alt/text gambar

Minggu, 12 Oktober 2025

Topik Pilihan: , ,

MENGGUGAT DANA MURAH HASIL "GO PUBLIC”

Drs. Kwik Kian Gie


Oleh: Kwik Kian Gie


Untuk meramaikan pasar modal, perusahaan-perusahaan dianjurkan supaya go public. Pemilik perusahaan yang tidak membutuhkan tambahan modal ekuiti, atau dapat memupuk modal ekuiti dari laba ditahan, tentunya tidak tertarik mendapatkan uang dengan menjual sebagian dari pemilikan perusahaannya. Mereka diiming-imingi dengan argumen, bahwa go public adalah cara untuk mendapatkan modal ekuiti yang sangat murah. Sangat murah karena tidak perlu membayar bunga. Dalam hal meminjam dari bank, ada kewajiban membayar bunga secara teratur. Di Indonesia yang tingkat bunganya demikian tingginya, iming-iming mendapatkan modal usaha tanpa membayar bunga adalah hal yang menarik.

Kalau bunga bank memang tinggi, benarkah bahwa cost of fund dari modal ekuiti lebih murah dari bunga modal pinjaman? Kita harus sadar dan waspada bahwa iming-iming yang mengatakan modal ekuiti dari Bursa Efek adalah modal yang murah, sama saja dengan mengatakan: "Wahai para pemilik perusahaan, go public-lah, karena investor publik itu dapat Anda kelabuhi, sehingga Anda tidak perlu membayar cost of fund dari dana mereka, atau membayar sangat sedikit saja. Caranya adalah mengelabui mereka dengan berbagai macam teknik rekayasa keuangan.” 

Yang sangat menyedihkan adalah bahwa para pejabat dari yang sangat tinggi sampai yang rendahan ikut-ikutan menganjurkan rakyat supaya dikelabui dengan cara memberikan modalnya kepada banyak emiten yang akan membuat biaya modal mereka murah. Mereka tanpa tedeng aling-aling, terang-terangan bersuara sangat lantang dan keras bahwa uang rakyat yang dibelikan saham itu adalah uang murah. Benarkah uang mereka murah? Tidak mungkin ada yang rela uangnya dijadikan murah harganya. Dibuat murah oleh para emiten melalui berbagai macam teknik tipu muslihat, supaya tidak membayar cost of equity fund sepenuhnya. Setelah itu, mereka membisikkan kepada para pejabat negara dari yang sangat tinggi sampai yang rendahan, membisikkan kepada para bankir, Bapepam, dan pimpinan Bursa Efek Jakarta, serta siapa saja yang terlibat dalam perdagangan saham, bahwa modal ekuiti adalah modal yang murah. Semuanya lantas menyuarakan hal yang terang-terangan mengandung kepalsuan itu. 

Sejak tahun 1989 saya sudah terheran-heran mendengar dan membaca ucapan yang demikian dari demikian banyaknya pakar dan pengamat ekonomi, para pejabat tinggi dari Departemen Keuangan, dan bahkan dari Ketua Bapepam dan Dirut BEJ. Saya pernah memberikan penjelasan secara sepintas lalu, bahwa modal ekuiti jauh lebih mahal dari modal pinjaman dari bank. Dibantah tidak, tetapi dihiraukan juga tidak. Suara yang mengatakan bahwa modal ekuiti yang diperoleh dari menjual sebagian dari saham perusahaan adalah perolehan modal yang murah, masih saja tetap dikatakan oleh siapa pun yang mempunyai pendapat tentang ini. 

Marilah kita telaah masalahnya dengan contoh angka-angka yang sederhana. Perhitungan teoritis tentang berapa sebenarnya biaya dana ekuiti sangat rumit. Namun dengan contoh saya yang sederhana berikut ini, esensinya tidak hilang atau kabur. Justru inti permasalahannya menjadi sangat tajam.

Perusahaan yang wajar adalah perusahaan yang membuat laba. Laba yang dibuat oleh perusahaan yang wajar harus lebih tinggi dari tingkat suku bunga bank. Kalau laba yang dibuat oleh perusahaan lebih rendah dari tingkat suku bunga pinjaman (lending rate), maka lebih baik uang tidak saya investasikan dalam saham atau pemilikan perusahaan, tetapi saya pinjamkan saja kepada perusahaan yang bonafid. 

Jadi kalau bunga kredit adalah 22 persen, kemampuan perusahaan membuat laba haruslah melebihi 22 persen, misalnya 25 persen. Sekarang saya mempunyai perusahaan yang modal keseluruhannya Rp 100.000. Kalau modal perusahaan seluruhnya saya biayai dengan modal sendiri atau modal ekuiti, maka saya akan memperoleh laba 25 atau Rp 25.000. Kalau yang Rp 100.000 bukan milik saya seluruhnya, karena saya berkongsi dengan kawan saya yang memiliki 30 persen, maka dia berhak atas 30 persen dari laba perusahaan yang 25 persen dari modal yang ditanamkan di perusahaan. Apa artinya ini? Cost of money dari perusahaan yang didanai oleh modal ekuiti adalah 25 persen setahun. 

Bunga bank hanya 22 persen. Jelas bahwa biaya modal ekuiti lebih besar dari bunga kredit bank.

Lebih dramatis lagi kalau kita mendekatinya dari perpaduan antara modal ekuiti dan kredit dari bank. Rentabilitas dari modal seluruhnya atau total capital employed (tanpa membedakan antara modal ekuiti dan kredit dari bank) yang dipakai oleh perusahaan adalah 25 persen, sedangkan bunga kredit bank 22 persen. Kalau kebutuhan modal perusahaan yang Rp 100.000 saya danai dengan modal sendiri, maka dapatnya hanya 25 persen, yaitu laba yang 25 persen tadi itu. Sekarang andaikan bahwa Rp 70.000 dari kebutuhan modal saya danai dengan kredit bank, dan sisanya yang Rp 30.000 saya danai dengan modal sendiri atau modal ekuiti. Perusahaan seluruhnya mendapat laba Rp 25.000. Laba ini harus dipotong dengan bunga kredit. Besarnya adalah 22 persen kali Rp 70.000 atau Rp 15.400. Jadi setelah membayar bunga kredit, sisa laba masih Rp 25.000 minus Rp 15.400 atau Rp 9.600. Jumlah ini adalah rentabilitas dari modal ekuiti saya yang besarnya Rp 30.000. Dinyatakan dalam persen, sama dengan (9.600 : 30.000) x 100 persen atau 32 persen. Kalau sebagian dari modal ekuiti yang Rp 30.000 ini milik publik, saya harus membayar kepada publik 32 persen, sedangkan kepada bank hanya membayar bunga kredit yang 22 persen. Bagaimana bisa dikatakan bahwa modal ekuiti adalah modal yang murah? 

Mungkin kata "murah” diartikan sebagai tidak perlu dibayar secara ketat, seperti halnya dengan bunga bank. Karakteristik dari laba ditahan atau retained earnings adalah utang kepada pemegang saham, sehingga harus dianggap sebagai cost of fund untuk modal ekuiti. Besarnya tetap melebihi bunga kredit, kecuali kalau perusahaan tidak sehat. Modal ekuiti dari publik adalah modal yang murah kalau pimpinan perusahaan publik beserta para penasihatnya mempunyai niat mengelabui atau menipu investor publik. Mengelabui, karena perusahaan sebenarnya tidak mampu membuat laba yang tingginya melebihi bunga bank. Lalu dia membandingkan begitu saja modal ekuiti dari publik tanpa kewajiban membayar bunga tetap, dengan bunga bank yang lebih tinggi dari rentabilitas dari total capital employed. Maka dirasakan bahwa modal ekuiti lebih murah, karena dia tidak mampu membuat laba yang lebih besar dari bunga kredit. Kemungkinan lain adalah bahwa emiten memang tidak akan mau membayarkan seluruh laba yang lebih tinggi dari bunga kredit itu kepada sesama pemegang sahamnya. Uang hasil go public dikeluarkan dari perusahaan melalui akuisisi internal, atau melalui pembelian barang milik emiten yang nilainya sudah digelembungkan. 

Jadi ucapan bahwa modal ekuiti dari Bursa Efek adalah modal yang murah sama dengan pernyataan bahwa dia apriori tidak akan mau membagi rentabilitas dari modal ekuiti dengan investor publik.

Ini memang klop dengan praktek yang ada. Betapa pun menguntungkannya perusahaan, tidak ada perusahaan yang membagi dividen, yang lebih besar dari bunga kredit. Rendemen dari dividen terhadap harga saham jauh di bawah bunga deposito, apalagi bunga kredit (lending rate). Maksud jahat para emiten yang mengatakan bahwa modal ekuiti dari Bursa Efek adalah modal yang murah juga klop dengan berbagai macam praktek lainnya, seperti rights issue terus-menerus, membayar dividen dengan saham bonus, membayar dividen kontan yang dalam persen dari harga saham sangat kecil, laba yang besar, tetapi likuiditas yang sangat sempit, akuisisi internal dan seterusnya. Laba digelembungkan dengan cara memalsukan semua dokumen dasar yang akan diperiksa oleh akuntan publik. Sering akuntan publik ikut bekerja sama memalsukan semua dokumen, agar laba menjadi sangat besar. Harga saham dibuat melonjak melalui transaksi yang direkayasa. 

Ketahuannya, atau indikasi kuat bahwa laba yang besar adalah palsu, adalah kalau kita telaah lebih lanjut akan terbukti, bahwa perluasan perusahaan tidak ada atau sangat tidak berarti, likuiditas tidak ada, tetapi laba menggelembung terus. Karena likuiditas tidak ada, tidak dapat membayar dividen, atau dividen dibayar dengan saham bonus. 

Kalau kita sebagai investor publik minta nasihat mengapa kita harus membeli saham kalau gambarannya seperti ini, dijawab bahwa kita akan bisa mendapat capital gain. Setelah saham kita beli, harganya akan naik, sehingga kita menikmati selisih harga. Mereka tidak menjelaskan bahwa di balik kemungkinan harga yang meningkat, harga juga bisa turun. Kalau ada investor yang mengetahui hal ini, dijawab bahwa semua usaha ada risikonya. 

Memang, yang dominan dari para pelaku Bursa Efek adalah yang ingin mengejar capital gain. Maka Bursa Efek lebih merupakan kasino ketimbang sarana untuk berinvestasi dengan maksud ikut memiliki perusahaan, sehingga ikut menikmati laba yang diraih oleh perusahaan. 

Bursa Efek kita masih bercirikan seperti ini. Para emiten masih terus-menerus main-main pat pat gulipat. Selama Bursa Efek masih seperti ini, sebagian besar para pelakunya mirip para penjudi. 

Maka saya sangat risau kalau Bursa Efek Jakarta digambarkan sebagai tempat untuk membuat kemakmuran merata di kalangan rakyat banyak, yang sangat-sangat awam terhadap liku-liku kehidupan bisnis korporasi modern dengan segala daya tipuannya. 

Kwik Kian Gie, ekonom senior

Kompas, 30 Desember 1996


Sumber

Kwik Kian Gie, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia: Badai Belum Akan Segera Berlalu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII, 1998.


0 komentar:

Posting Komentar