27 Juli dengan kemampuan perusahaan-perusahaan membuat laba? Dari sekian banyaknya pembicaraan saya dengan mereka, yang mendengung di telinga saya hanyalah bahwa mereka menggunakan technical approach. Apa isi technical approach itu saya tidak pernah mengerti. Mungkin saya yang bodoh. Yang paling masuk akal buat saya adalah kejujuran investor asing yang mengatakan bahwa dia membeli saham yang walaupun ”sampah”, karena dia cukup yakin bahwa setelah dia membeli saham yang dia tahu sampah itu, akan ada orang tolol lainnya yang berani membeli dengan harga lebih tinggi.
Saya tidak mengatakan bahwa semua saham yang diperdagangkan di Bursa Efek tidak mewakili nilai perusahaan yang solid. Tetapi sangat sulit membedakan antara perusahaan yang tidak main-main dengan Bursa Efek, dengan perusahaan yang menganggap Bursa Efek sebagai tempat untuk meraup dana murah, tanpa peduli apakah akan ada yang dirugikan. Maka prasyarat lain kalau mau melibatkan rakyat banyak dalam pemilikan saham, adalah efisiennya Bursa Efek, transparansi, dan kejujuran emiten.
***
Hukum alam dalam bidang bursa efek mengatakan bahwa hakikat bursa efek adalah menyediakan modal ekuiti yang likuid untuk dunia usaha. Maka kalau kebutuhannya baru 10 persen, ya 10 persen itu yang di-go public-kan. Sebanyak 90 persen masih dikuasai oleh pemilik pendiri. Nanti kalau dia butuh modal lagi, dia melakukan rights issue, yang mengurangi lagi persentase kepemilikannya. Demikianlah seterusnya sampai akhirnya memang bisa terjadi bahwa keluarga pendiri hanya memiliki 15 persen atau kurang. Banyak perusahaan publik di AS dan Eropa yang sudah seperti itu. Tetapi itu adalah proses alamiah yang berlangsung ratusan tahun.
Lebih fundamental lagi, bagaimana dengan perusahaan besar dan sangat besar yang tidak mau go public? Banyak perusahaan raksasa yang tidak punya kebutuhan modal, sehingga merasa tidak perlu go public. Apakah mereka dipaksa harus go public sampai 85 persen? Kalau tidak dipaksa, lalu terjadi hal yang sangat lucu. Perusahaan yang rela membagi kepemilikannya dengan publik harus membaginya sampai publik memiliki 85 persen, tetapi yang sama sekali tidak mau go public, tidak apa-apa.
Ada perusahaan publik yang menghadapi kesulitan fatal. Perusahaan hanya dapat ditolong karena adanya seorang kapitalis besar yang mau mengambil alih mayoritas. Apakah dilarang, dan membiarkan perusahaan publik bangkrut? Hagemeyer di Belanda sudah dimiliki oleh sekitar 80.000 orang secara kurang lebih merata. Tetapi menghadapi kesulitan likuiditas besar, sehingga diambang kebangkrutan. Datanglah kelompok Salim yang mengatakan akan menginjeksi modal secukupnya, asalkan diterbitkan saham sebanyak 101 persen dari jumlah saham yang sudah ada, yang langsung dibeli oleh kelompok Salim. Dengan demikian kelompok Salim memiliki 51 persen dari saham-saham Hagemeyer. Karena adanya ketentuan tender offer, pemilikan meningkat terus menjadi 67 persen. Perusahaan menjadi sehat, harga saham mencuat terus dari 29 gulden Belanda sampai menjadi 67 gulden Belanda. Ini perkembangan di tahun delapan puluhan. Hagemeyer yang setelah ratusan tahun menjadi perusahaan publik tulen dengan pemegang saham sebanyak sekitar 80.000 orang menjadi perusahaan yang bercirikan pribadi lagi.
Bursa Efek sudah berkembang menjadi sangat ruwet dan sangat canggih. Nantinya Indonesia juga akan menuju pada perdagangan derivatif dan opsi yang penuh dengan spekulasi. Sekarang saja, bagian terbesar dari investor tidak membeli saham untuk mendapatkan dividen, melainkan untuk mendapatkan capital gain. Di balik itu, dengan sendirinya banyak yang menderita capital loss, yang jumlahnya bisa sangat mengerikan. Banyak individu Indonesia yang sudah bangkrut di Bursa Efek Jakarta, tetapi mereka malu dan tutup mulut, sehingga kita tidak menyadarinya. Karena orientasi dari bagian terbesar investor publik sudah bukan dividen lagi, melainkan fluktuasi harga, maka Bursa Efek menjadi berat bercirikan ajang spekulasi.
Kwik Kian Gie, ekonom senior
Kompas, 9 Desember 1996
Sumber:
Kwik Kian Gie, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia: Badai Belum Akan Segera Berlalu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII, 1998.
0 komentar:
Posting Komentar